Hate First, Love
You Later
“Karena aku
tahu, jalan pulang itu rindu, dan rumahku tetap kamu”
Nimas Disri
Gagas Media
2019
Rp 88.000 (harga
P. Jawa)
*
*
“Gwen, ke
ruangan saya!”
“Gwen, beresin
laporan hari ini juga!”
“Gwen, nanti
ikut saya meeting!”
“Gwen, besok
pagi ikut saya ke Surabaya ketemu klien!”
Setiap mendengar
suara perintah itu, pasti ada kesal yang dirasakan Gwen. Punya bos yang suka
memerintah dan nggak mengerti perasaan karyawannya itu bikin makan hati. Gwen merasakannya
setiap hari. Dia pun heran, kenapa selalu dia yang ditugaskan untuk berhadapan
dengan Bara. Arrrggghhh!
Namun,
belakangan Bara sering menghampiri Gwen yang sedang menunggu ojek online, lalu
menawarkan pulang bareng. Apa yang sebenarnya terjadi? Gwen pun bingung. Semakin
Gwen berusaha menjauh, Bara malah memberinya tugas yang mengharuskan mereka
berdua bertemu. Kenapa sih sebenarnya bos gue ini? Pertanyaan yang berusaha
Gwen cari tahu jawabannya.
.
.
Itu blurb untuk
kisah Gwen dan Bara.
Hate First, Love
You Later adalah karya dari Nimas Disri yang menceritakan tentang kisah Gwen
dan Bara.
Dari blurb dapat
terlihat bahwa kisah keduanya ini termasuk dalam office romance. Itu yang
pertama kali aku tangkap ketika membaca blurbnya.
Buku ini
berkisah tentang Gwen Paradista yang menjadi salah satu karyawan swasta di
sebuah perusahaan ecommerce sebagai business development di salah satu start up
terkemuka yang menyediakan tiket untuk berbagai event.
Bos di kantor
Gwen adalah Bara Dhananjaya. Bos rese galak yang selalu memberi lembur dan menyuruh
Gwen untuk cepat menyelesaikan tugas-tugas kantornya.
Bos yang hanya
galak kepadanya.
Bos yang
beberapa kali menangkap basah ketika Gwen dan Andin sedang bergosip tentang
Bara.
Selain interaksi
Gwen dan Bara. Ada juga interaksi Gwen dengan dua sahabatnya, Andin dan Syila. Dua
sahabat yang selalu ada untuk Gwen. Dua sahabat yang menjadi tim lambe turahnya
ketika menggosipkan Bara.
Lalu interaksi
antara Gwen dan Reno, seseorang yang amat sangat berarti dalam hidup Bara. Yang
membawa Gwen kepada sisi lain seorang bos galak seperti Bara.
.
.
“Kalau bisa tatap muka sama klien, kenapa harus by
whatsapp?
Whatsapp itu diciptakan utnuk memudahkan pekerjaan,
bukan menjadi media utama komunikasi dengan sesama manusia. Komunikasi utama
tetaplah bertatap muka”
.
.
Ada beberapa hal
yang aku suka dari buku ini.
Warnanya, font hurufnya dan name tag sebagai
identitas bahwa buku ini punya setting tentang dunia kerja
Ya. Dialog-dialog dengan bahasa keseharian yang
mudah dicerna.
Penulis menyajikan narasi yang enak untuk diikutin. Walau
dibeberapa bagian ada hal-hal yang sedikit mengganjal karena punya olahan
kalimat yang diulang.
Interaksi antar tokohnya. Terutama interaksi Gwen
dan dua sahabatnya, Andin dan Syila.
Untuk interaksi Gwen dan Bara sendiri ada di beberapa
bab yang rasanya terlalu dipaksakan untuk ada.
Ada
beberapa quote yang pas dengan keadaan saat ini
.
.
“Ternyata bahagia itu tak semuanya harus ditunggu. Mengejar
mungkin sebuah pilihan untuk tak terlalu lama mengubur rindu dan menjadikan itu
bahagiamu.”
.
.
Lalu apa yang
aku harapkan dari buku ini:
Interaksi tokoh
utama yang perlu lebih diperdalam. Kekonsistenan sikap keduanya. Di pertengahan
buku, baik sikap Gwen ataupun Bara mulai goyah karena interaksi mereka yang
semakin intens.
Bara yang galak
terhadap Gwen mulai menunjukkan sikap merajuk yang membuat Gwen sering
memandangnya tak mengerti.
Begitupun dengan
Gwen yang mendadak luluh dengan apa yang dilakukan oleh Bara.
.
.
“Senja mungkin tak akan pernah seindah ini jika
bukan dengan manusia yang tepat. Senja tak selalu berarti warna jingga yang
membuat hati menghangat. Namun, senja akan tetap kembali ke peraduan walau tak
selalu menyisakan senyuman.”
.
.
Lalu apa yang
pembaca perlu tahu tentang buku ini:
1. Konflik yang disajikan
2. Interaksi antara Gwen – Bara, Gwen – Reno,
Gwen-Andin-Syila, Gwen – Aryo.
3. Load pekerjaan yang dihadapi Gwen yang menyebabkan
dia harus selalu berinteraksi danmenjadi begitu kesal dengan apa saja yang
berhubungan dengan Bara.
.
.
Secara keseluruhan
aku suka dengan cerita yang disajikan. Walau ada dibeberapa bagian yang masih
mengganjal. Tapi interaksi antar tokoh dan dialog yang dituliskan jadi hiburan
sendiri untuk aku yang sedang reading slump.
Sejak pertama
kali buku ini datang aku langsung baca dan selesai dalam 2 hari. Lalu karena
jadwal reviewnya ternyata baru dapat di bulan Agustus ini, aku re-read untuk
kembali mengingat kisah Gwen dan Bara ini :’)
Karena jujur
saja, agak lupa. Bahaya kalau review tapi nggak memahami isinya dengan benar
.-.
.
.
“Perpisahan itu tidak pernah indah, tetapi itu yang
harus dihadapi. Berpisah bukan berarti berperang. Berpisah banyak mengajarkan
menjadi dewasa dengan cara-cara yang tak terduga. Perpisahan bukan tentang
penyesalan, melainkan penerimaan untuk terus dijadikan pelajaran.”