Soriano Trattoria.
Restoran Italia milik Roberto yang berdiri kokoh di ujung selatan Under den Linden. Di ujung selatan jalan raya bergengsi yang membentang di jantung Berlin di bagian yang paling bersejarah, dari Schlossbrucke di Museum Island hingga Gerbang Brandenburger di Plaza Pariser.
Restoran Italia yang dibangun dengan di kelilingi oleh rimbunan pohon Linden. Restoran milik sahabat Daniel.
Roberto tersenyum ceria ketika melihatku masuk setengah jam yang lalu. Dan senyum miliknya kembali mengembang lebar ketika melihat pintu restorannya terbuka. Sosok tinggi lelaki berkebangsaan Jerman menyambutnya.
Roberto mengerling jahil kepadaku, yang ku balas dengan kekehan kecil. Roberto mengangguk kepada lelaki itu lalu menunjukku yang duduk di pojok resto. Tempat favorite ku kala berkunjung kemari.
Lelaki berkacamata minus itu melambaikan tangannya kepada ku, ia berbisik kepada Roberto lalu berjalan menuju tempat dimana aku duduk.
Sosok itu masih sama. Tak ada yang berubah. Ia tetap gagah dengan pesona yang selalu menguar kapan saja. Senyum ice barker milinya tetap sama seperti tiga tahun lalu. Dua lesung pipi miliknya semakin membuatnya tampak begitu berbeda.
Ia duduk di depanku. Menaruh tiga buku yang cukup tebal. Aku mengernyit heran ketika melihat tiga buku itu. Kamus Bahasa Jerman.
“Tetap sama seperti dulu,” seruku.
Ia terkekeh pelan, mengangguk paham.
“Orchide.” Ucapnya.
“Anggrek,” aku membalas.
“Ahorn.” Seruku.
“Maple.” Balasnya.
Ia tertawa renyah mendengar jawabanku. Melepas kacamatanya lalu menaruh di atas tumpukan kamus yang dibawanya. Iris sapphire miliknya bersinar dengan terang, membuatku hanyut ke dalam pesona yang ia miliki.
“Apa kabar, Nath?” tanyanya.
Aku merengut kesal mendengar ia memanggilku seperti itu, hei apa tiga tahun membuatmu lupa dengan hal sensitive yang ku punya?
Daniel kembali tertawa melihat wajah tidak bersahabatku. “Kau tak berubah. Jadi mari diulang. Bagaimana kabarmu, Nathlay Tjandra?”
Aku mengangguk-angguk lega, “Sungguh sangat baik. Hari yang menyenangkan bukan?” seruku jahil. Daniel mengerutkan kening, ia menatap keluar. Menatap taman yang berada tepat di belakangku –di belakang jendela dimana aku duduk-.
Ia mendongak memperhatikan langit, bibirnya menggerutukan sesuatu. “Minggu kelabu. Zeigt sich der himmel wolkig.”1 Sahutnya tak suka.
Aku hanya tertawa melihat bagaimana ekspresi yang ia buat. Daniel selalu tidak suka dengan mendung yang menyelimuti langit. Keadaan langit yang siap menumpahkan para koloni airnya. Hujan di musim gugur adalah salah satu hal yang ia tidak suka.
“Hujan itu menyenangkan.” seruku.
Ia menggerutu sekali lagi, “Tidak sama sekali untukku,”
“Jadi apa yang membuatmu kembali kemari?” ia bertanya seraya memanggil Roberto kemari.
-------------------------
- Selebihnya langit berawan
Lelaki berkebangsaan Italia yang telah menjadi sahabat Daniel sejak ia kuliah dulu itu berjalan ke tempat duduk kami dengan note dan pulpen di tangannya. Ia tersenyum jahil ketika bertatapan denganku.
“Mau pesan apa?”
“Yang gratis ada tidak?” sambarku cepat.
Daniel tergelak sementara Roberto menggerutu.
“Kau itu. Aku mau pasta buatanmu saja. Dan buat dia, beri segelas air putih.” Daniel berkata dengan mantap. Roberto mengangguk-angguk paham. Ia mencatat di note miliknya lalu beranjak pergi.
“YAK. Aku belum memesan, isssh kau ini,” cercaku kesal, Daniel dan Roberto tertawa dan beradu tos. “Aku mau pasta saja.” Ucapku.
“Baik Nona.” Roberto berucap dengan nada penuh godaan.
Aku merengut sebal, dua orang ini tidak akan pernah berhenti menjahiliku bila salah satu di antaranya tak beranjak pergi.
