“Kamu!”
“Iya tau! Tapi dimana letak kesalahanku?” Rania berseru geram. Nafasnya berburu tak beraturan, ia hampir tersedak ludahnya sendiri karena terlalu menahan emosi. Pria di depannya ini selalu tak tahu diri ketika sedang tersulut emosi.
“Iya tau! Tapi dimana letak kesalahanku?” Rania berseru geram. Nafasnya berburu tak beraturan, ia hampir tersedak ludahnya sendiri karena terlalu menahan emosi. Pria di depannya ini selalu tak tahu diri ketika sedang tersulut emosi.
Menguarkan aura menyeramkan ke
seluruh penjuru tempat dimana ia berpijak. Nafasnya sama tersengalnya dengan
nafas Rania, matanya berbinar nyalang dengan penuh emosi di dalamnya. Sejenak Rania melihat ada kabut ketakutan yang singgah di binar mata pria ini.
Seandainya pria di depannya ini
bukan pemilik hatinya sejak tiga tahun lalu, Langit tidak akan segan untuk
melayangkan tinju ke wajah tampannya itu. Jangan kira Rania adalah gadis lemah
yang akan selalu menurut dengan perkataan orang lain. Ia akan memberontak
ketika sesuatu hal yang dirasanya tak cukup rasional.
“Kamu masih tanya salah kamu apa?”
“God.
Bicara yang benar Karel Aditya!” seru Rania kesal.
Karel membalikkan tubuhnya hingga
berada tepat di depan Rania. Nafasnya yang memburu menerpa wajah gadis itu,
membuat Rania tersentak kaget. Ia refleks memundurkan wajahnya, tetapi tangan
Karel lebih cepat. Pria itu mencengkram kedua pipi Rania.
“Kenapa kamu berani mencium pria
lain selain aku kemarin malam?” Karel berucap dengan penuh penekanan. Nafasnya
masih menderu tak beraturan.
Rania mengerutkan keningnya heran.
Mencium seseorang? Kemarin malam? Siapa?
“Apa aku kurang untuk kamu?”
Lagi, Karel kembali mengajukan
pertanyaan. Sementara Rania, gadis itu diam, ia sedang mencari ingatan tentang
kejadian kemarin. Tak megindahkan cengkraman Karel yang mulai terasa sakit.
Siapa yang ia cium? Siapa? Kemarin
ia hanya bertemu dengan Danny, Aria, Kei, dan Kak Nanta.
Apa Kak Nanta?
Astaga.
Rania ingat sekarang, kemarin Kak Nanta
mencium pipinya sebelum pergi ke pantai, saat Karel berdiri tidak jauh darinya.
Dan Rania tahu saat itu Karel melihatnya.
God.
Karel bodoh.
“Bodoh,” sentak Rania. Ia menatap
Karel sengit, tangan kanannya memijat pelipisnya, kepalanya pening sejak kemarin
hanya karena hal ini.
“Apa kamu bilang?”
“Kamu bodoh Karel. Berapa kali harus
aku bilang? Itu Kak Nanta. Kak Nanta, Karel. Ingat. Dia sepupuku, anak Tante
Mei. Dan dia cuma cium pipi. Astaga.” Desis Rania.
Karel mundur beberapa langkah,
matanya menatap kosong setelah mendengar perkataan Rania.
Nanta.
Nanta.
Nanta.
Nama itu berputar di dalam kepalanya.
Wajah tengil dengan binar mata penuh kejahilan silih berganti, berputar bak
kaset rusak. Meracuni isi kepala Karel.
Ia ingat. Sudah puluhan kali Rania
memberi tahunya, tapi puluhan kali pula Karel melupakan hal itu dan bertengkar
dengan Rania. Mempertanyakan siapa laki-laki yang dengan santainya mencium pipi
gadisnya.
“Sekarang ingat?” ketus Rania. Ia
geram dan muak ketika Karel selalu salah paham dengan Kak Nanta. Tak pernah
ingat bila diberitahu. Dan selalu hal ini yang menyulut emosi Karel.
Selalu Rania yang kena getah,
diomeli dengan hasil yang tak pernah didapat. Coba lihat Karel, apa Rania
pernah membentaknya ketika ia dengan santainya menggoda Velisha dan mencuri
cium di pipi gadis Rusia itu. Tidak pernah!
Rania menjatuhkan tubuhnya, duduk
memeluk lutut di hamparan pasir pantai, angin pantai yang berhembus kencang
menerpa tubuhya. Membuatnya menggigil.
“Aku cape kamu tuduh begini terus, Rel.” Rania
berseru lirih.
Benar. Ia lelah tidak dipercaya oleh
kekasihnya sendiri. Seolah-olah Rania adalah sosok anak kecil yang selalu
menumpahkan air dan memecahkan piring milik ibunya. Ia lelah dituduh Karel
seperti ini. Seperti buronan yang sedang dalam masa pengejaran polisi.
Apa susahnya mengingat sih? Tinggal
didengar, diingat dan dipahami. Tak harus diberi tahu berulang kali kan?
“Rania,”
“Stop. Aku cape dengar kata maaf
kamu, kamu nggak pernah percaya aku lagi. Lebih baik kita nggak usah
ngelanjutin ini.”
JDER.
Seperti petir di siang bolong, hati
Karel menjerit tak terima. Jantungnya berdentum tak karuan. Ia panik, tak menyangka
kalau Rania bisa melontarkan kalimat itu.
Gadis itu mengusap air matanya yang
tak sengaja jatuh, ia berdiri, melepas cincin perak dengan nama Karel dari
jarinya. Memegang telapak tangan Karel, menaruh cincin itu di telapak
tangannya.
“Aku cape Rel.” ucapnya tercekat.
Karel berdiri diam, otaknya mati rasa.
Tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Matanya menatap sendu setiap langkah Rania.
Gadis itu sekarang pergi meninggalkannya.
Pergi.
Menjauh.
Dan kecewa karenanya.
Karel
Bodoh.