Anna paling benci ketika ada yang
mengganggu jam tidurnya. Apalagi bila
orang itu tahu bahwa semalam ia tidur terlalu larut, tidak , itu lebih dari
larut malam, hampir menjelang pagi tepatnya.
Menggeliat pelan dan menggerutu,
Anna menyingkirkan selimut yang membungkus dirinya. Tangannya bergerak mengambil ikat rambut di
bawah bantal, lalu mengikat rambut sebahunya secara asal.
Matanya melirik jam weker di atas
meja di sisi kiri tempat tidurnya.
06.30 WITA.
Ya Tuhan.
Yang membangunkannya ini benar-benar
tidak punya hati. Anna baru tidur selama
5 jam karena harus menyelesaikan tugas Statistik Bisnisnya mengenai Korelasi
dan Regresi. Dan sekarang ia dipaksa
untuk bangun.
Ini hari libur pertamanya setelah
diberi jatah libur selama tujuh hari untuk merayakan pergantian tahun.
Seraya mendecak sebal, Anna menyeret
langkah kakinya menuju jendela. Menyibak korden dan membuka jendela. Tidak mempedulikan seseorang yang mengetuk
pintunya sejak tadi.
Erangan sebal itu semakin menjadi
ketika mendapati di luar sana sedang turun hujan. Anna kembali menutup jendelanya saat rintikan
hujan itu masuk ke dalam kamarnya.
Intensitas hujan pagi ini cukup tinggi.
Tsk.
Tiap
akhir tahun Samarinda harus hujan gitu, nyebelin banget, gerutunya sebal.
“Ann, kamu sudah bangun kan? Cepat
buka pintunya. Aku butuh bantuan
mu.” Suara seseorang di balik pintu
kamarnya itu terdengar tidak sabar.
Suara kakak laki-lakinya, Raka.
“Apa sih Kak? Ganggu orang tidur aja
tahu nggak.” Sembur Anna seraya menjeblak pintu kamarnya.
Di depan pintu kamarnya Raka berdiri
dengan balutan t-shirt biru, jaket dan celana jeans. Tampak rapi.
Siap untuk bepergian ke suatu tempat.
Seulas senyum lebar Raka berikan untuk adik perempuannya itu. Wajah kusut Anna, dengan lingkaran hitam
dikedua matanya dan hidungnya yang nampak memerah membuat Anna begitu terlihat
tidak sehat.
“Temani ke pasar. Ibu menyuruh membeli bahan bakar-bakar buat
nanti malam. Sekalian beli bahan-bahan
masakan buat nyambut keluarga Om Bagas.” jelas Raka.
Anna mengusap wajah lelahnya. Ia menatap kakaknya dengan mata sayu, “Tidak
bisa pergi dengan Darrel saja? Aku baru tidur jam setengah tiga tadi.”
Raka menggeleng dengan raut wajah
menyesal, “Darrel pergi dengan Ayah ke Balikpapan jam setengah enam tadi. Menjemput Yangti dan Yangkung.”
“Dengan Ibu saja kenapa sih?”
“Ibu membuat bumbunya Ann. Cuma kita berdua yang bisa diminta bantuan.”
“Kakak pergi sendiri aja sana. Aku masih ngantuk.”
Raka melotot tak terima, dipegangnya
tangan Anna dengan mata memelas. “Ayolah temani kakak. Masa iya kakak ke pasar sendiri? kakak nggak
hapal tempat-tempatnya dimana aja.”
Anna mendecak sebal, “Nggak usah
bohong. Siapa yang tiap Minggu nemani
Ibu ke pasar? Anna lebih nggak tahu
lagi, kak. Sudah tiga tahun juga nggak
ke pasar yang ada di sini.”
“Oh yeah? Kamu juga nggak usah
bohong. Siapa di antara kita bertiga
yang daya ingatnya paling kuat? Kamu
juga bakal tahu kalau nanti sudah di kasih tahu sama Ibu. Bukannya kamu salah satu kepala preman di
Pasar Segiri.” ejek Raka.
“Sialan.” Dengan gerak cepat, Anna melayangkan jitakan
sayang ke kepala kakaknya itu.
Raka mendesis sakit, matanya menatap
Anna galak. Yang ditatap malah balik
menatapnya tajam.