Aku duduk dalam diam seraya menunggu pasta buata Roberto. Sementara Daniel, lelaki beriris biru itu duduk dengan segelas lemon ice milikku. Ia menggoyang-goyangkan gelas itu, menggoyang sebanyak tiga kali lalu meniup pinggiran gelas sebelum ia meneguknya.
Aku memperhatikan semuanya. Cara seperti itu selalu Daniel lakukan saat ia meminum lemon ice, entahlah apa maksudnya. Tetapi melihatnya menggoyang-goyangkan gelas lalu meniupnya membuatku terpana sesaat. Daniel selalu tahu bagaimana cara menguarkan pesona yang ia miliki.
Tiga tahun tak bertemu tidak membuatku lupa dengan segala tentangnya. Lelaki yang selalu melepas kacamatnya di saat hujan itu tetap sama. Ia akan menggerutu kesal ketika melihat langit mendung. Akan tergelak ketika aku tidak bisa mengucapkan sebaris kalimat dalam Bahasa Jerman dengan cepat.
Akan menyentil keningku ketika aku tetap kokoh dengan keinginanku. Dan akan merengkuhku ketika ia ingin berbagi sedih. Daniel tahu bagaimana cara menenangkan dirinya, ia akan memelukku sebentar seraya memejamkan mata, dan membisikkan namaku dengan pelan.
“Apa aku setampan itu Nath? Hingga kau tak berkedip sama sekali.” Serunya jahil. Ia menyentak lamunanku.
Aku mendesis jengkel. “Kau itu bertambah jelek kalau mau tau.” balasku pedas.
“Yang benar? Bukannya kau selalu merindukanku, Nona Judes.” Godanya.
“Siapa bilang,” elakku.
“Karel.” Sahutnya menyebut nama putra kecilnya.
“Tidak sama sekali,” jawabku.
Daniel menghela nafas perlahan, ia menatapku dengan sendu, seolah-olah kecewa dengan jawabanku. “Hah. Padahal aku merindukanmu.” ucapnya lirih.
Aku tersentak kaget, menatapnya dengan mata yang membulat, “Kau bicara apa?”
“Aku merindukanmu Nathaly.” Ucapnya dengan tegas.
“Tidak bohong kan?”
“Tidak. Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri hah? Atau jangan-jangan kau tak merindukanku ya?” tanyanya bertubi-tubi.
Aku terperangah mendengarnya. Apa dia bilang? Kekasih? Yang benar saja, menyatakan cinta saja tidak pernah, malah mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Dasar.
“Jangan bercanda Dan,” sahutku.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tak bercanda. Kalau aku melakukan ini,” ia bergerak cepat lalu menarikku berdiri dan merengkuhku dengan cepat.
Aku membatu, semuanya ia lakukan dengan sekali gerak. Hembusan nafasnya meraba tengkuk ku. Daniel memejamkan matanya, dengan dagu yang ia topangkan di atas pundakku.
“Kau tau, tiga tahun tak pernah bertemu itu membuatku hampir gila. Bila bukan karena tugas menyebalkan itu aku ingin menyusulmu ke Indonesia. Mengajak Karel lalu melamarmu. Membuat rumah kecil di Frankfurt dan membangun keluarga kecil penuh cinta. Tapi ternyata kau tidak merindukanku sama sekali.” Bisiknya lirih.
“Aku merindukanmu Nath. Sangat sangat merindukanmu. Jadi, kalau aku mengatakan ini, apa yang akan kau jawab?” ia melepas pelukannya. Memegang kedua pundakku dan menatap obsidian milikku dengan penuh harap.
“Will you marry me?”
Aku terperangah, menatapnya dengan mata terbelalak, iris biru Daniel menatapku dengan penuh permohonan. Ada cinta di balik iris birunya.
Aku tak tahu kalau selama ini ia memiliki perasaan seperti itu terhadapku. Ku kira hanya aku yang punya perasaan itu. Ternyata Daniel menyimpannya dengan rapi.
“Ini permintaan Karel dan aku, Nath. Jadi apakah kau mau menjadi Mommy untuk Karel dan menjadi istri untukku?” tanyanya lagi.
Aku menatapnya dengan lega, perasaan ringan menyeruak ke dalam hatiku. “Tentu saja. Hah kau bodoh Dan. Aku pikir aku saja yang mencintaimu,”
“Jadi kau juga mencintaiku?” tanyanya kaget.
“Tentu saja. Siapa yang bisa menolak pesonamu.” Seruku sebal.
Daniel tertawa, ia merengkuhku sekali lagi. Membisikkan sesuatu dengan penuh kemantapan. “Ich liebe dich.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar