Senin, 06 Februari 2012

Chocolate Jam



            Aku membuka bekal makan siangku. Dua tangkup roti tawar menjadi menuku kali ini. Roti berwarna selembut kapas itu sungguh menggiyurkan. Membuat perutku berontak seketika. Walau hanya dua tangkup roti tawar, tetapi keduanya sudah cukup untuk mengganjal perutku. 

            Di atas salah satu rotinya, tulisan tanganmu tercetak indah. Bulat kecil, menandakan betapa manisnya dirimu. 

            Aku mengambilnya, membaca sebaris kalimat yang kau tulis di sana. Kalimat yang kau tulis dengan lelehan coklat. 

            “Du machst mich so glücklich. Ich liebe dich.”  - You make me so happy. I love you-

            You make so happy too Dear. I love you too.” Balasku.

            Aku tertawa pelan. Kau selalu mempunyai berbagai macam cara untuk mengungkapkan dirimu Nath. Sikap manis yang selalu kau selipkan dimana pun. Yang entah mengapa selalu membuat tawaku menguar. Menyatu dengan partikel-partikel udara lainnya. Berbagi dengan mereka kebahagian yang sedang ku rasakan.
         
           Aku menggigit roti tawar itu. Rasa roti dan selai cokelat yang kau oles di atasnya menyapa indra pengecapku. Rasa manis yang ku suka. 

            Kau itu berbeda Nath. Kau selalu tahu apa yang ku suka dan tidak ku suka. Kau selalu membuat tawaku menguar perlahan kala melihat raut polos mu itu. Kau tahu bagaimana membuatku terbang melayang, merasa ringan tanpa beban. 

            Hot chocolate yang tidak kau suka pun tetap kau buatkan untukku. Berada di atas meja kerjaku dengan manisnya. Yang terkadang saling berdampingan dengan kotak bekal roti berselai cokelat buatanmu.  

Membuatku semakin bertambah mengingatmu, Nath. Mengingatkanku akan wajah bersemu merah milikmu. Wajah malu-malu yang selalu berputar di pusat hidupku. Memori-memori indah yang kau buat tak pernah sekali pun menghilang. Ia akan berputar pada waktu yang tepat, yaitu saat aku benar-benar merindukan keberadaanmu. 

Aku menghabiskan roti berselai cokelat ini dengan lahap, mengambil roti kedua. Berburu dengan waktu agar cepat menghabiskannya. Lalu meneguk habis segelas tinggi air putih. 

Kau selalu mengomel kalau aku meminum cokelat untuk sarapan pagi. Menurutmu yang selalu memperhatikan asupan makanan, dua tangkup roti tawar berselai cokelat sudah cukup untuk mengganjal perut. Tidak usah menambahnya dengan segelas atau secangkir cokelat lagi. Air putih lebih baik. Ia lebih memudahkan pelarutan roti tawar itu di dalam tubuh. 

Itu nasihat yang setiap pagi kau berikan kepadaku.  

Belum sempat aku menggigit roti kedua buatanmu. Dering ponsel menginstrupsiku. Namamu tertera di layar ponselku. Berkedip-kedip untuk segera mengangkat. 

“Bagaimana rasanya Pak Manager?” suaramu menyapa gendang telingaku. Nada menggoda kau selipkan di dalamnya. 

 “Five thumbs, Dear.” ucapku tulus. 

Kau tertawa kecil, “Baiklah. Habiskan ya? Dan teguk habis air putihmu, jangan selundupkan secangkir cokelat untuk pagi yang sejuk ini. Lalu ganti dengan capphucino hangat untuk pembayarannya dua tangkup roti itu.” Kau berseru jahil. 

“Siap nona.” balasku.

Kau kembali tertawa, kali ini dengan menghembuskan nafas perlahan, suara lirihmu menyapa gendang telingaku untuk kesekian kalinya. “Aku mencintaimu, Dan. Selalu.” 

“Aku pun begitu. Kau tahu segalanya bukan Nath? Apapun yang terjadi aku selalu mencintaimu. Terima kasih untuk dua tangkup roti ini. Kau selalu tahu apa yang ku suka.” Ucapku tulus. 

Dua tangkup roti berselai cokelat, selai yang tak kau suka. Tapi dengan senang hati kau buatkan untukku. Untukku yang menjadikan cokelat kebutuhan nomor dua dalam hidupku. Tentu kau yang selalu nomor satu di hatiku Nath. 

Aku mencintaimu Nathaly.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...