“Ayolah temani. Traktir ice cream sebaskom deh. Masa iya kamu nggak mau nyiapin masakan untuk
Al? Sudah empat tahun nggak ketemu dia
loh, Ann. Nggak kangen? Kakak aja
kangen.”
Rona merah itu menjalar cepat di
kedua pipi Anna. Tanpa sadar Anna
menunduk malu mendengar nama seseorang yang baru dilontarkan oleh kakaknya itu.
Raka tertawa jahil melihat adiknya
yang merona. Mendorong bahu Anna pelan,
Raka menyuruh adiknya itu untuk mandi dan bersiap.
Tanpa protes seperti sebelumnya,
Anna melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi dengan isi kepalanya yang mulai
berhamburan mengenang masa-masa indahnya bersama Al sebelum pemuda itu pergi
meninggalkannya tanpa sebuah kata perpisahan.
****
Anna
baru saja sampai di rumahnya saat melihat banyak mobil terparkir di depan rumah
Al. Setelah menaruh motor maticnya, Anna
bergegas cepat menuju rumah sahabatnya itu.
Banyak
orang-orang dari jasa pengiriman barang yang keluar masuk rumah Al seraya
mengangkut berbagai macam barang. Anna
masuk ke dalam rumah Al tanpa mengucapkan salam.
Banyak
sekali pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat melihat keadaan rumah Al.
Bukankah
kemarin ia masih menyanyi dengan heboh ditemani petikan gitar Al di teras rumah
ini. Dan sekarang mereka sudah mengepak
seluruh barang di dalam rumah dan membawanya ke dalam mobil pengangkut.
Apakah
mereka akan pindah?
Al
tidak ada sama sekali memberitahunya.
Sahabatnya itu tenang-tenang saja seperti tidak ada kabar jelek yang
akan di sampaikan.
“Al.”
Suara
Anna menggema di dalam rumah Al yang mulai kosong. Memanggil nama sahabatnya itu untuk meminta
penjelasan.
Bila
Al dan keluarganya akan pindah, berarti pemuda itu melanggar janji yang telah dibuatnya
bulan lalu.
Hei,
ini tidak lucu. Dua hari lagi akhir
tahun. Dan Al sudah berjanji akan
menemani Anna menyaksikan malam pergantian tahun di Tepian. Menonton pesta kembang api dan festival kapal
lampion di Sungai Mahakam.
“Al.”
sekali lagi Anna memanggil sahabatnya itu.
Dari
Lantai dua, Ibu Al melangkah turun ditemani oleh Ayah Al. Sepasang suami istri itu menatap Anna dengan
wajah sedih dan menyesal.
Tante
Ery langsung memeluk Anna dan terisak di bahu gadis itu. Bibirnya membisikkan kata-kata maaf kepada
Anna.
Anna
menatap Ayah Al meminta pertolongan untuk menjelaskan apa yang terjadi dengan
Ibu Al. Tetapi Ayah Al hanya
menggelengkan kepalanya pelan.
“Ann,
maaf kami harus pindah hari ini. Maaf
tidak memberitahu mu.” Isakan itu terdengar lirih dan sarat akan rasa sesal.
Anna
mendorong pundak Ibu Al dan menatapnya bingung.
“Apa maksud, Mama? Anna tidak
mengerti.”
Bersahabat
sejak kecil membuat Anna terbiasa memanggi Ibu Al dengan sebutan Mama.
“Maaf
Anna. Kami sekeluarga harus pindah ke
Bali hari ini. Kantor Ayah Al
membutuhkan beliau besok.”
“Tapi
tidak harus semuanya kan, Ma? Al sudah
berjanji dengan ku malam tahun baru nanti.”
Ibu
Al menggeleng pelan sebagai jawabannya.
Anna
menatapnya tidak percaya. Bohong. Pasti bohong.
Al pasti tidak akan melanggar janjinya.
Sahabatnya itu tidak mungkin membuatnya sedih dan kecewa.
Pasti
Al akan tinggal dan dititipkan di rumahnya.
“Al.”
Anna berteriak memanggil sahabatnya itu.
Kakinya
melangkah cepat menaiki tangga menuju Lantai dua dimana kamar Al berada.
Tangannya
mengetuk pintu kamar Al dengan tidak sabar.
Air mata mengalir deras membasahi wajah kecewanya.
“Al
buka pintunya. Hiks. Al.”
Anna
menggedor pintu kamar Al, menanti sahabatnya itu membukakan pintu dan
mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Tante Ery itu adalah hal bohong.
Di dalam
kamar, Al mengigit bibirnya tanpa sadar.
Ia meringkuk seraya menyembunyikan wajah penuh air mata di
lututnya. Dadanya terasa sesak mendengar
suara isak tangis Anna.
Selama
tujuh belas tahun ini mereka berdua tidak pernah terpisah. Selalu bersama dan tidak pernah saling
meninggalkan satu sama lain. Tumbuh besar
bersama. Menjalani masa-masa kecil
bersama. Menuntut ilmu di tempat yang
sama dan masih banyak hal yang mereka lakukan bersama.
Ia tidak
mau membuat gadis itu semakin kecewa dan sedih karena hal ini.
Ia tahu
bahwa ia tidak bisa menepati janji yang telah dibuatnya bulan lalu kepada
Anna. Ia juga tahu bahwa ia telah
menyembunyikan sebuah hal yang buruk kepada Anna.
Ia
sengaja menyembunyikan hal ini semalam dari Anna. Ia tidak mau membuat sahabat perempuannya itu
merasa sedih di tengah rasa bahagianya karena berhasil menyabet juara pertama
untuk lomba Matematika Nasional.
Al ingin
berlari membuka pintu kamarnya dan membawa Anna ke dalam pelukannya. Menenangkan gadis itu seperti biasanya ketika
ia tengah menangis.
Tetapi
saat ini Al tidak bisa.
Ia tidak
ingin menambah rasa sedih Anna semakin bertambah besar.
Ia tidak
sanggup melihat air mata Anna untuk hari terakhirnya dapat melihat gadis itu.
Merkurius
Alfandy tidak akan pernah sanggup melihat gadis yang dicintai dan disayangi
menangis karena dirinya.
Ia tidak
akan pernah sanggup melihat Anna Karenina menangis.
****
Kenangan pahit empat tahun itu menyeruak
keluar dari memori otak Anna saat mata gadis itu menatap lama ke arah rumah
yang berada di seberang rumahnya.
Rumah berlantai dua dengan halaman
luas berisikan berbagai macam bunga. Satu-satunya
rumah di komplek perumahan Anna yang memiliki kolam renang besar.
Al,
bisik Anna penuh rindu.
Rumah itu menyimpan banyak kenangan
tersendiri untuk Anna. Masa kecilnya banyak
dihabiskan di rumah itu. Kenangan manis
dan pahit banyak terukir di dalam rumah itu.
Berbagi rasa dan segala hal Anna
lakukan di rumah itu.
Satu-satunya anak laki-laki pemilik
rumah itu telah berhasil merebut hati Anna sejak lama. Dan anak laki-laki itu juga telah berhasil
menorehkan satu luka dalam di hati Anna.
Kekecewaan dan kesedihan.
Anna mengalihkan pandanganya. Rasa kecewa dan sedih itu langsung menyergap
hatinya setiap ia menatap rumah Al.
“Ann, ingati loh apa aja yang disuruh
sama Ibu. Jangan lupa. Kakak malas bolak balik ke pasar.” pesan Raka.
Anna mengerucutkan bibirnya,
jengkel.
Dasar kakaknya ini tidak tahu
diri. Setelah memaksanya untuk ikut ke
pasar. Sekarang menyuruhnya untuk
mengingat-ingat apa saja yang harus dibeli.
“Iya, cerewet. Sudah cepat jalan. Keburu jalanan macet.”
Hujan deras di pagi hari. Ditambah harus keluar rumah dengan mobil. Lalu bertemu banjir dan macet. Empat hal yang paling Anna hindari di dalam
hidupnya. Ia sangat tidak suka bila keempat
hal itu sudah terjadi di dalam satu hari.
Menyebalkan.
Seandainya Darrel tidak ikut Ayah ke
Balikpapan untuk menjemput Yangkung dan Yangti-nya. Saat ini Anna pasti masih merasakan empuknya
tempat tidur.
Anna menyenderkan kepalanya. Matanya terpejam seraya mendengarkan lagu
milik EXO – Miracles in December.
Satu senyum sedih terulas di bibirnya
mendengar intro lagu itu. Ia sudah
mencari arti lagu itu. Dan saat ini lirik
pertama dari lagu itu menohok hatinya.
~
I’m trying hard, to look for the you
that can’t be seen.
I’m trying hard, to listen for the you that can’t be heard.
I’m seeing things I did not see before,
I’m hearing things I did not hear before.
After you left me, it became a strength to me that I never had before.
I’m trying hard, to listen for the you that can’t be heard.
I’m seeing things I did not see before,
I’m hearing things I did not hear before.
After you left me, it became a strength to me that I never had before.
****
Anna tidak berhenti menggerutu saat
mendengar suara petasan yang dinyalakan oleh Darrel. Adiknya itu tertawa nyaring yang terdengar
mengejek di kedua telinganya. Ia tahu
adiknya itu sengaja menyalakan petasan di dekatnya.
Darrel tahu bahwa Anna sangat
membenci petasan dan suara berisik yang dihasilkan oleh benda ‘pembakar uang’ itu.
Ditemani oleh si kembar Refal dan
Rafel, Darrel bermain petasan dan kembang api tanpa henti. Tidak ingat dengan umurnya yang sudah
menginjak tujuh belas tahun.
Anna membalik beberapa tusuk sate
yang tengah dibakarnya. Di sebelahnya
kakaknya asik mengolesi jagung dengan
mentega.
Ugh.
Seandainya tidak diberi tanggung jawab untuk membakar sate-sate
ini. Anna akan berlari ke dalam kamarnya
dan mengurung diri di sana. Menyalakan laptop
dan menyetel lagu dengan volume maksimal agar dapat menyamarkan suara petasan
Darrel.
“Hei, Ann.” Raka menyenggol lengan
Anna.
“Apa?” sahut Anna galak.
“Berhenti memasang wajah merengut
seperti itu. Ini malam tahun baru. Keberuntungan mu tahun depan akan lenyap bila
merengut seperti itu.”
Anna mencibir Raka dan tidak
mendengarkan ucapan kakaknya. Ia tidak
peduli.
“Hei, Ann. Dengar tidak sih? Jangan merengut! Nanti Al tidak akan menyukai
mu lagi.”
Raka menepuk mulutnya yang berbicara
macam-macam. Keceplosan.
Anna langsung menghentikan kegiatan
membalik sate-sate itu. Ia menatap
kakaknya meminta penjelasan.
“Aku tidak peduli dengannya! Siapa yang akan menyukai pemuda tukang
melanggar janji seperti dia itu? tidak
akan!” seru Anna tegas. Nada suaranya terdengar kesal dan emosi.
Raka menatap punggung adiknya yang
nampak menjauh itu. Anna langsung
meninggalkan tugasnya dan berlari masuk
ke dalam rumah.
Raka tahu bagaimana perasaan Anna
saat ini. Seandainya saja mulutnya tidak
keceplosan.
Raka butuh Al sekarang juga untuk
menenangkan dan memberi penjelasan kepada adiknya. Agar kesalaha pamahaman ini segera
terselesaikan.
****
Anna menenggelamkan wajahnya di
bantal. Bahuny bergetar. Suara isak tangis juga terdengar.
Menyebalkan.
Kakaknya benar-benar menyebalkan.
Anna membenci kakaknya yang selalu
menyinggung Al disetiap pembicaraan mereka.
Anna membenci mengingat nama sahabatnya itu.
Dari sekian tanggal yang ada, Anna
membenci 31 Desember.
Karena hari ini adalah hari dimana
Al tidak menepati janjinya.
Anna tahu saat ini umurnya sudah
dewasa. Tetapi rasa sakit itu masih
tertinggal dalam di hatinya. Dan akan
semakin terasa sakit ketika mengingat Al.
Ia tidak mau mengingatnya lagi.
Suara Ayah yang mengetuk pintu
kamarnya dan memberi tahu bahwa keluarga Al sudah datang tidak membuat Anna
menghentikan tangisannya.
Gadis itu masih bertahan dengan
tangis dan rasa sakit di hatinya.
“Anna kamu tidak tidur kan,
nak? Ayo turun. Ada Mama dan Papa mu di bawah. Al menunggu mu di bawah, Ann.” Ucap Ayah
Anna.
“Nanti Anna menyusul, Yah.” Berusaha
agar tidak terdengar parau, Anna menjawab ucapan Ayahnya dengan susah payah.
Ayah Anna hanya bisa menghela nafas
lelah. Ia tahu bahwa putrinya itu tengah
menangis saat ini. Semua orang rumah
tahu bagaimana perasaan Anna ketika keluarga Al pergi empat tahun lalu.
****
Al menyunggingkan senyum tipis
ketika Ayah Anna turun seorang diri. Ia tahu
bahwa gadis itu tidak mau menemuinya.
Ayah Anna menepuk pundak Al dengan
pelan. “Maafkan Anna, Al. Ia akan menyusul nanti. Ayo kita ke halaman saja.”
Al menatap wajah Ayah Anna,
lama. Meminta agar diberi kesempatan
untuk berbicara dengan Anna.
Ayah Anna mengangguk mengerti. Beliau kembali menepuk pundak Al. “Berbicaralah dengannya. Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi jangan dipaksa untuk keluar bila Anna
tidak mau. Kamu sudah hapal dengan watak
anak itu kan”
“Terima kasih, Om.”
Ayah Anna meninggalkan Al seorang
diri. Beliau melangkah keluar menuju
halaman untuk bergabung dengan yang lain.
Al menghembuskan nafasnya.
Kakinya membawanya menuju lantai
dua. Dimana letak kamar Anna berada. Kamar kedua yang diapit oleh kamar Raka dan
Karel. Dengan pintu kamar berwarna
cokelat mengkilat berhias kepala boneka beruang.
Al ingat. Hiasan kepala beruang putih itu adalah kado ulang
tahun yang ia berikan kepada Anna beberapa tahun lalu.
Tidak ada yang berubah dari kamar
Anna. Masih sama seperti dulu.
Hembusan nafas berat itu kembali Al
hembuskan.
Samar, ia bisa mendengar suara isak tangis Anna. Dari dulu ia paling tidak suka ketika
mendengar Anna menangis.
Dengan pelan, Al mengetuk pintu
kamar Anna.
“Ann. Ini Al.
Buka pintunya.” Ucapnya pelan.
Tidak ada sahutan.
Al masih berusaha untuk mengetuk
pintu kamar Anna dengan pelan.
“Anna.” Panggilnya.
Anna bergeming di dalam
kamarnya. Tangisnya berhenti. Ia hapal suara itu. Ia tahu siapa yang berada di balik kamarnya.
“Anna. Aku tahu kesalahan yang ku perbuat. Buka pintunya Ann. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Ann. Ku mohon.” Pinta Al lirih.
Pemuda itu merosot dan menyenderkan
tubuhnya di pintu kamar Anna. Tangannya tidak
berhenti mengetuk pintu kamar itu.
“Aku membenci mu Al!”
Satu kalimat yang dilontarkan Anna
setelah empat tahun tidak pernah saling berkomunikasi itu menyentak Al.
Nada suara Anna yang terdengar parau
dan penuh dengan rasa benci itu membuat dada Al sesak.
Sama seperti empat tahun lalu. Rasa itu datang kembali.
“Maafkan aku Ann. Aku bisa jelaskan semuanya.”
“Pembohong! Aku tidak percaya dengan apapun lagi, Al.”
Anna masih berbicara dengan marah.
“Aku tahu. Buka pintunya. Aku akan jelaskannya.”
“Tidak akan.” Seru Anna tegas.
Hening.
Tidak ada yang saling bersuara.
Dentang jam di rumah Anna berdentang
sebanyak sebelas kali. Menandatakan bahwa
saat ini adalah pukul sebelas malam. Satu
jam sebelum pukul dua belas malam. Satu jam
sebelum pergantian tahun.
Al tidak ingin kesalahpahamanan ini
semakin berlarut. Ia tidak bisa lagi
memendam rasa rindunya akan sosok Anna.
“Ann, aku tahu kamu membenci
ku. Tapi ku mohon. Dengarkan penjelasanku.”
Al tahu gadis itu mendengarkan
perkataannya. Isak tangisnya terdengar
jelas. Seolah melihat, Al bisa merasakan
Anna tengah terduduk di balik pintu kamarnya.
Mereka berbagi punggung yang
terhalang pintu.
Selalu seperti ini ketika Al tidak
bisa membujuk Anna untuk menjelaskan sebuah permasalahan.
“Bukan maksud ku untuk melanggar
janji empat tahun lalu, Ann. Saat itu
semuanya terjadi mendadak. Papa
dipanggil oleh kantornya yang berada di sana untuk menjalankan tugas yang
seharusnya dilaksakan di bulan Januari. Dan
dokter Mama, mengatakan bahwa operasi
pengangkat rahim Mama harus dilaksakan di tanggal 1 Januari. Papa tidak mau Mama terlalu lelah sebelum
menjalankan operasi itu, Ann. Sehingga Papa
mempercepat hari kepindahan kami.”
“Bukannya aku tidak mau memberi tahu
mu. Aku tidak mau mengganggu kesenangan
mu karena lomba Matematika itu, Anna. Aku
akan memberitahu bila waktunya sudah tiba.
Aku ingin menepati janji yang ku katakana kepada mu terlebih dahulu,
baru aku akan mengatakan mengenai kepindahan itu.”
“Aku tidak ingin dibenci oleh mu
karena tidak bisa menepati janji.”
“Tapi kamu sudah melanggarnya,
Al. Hiks. Kamu sendiri yang membuatku membenci mu.” Tangis
Anna kembali terdengar.
Al menggigit bibirnya, dadanya
kembali terasa sesak.
“Bukan keinginan ku untuk membuat mu
membenci ku, Ann.”
“Aku merindukanmu, Ann.” Suara Al
terdengar lirih di antara isak tangisnya yang perlahan mulai terdengar.
Malam tahun baru adalah malam penuh
kesedihan bagi Anna dan Al sejak empat tahun lalu.
Dan malam ini, Al ingin menghapus
kesedihan itu. Ia tidak ingin mengukir
kesedihan di malam pergantian tahun.
Ia merindukan Anna dan ingin memeluk
gadis itu.
Anna semakin terisak keras. Ia merindukan Al dan ingin memeluknya.
Anna tidak peduli dengan rasa sesak
yang menghimpit hatinya. Ia benar-benar
merindukan Al. Empat tahun tidak bertemu
dan tidak saling berkomunikasi membuatnya begitu tersiksa.
Anna membuka pintu kamarnya dan
langsung memeluk Al dari belakang. Membenamkan
kepalanya di pundak pemuda itu. Membagi
tangisnya yang terdengar menyakitkan di telinga Al.
Al memutar tubuhnya dan mengajak
gadis itu untuk berdiri.
Ia memeluk Anna erat. Tidak ingin siapa pun memisahkannya dari
gadis ini.
Anna terisak di dada Al. tangannya melingkar erat di punggung Al.
Al mencium kepala Anna bertubi-tubi. Menyalurkan rasa rindunya yang membuncah.
“Aku merindukan mu, Ann.” Bisiknya lirih.
“Aku juga merindukan mu. Jangan tinggalkan aku lagi, Al.”
“Aku tahu. Maafkan kesalahan yang kuperbuat empat tahun
lalu.”
Suara petasan Darrel yang terdengar
sangat nyaring tidak membuat Anna dan Al terganggu. Mereka saling berbagi rindu dengan pelukan
erat.
Suara dentang jam yang terdengar
sebanyak dua belas kali dan suara terompet di halaman yang terdengar nyaring menandakan
bahwa saat ini telah memasuki awal tahun.
Awal tahun yang penuh suka cita. Awal
tahun yang penuh akan harapan baik.
Al memundurkan pundak Anna dan
menatap gadis itu dengan lembut.
Jarinya mengusap air mata yang
meleleh di pipi Anna. Mata bulat gadis
itu terlihat semakin membengkak karena menangis.
Dengan ragu dan takut, Al mencium
kedua mata Anna. Berharap agar gadis itu
tidak mendorongnya karena telah berbuat lancang.
Anna tersentak kaget dengan jantung
yang berdetak kencang. Ia tak pernah
menyangka Al akan melakukan hal ini.
Kembali suara petasan terdengar
nyaring. Suara terompet yang saling
bersahutan dan suara Darrel serta Raka yang menyuruh mereka berdua untuk
bergabung tidak dipedulikan Al.
Di sela suara bising itu. Al berbisik lirih di telinga Anna.
“Aku mencintai mu, Ann.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar