Daniel
memperhatikan satu persatu wajah para peserta kursus yang baru ini. Rata-rata
mereka berumur 18 - 25 tahun. Wajah-wajah segar dan menatapnya dengan binar
terang duduk dengan manis di depannya.
Wajah-wajah penuh minat. Wajah-wajah yang siap menerima
pelajaran mengenai Bahasa Jerman untuk tiga bulan ke depan.
Di pojok kelas, seorang pria dengan kemeja berwarna hitam
dan sweater merah duduk dengan menopang dagu. Di lehernya tergantung bet
pengajar. Wajahnya menampakkan cengiran mengejek ke arah Daniel.
Daniel mendengus tak kentara. Bagus, baru hari pertama
tetapi George sudah menampakkan batang hidungnya di kelas perkenalan.
Menatapnya dengan cengiran jahil. Daniel tak habis pikir, bagaimana bisa
manusia satu itu tak memiliki kelas.
Padahal institute tempatnya mengajar, untuk musim ini
membuka 4 kelas baru. Mengingat jumlah peserta yang semakin banyak dan semakin
berminat untuk belajar di tempat kursus ini.
Daniel mengangkat wajahnya saat mendengar siulan pelan
dari George. Alisnya menaik satu saat George mengangkat selembar kertas.
“I’M FREE SIR.
Jangan memasang wajah seperti itu, atau kau mau murid-muridmu kabur =D”
Daniel melotot saat George tertawa pelan. Ia melemparkan
tatapan tajam kepada George, yang hanya dibalas dengan juluran lidah.
Terkadang Daniel tidak bisa menebak ekspresi apa yang
akan tercipta di wajah mulus tanpa jerawat milik sahabatnya itu. Selalu ada
yang baru. George adalah seseorang yang susah ditebak. Mempunyai segala macam
cara untuk menunjukkan apa yang sedang dirasakannya.
Semua yang ada di dalam kelas serentak menolehkan kepala
kearah pintu masuk. Suara ketukan terdengar di balik pintu itu. Mereka menatap
dengan bingung. Sama dengan Daniel, ia melirik jam tangannya. Kelas sudah mulai
sejak 10 menit yang lalu. Dan sekarang siapa yang ada di luar sana.
Kebingungan mereka semua sirna saat seorang gadis masuk
ke dalam. Ia mendekap satu buku besar. Buku panduan yang diberikan oleh
institute kursus ini. Wajahnya menunduk.
Daniel tidak bisa melihat wajah gadis yang baru masuk ini
karena sebagian poni gadis itu menutupi wajahnya. Gadis itu melangkah ke depan
Daniel.
Hanya harum parfum gadis itu saja yang merasuki indra
penciuman Daniel. Aroma yang terasa begitu asing untuknya. Tetapi ada sesuatu
yang familiar saat Daniel menghirupnya. Entahlah.
Ia mengangkat kepalanya. Bola mata obsidiannya menatap tepat
di manik mata Daniel.
Membuat Daniel terpaku sesaat.
Obsidian.
Kelam.
Indah.
Tiga
kata itu meluncur tanpa rencana dari kepala Daniel. Mata gadis itu sedikit
sipit. Obsidian bening bersembunyi di dalamnya. Bulu mata yang lumayan lentik
memperindah tampilannya.
“Maaf
sir saya terlambat.” ucapnya.
Daniel
tersentak dari lamunannya. Ia masih
menatap intens obsidian itu. Menyerang balik dengan kilau sappirenya. Seolah
menembus segala hal yang bersembunyi di balik bola mata sekelam malam itu.
Lagi-lagi
Daniel tersentak. Kali ini ia sedikit menunduk dan mengambil kertas yang
disodorkan oleh gadis itu. Ia membaca sebaris kata yang berada di bagian atas
kertas.
Tiga
kata yang dicetak jelas. Digaris bawahi.
Nathaly Tjandra O.
Begitu
yang tertulis disana. Daniel terpekur sejenak, nama ini bukan nama orang
Jerman. Tjandra, gumamnya.
“Sir,”
Suara
tegas yang meluncur dari gadis itu menginstrupsinya. Daniel menaikkan
kacamatanya dengan ujung telunjuk. Ia mengamati gadis itu dengan teliti.
Memperhatikan dari atas hingga bawah.
Angkuh.
Cetus
otaknya tiba-tiba. Ia tahu bagaimana obsidian itu menatapnya tajam. Ia tahu
gadis di depannya ini merasa risih diperhatikan seperti itu. Ia tahu bibir
gadis itu sudah gatal ingin membentaknya.
Daniel
tersenyum, ia suka cara gadis ini menatapnya. Tatapan kelam yang seolah siap
menelannya bulat-bulat.
“Kau
bisa mencari kursi yang kosong nona. Atau kau ingin berdiri di sini sepanjang
saya mengajar?” ujar Daniel dalam Bahasa Inggris. Nada suara penuh akan godaan.
Ia tahu, tidak semua murid yang mendaftar pada kelas Bahasa Jerman dasar
mengerti tentang Bahasa Jerman.
Nathaly
melongos. Ia menghentakkan kakinya kesal dan berbalik. Berjalan ke belakang
kelas dimana tersisa satu kursi kosong. Kursi di pojok, dekat dinding, dimana
di sebelahnya duduk seseorang dengan sweater merah.
Ia meletakkan buku
diktatnya dengan asal. Menghasilkan bunyi berdebum yang lumayan keras. Membuat
sebagian peserta yang akan menjadi teman selama tiga bulan mendatang menoleh ke
arahnya.
Nathaly hanya tersenyum acuh. Ia lantas cepat-cepat duduk
saat Daniel menatapnya dari depan.
Nathaly tidak suka dengan guru di depan sana. Songong, batinnya kesal.
Nathaly menoleh ke sebelah kiri. Pria yang duduk di
sebelahnya ini mengulurkan tangan kepadanya, ia tersenyum. Memperlihatkan
sebuah gigi gingsul miliknya. Membuat senyum yang ia berikan kepada Nathaly
menjadi sedikit berbeda.
Nathaly menyambut uluran tangan itu. Ia mengangguk saat
pria di sampingnya itu menyembutkan nama.
“George.”
“Nathaly.” balasnya.
“Tidak
usah diambil hati sikap Dan itu. Ia memang seperti itu,” ucap George tiba-tiba.
Nathaly hanya mengerutkan keningnya bingung.
Sok akrab sekali,
sinisnya dalam hati.
“Ia memang suka memperhatikan seseorang dengan detail.
Tapi kau tenang saja Nath, Dan bukan orang yang jahat.” Lanjut George.
Natahly hanya menatapnya sejenak, tidak terlalu
mendengarkan apa yang diucapkan oleh pria di sampingnya ini. Fokus dirinya
hanya untuk seseorang di depan sana. Seseorang yang mulai menjelaskan pelajaran
dasar dalam bahasa Jerman. Nathaly lebih tertarik dengan bahasan yang sedang
berlangsung sekarang, daripada mendengarkan celotehan tidak jelas mengenai guru
barunya itu.
Dan apa itu? Seenaknya saja pria ini memanggil namanya
seperti itu. Mereka saja belum kenal terlalu lama. Tetapi pria itu sudah berani
memanggilnya dengan nama kecilnya.
Nathaly hanya mendengus. Bertambah satu orang lagi yang
masuk dalam daftar seleksi orang-orang menyebalkan miliknya.
****
Nathaly meneguk air mineralnya dengan cepat. Mengisi
tenggorokannya yang kering. Ternyata tidak di Indonesia, tidak di Jerman. Ada
saja orang yang merupakan duplikat kakaknya.
Apa sifat yang dimiliki oleh Saka itu juga dimiliki oleh
banyak orang? Apa semua orang menyebalkan itu harus berada di sekelilingnya?
Tidak Saka, tidak Daniel, tidak George semuanya sama saja. Sama-sama
menyebalkan dan sama-sama membuat Nathaly mengomel panjang lebar.
Nathaly berdiri dan membuang botol air mineralnya yang
telah kosong. Ia berjalan lagi menuju counter penjual minuman. Membeli sebotol
lagi air mineral. Sekarang ia butuh beberapa liter air untuk menghilangkan
perasaan kesal yang bercokol di hatinya.
Nathaly pikir saat ia datang terlambat tadi ia tidak akan
diberi hukuman apa-apa. Padahal sebelumnya Daniel memperbolehkannya duduk
begitu saja. Mengacuhkannya. Tetapi ternyata tebakannya salah. Di tengah-tengah
pelajaran Daniel memanggilnya. Menyuruhnya maju ke depan. Berdiri dengan tegap
dan menghadap semuanya. Lalu setelah itu menyuruh Nathaly memperkenalkan diri
dalam bahasa Jerman. Apabila Nathaly tidak bisa, maka poin miliknya akan
dikurangi 100.
Di institute kursus tempat Nathaly mengambil kelas Bahasa
Jerman memang menerapkan system poin. Dalam satu minggu, setiap peserta kursus
memiliki 1000 poin. dimana poin-poin tersebut akan dikurangi sesuai dengan
kesalahan masing-masing dari mereka.
Di setiap kelas terdapat satu dinding khusus yang di
dalamnya terdapat layar poin. Dinding yang dibuat khusus dengan sedikit
menjorok ke dalam. Layar poin itu hanya bisa digunakan oleh setiap pengajar
yang berada disana. Masing-masing pengajar mempunyai kode layar tersendiri. Dan
mereka semua berhak mengurangi poin setiap peserta seseuai dengan kesalahan
yang mereka perbuat.
Layar poin yang menjadi musuh besar para peserta semester
akhir. Karena apabila mereka memiliki banyak kesalahan dan membuat poin mereka
menjadi minus. Maka setiap peserta harus membuat sebuah essay sebanyak 350
lembar dalam Bahasa Jerman.
1000 poin yang diberikan dalam seminggu akan diakumulasikan
dalam sebulan. Apabila sisa poin peserta tidak mencapai 500 poin, maka mereka
harus membuat essay sepanjang 5 lembar.
Hal itu membuat semua peserta yang mengambil kelas di
institute kursus ini harus berhati-hati. Menjalankan kelas mereka dengan baik
dan tertib. Atau sebagai konsekuensinya bila melakukan kesalahan, poin-poin
mereka akan dikurangi saat itu juga.
Saat itu Nathaly langsung membelalakkan matanya. Yang
benar saja, baru 30 menit ia mengikuti kelas sudah harus melakukan hal itu.
Padahal Daniel baru mengajarkan hal-hal dasar saja. Seperti mengucapkan
‘selamat pagi’, ‘selamat siang’, ‘halo’ dan lain sebagainya.
Ia belum menjelaskan bagaimana cara memperkenalkan diri
dengan benar. Nathaly merutuk dalam hati, kalau seperti ini adanya lebih baik
ia diberi hukuman saat datang tadi. Bukannya di tengah-tengah pelajaran yang
membuatnya menjadi tontonan satu kelas.
Nathaly mengumpat Daniel dalam hati. Ia mengumpat
habis-habisan. Kepalanya mulai berdengung karena bingung. Suara Daniel yang
menyuruhnya cepat membuat Nathaly semakin resah.
Ia berpikir keras. Mencari-cari kosakata Jerman yang tersimpan
di dalam kepalanya. Jangan diremehkan, selama setahun Nathaly pernah diikutkan
kursus Bahasa Jerman oleh Mamanya. Tetapi saat memasuki tahun kedua Nathaly
cepat-cepat membujuk Mamanya untuk menghentikan kursus itu. Ia tidak kuat.
Tidak ada sama sekali minat dalam dirinya.
Setelah mendapatkan sedikit ingatan tentang perkenalan
diri yang dulu pernah diajarkan. Nathaly memulai memperkenalkan dirinya.
Patah-patah karena ia lupa.
Sesekali suara lantang Daniel menginstrupsinya.
Membenarkan apa yang diucapkan Nathaly. Tetapi semua itu tidak berlangsung lama
karena Daniel langsung menyuruhnya berhenti dan duduk. Lalu menggaris bawahi
nama Nathaly di absen kelas. Di pojokan absen Daniel menulis angka 50
besar-besar. Tanda poin Nathaly dikurangi.
Nathaly menggeram kesal. Ini baru hari pertamanya. Tetapi
guru itu sudah memberikannya kesan jelek.
Lihat saja nanti.
Batin Nathaly menggebu-gebu.
Ia
melangkah kembali ke tempatnya duduk tadi. Membuka buku diktatnya dan melingkar
besar-besar materi yang akan dipelajari besok. Sebelum keluar kelas tadi,
Daniel telah memberi tahu semua peserta materi apa yang akan mereka pelajari
besok.
Asik dengan kegiatannya, Nathaly tidak mendengar suara
baki yang beradu dengan meja. Saat suara lembut seseorang mengudara, Nathaly
mengangkat kepalanya.
Ia
termangu sejenak. Matanya diberi pemandangan indah. Seorang gadis dengan bola
mata bulat besar, bermanik coklat menatapnya. Ia memiliki rambut sebahu
berwarna hitam, wajahnya bulat. Bentuk wajah yang familiar bagi Nathaly.
Gadis
itu tersenyum, dua lesung pipi otomatis tercetak di wajahnya. “Wenn ich konnte hier sitzen?”1 ucapnya.
Suara
gadis itu mengudara, terdengar renyah di telinga Nathaly.
Kening Nathaly mengerut mendengar ucapan gadis itu. Ia
cepat-cepat membenahi duduknya. Menutup buku diktatnya dan menatap gadis itu.
“English please.”
Gadis itu tersenyum lagi, “Do you mind if I sit here?”
“Ah. Silakan.” balas Nathaly.
Gadis itu menaruh tas selempangnya. Kemudian ia duduk di depan
Nathaly, mendekatkan baki berisi sepiring roti dan sekaleng jus.
_____________________________
1.
Wenn
ich konnte hier sitzen? : Apakah aku boleh duduk disini?
“Kamu
yang tadi maju ke depan kelas kan?” gadis itu bertanya tiba-tiba.
Blush.
Wajah Nathaly langsung memerah. Ia menunduk dan menarik
nafas untuk menghilangkan rasa kagetnya. Ternyata ada saja yang
memperhatikannya saat di kelas tadi. Nathaly berdeham. “Ya.” jawabnya pelan.
Gadis
itu tertawa pelan, ia mengulurkan tangan dan kembali tersenyum. “Ich heisse Najwa.”2 Ia memperkenalkan
diri.
Nathaly menyambut uluran tangan itu, entah berasal dari
mana, saat melihat senyum Najwa, ia merasakan suatu perasaan tenang. Mungkin
saja gadis di depannya ini bisa menjadi teman baiknya selama di Jerman.
Karena selama ini Nathaly tahu, ia tidak mudah untuk
dekat dengan seseorang yang baru dikenal. Ia bisa merasakan yang mana yang
ingin berteman baik dengannya atau yang hanya ingin berteman dengannya karena
kebutuhan mereka.
“Nathaly,” balasnya.
“Hei kita sama-sama memiliki nama dengan awalan ‘N’.”
seru Najwa girang. Ia terkekeh. Tangannya menangkup roti dan menggigitnya.
Tentu setelah mereka selesai berjabat tangan.
Nathaly ikut tertawa. “Yeah kau benar.”
“Hmm Nath. Can I
call you like that?”
“Of course. What?”
_____________________________
2.
Ich
heisse Najwa
: Namaku Najwa
Najwa menaruh rotinya lalu menatap Nathaly serius.
Nathaly menaikkan alisnya. Melihat tatapan Najwa yang seperti itu
mengingatkannya akan wajah Seira. Sahabatnya yang tinggal di Samarinda.
“Kenapa kamu tadi bisa terlambat?”
Mata Nathaly membulat sempurna. Bila gadis di depannya
ini adalah Seira, mungkin saat ini juga Nathaly akan menarik kedua pipinya dan
menjitaknya. Ia buru-buru menghela nafas, yang benar saja. Hanya bertanya
seperti itu saja, Najwa harus menatapnya serius. Aneh-aneh saja.
“Hei Nath jawab.” Desak Najwa.
Nathaly menatap Najwa dengan serius juga. Ia memajukan
wajahnya, memberikan jarak pandang yang begitu dekat. Dengan jarak sedekat ini
Nathaly bisa melihat warna mata Najwa dengan jelas. Coklat terang, seperti
milik Hana. Nathaly juga bisa mencium aroma strawberry dari gadis itu, entah
harum tubuhnya atau harum parfum yang ia kenakan atau mungkin harum shampoo
yang gadis ini gunakan.
Cara
Nathaly menatapnya dengan begitu serius malah membuat Najwa menjadi semakin
penasaran. Gadis itu memasang telinganya baik-baik.
“Karena
aku tersesat.” ucap Nathlay pelan nyaris berbisik.
Najwa memundurkan wajahnya cepat-cepat. Menatap Nathaly
dengan kesal. Sementara Nathaly, ia tertawa pelan mendapati wajah shock Najwa
karena mendengar jawabannya.
****
“Hei Dan. Kau serius mengurangi poin anak baru itu?” buru
George. Sejak tadi ia bertanya tetapi hanya diacuhkan oleh Daniel. Pertanyaan
yang diajukan George sejak keluar kelas Daniel hingga masuk ke dalam ruang
kerja mereka.
Daniel tidak menghiraukan pertanyaan George. Ia tetap
menyusun daftar nama-nama murid baru yang akan menjadi muridnya selama 3 bulan
ke depan. Menyusunnya menurut abjad, lalu merapikannya ke dalam filing cabinet.
“Daniel dengar tidak sih?” teriak George kesal. Cape tahu
kalau tidak didengar itu. Benar-benar ya Daniel ini, kalau mendengar itu
menjawab bisa tidak sih.
“Ya ya George aku dengar. Duduk. Aku bosan melihat mu
mondar-mandir seperti itu.”
George menarik kursi di depan meja Daniel dengan gusar.
Ia menatap Daniel yang akhirnya berhenti mengerjakan pekerjaannya. Jemarinya
mengetuk-ngetuk meja, menciptakan nada asal.
Daniel melepas kacamatanya, menaruhnya di atas tumpukan
kamus Bahasa Jerman. Ia menarik laci di sebelah kiri tangannya. Laci nomor
satu, dimana ia menyimpan kotak kamacatanya.
Ia mengambil lap kacamatanya lalu membersihkannya.
Kemudian menatap George dengan sedikit menyipit.
“Kau bertanya apa tadi Ge?” tanyanya seraya memanggil
George dengan nama kecilnya.
George menggeram, ia melayangkan satu jitakan ke kepala
Daniel.
“Ouch.” Rintihnya. Ia membelalakan mata, memelototi
George. Yang berani menjitaknya hanya manusia jelek di depannya ini saja.
“Kau bilang tadi mendengarku. Kenapa sekarang balik
bertanya?” George hampir berteriak mengucapkannya. Daniel ini benar-benar
membuatnya kesal.
“Iya iya Ge. Tidak usah marah-marah seperti itu, aku
mendengar kok, hanya..” belum selesai Daniel berbicara, I-phonenya berbunyi
nyaring, meraung-raung untuk segera diangkat. “Sebentar…”
George mendengus keras-keras. Siapa lagi sekarang yang
mengganggu? George melotot saat Daniel tersenyum mengejek. Sahabatnya itu lebih
memilih menjawab telponnya ketimbang menjawab pertanyaannya.
“Ya dear,” seru Daniel.
George menaikkan alisnya, heh dear? Memangnya siapa yang
menelpon Daniel hingga pria itu menyerukan sebutan itu?
“Iya sebentar lagi Daddy pulang. Karel jangan membuat
Aunty Eryn susah, ok?”
Ah George tahu, ternyata Karel yang menelpon. Bicara soal
Karel, ia jadi merindukan bocah kecil itu. Bocah aktif yang bisa membuat Daniel
pusing karena ulahnya. Dan membuat Daniel panik tidak karuan saat tahu Karel
demam.
George berdiri, ia melangkah dan berputar. Mengambil satu
frame foto di atas meja kerja Daniel, frame yang berisi foto Karel. Foto bocah
itu yang diambil Daniel saat musim semi kemarin. Karel berdiri di bawah pohon
linden dengan gulali besar di kedua tangannya.
George tahu betapa sukanya Karel akan makanan manis itu.
Bocah itu akan menangis lama bila Daniel tidak memberinya izin untuk memakan
gulali. Dan Daniel pun akan semakin tidak memberi izin bila tangis Karel tidak kunjung
berhenti.
Terkadang George kasihan melihat Karel. Bocah itu akan
berlari kepadanya dan mengadukan hal-hal yang membuatnya menangis. Cara Daniel
mendidiknya sedikit keras. Sehingga sering membuat Karel menangis. Tetapi
dibalik semua didikan yang Daniel beri, sahabatnya itu amat sangat menyayangi
Karel. Ia akan mengorbankan apapun agar putranya ini dalam keadaan baik.
George mengalihkan pandangannya sejenak. Menetap Daniel
yang sedang mengerutkan kening. Menasehati putranya yang sedang dalam masa
aktif-aktifnya.
“Dengar Daddy.
Jangan berlari kesana kemari dan menghamburkan mainan Andrio. Kau itu masih
demam, dengar?”
“Ya Daddy,”
sahut Karel.
“Dimana Aunty Eryn,
kau menelpon dibantu Aunty kan?”
“Tidak. Aku punya nomor telpon Daddy sendiri. Aunty
sedang pergi.”
Daniel menatap i-phone-nya dengan horror. Ia cepat-cepat
menyuruh Karel untuk menutup sambungan ini. Atau bisa dipastikan, saat ia
menjemput Karel nanti. Erynina akan menggantungnya hidup-hidup.
“Tutup telponnya cepat. Sebentar lagi Daddy pulang.” Perintahnya.
Di sebrang sana Daniel mendengar suara menderu-deru,
suara Andrio yang menirukan bunyi mobil tank. Lalu disusul dengan suara nyaring
Karel yang berteriak agar tank miliknya tidak ditabrak.
“Tutup telponnya Karel.” Daniel berkata dengan tegas. Ia
masih ingin hidup, ia tidak mau mendengar omelan super panjang dari Erynina
karena kuota telponnya berkurang banyak.
“Tidak mau. Daddy
tidak merindukan ku?” tanya Karel. Suaranya terdengar sedih.
Daniel mengusap wajahnya frustasi, disaat seperti ini
Karel malah bertanya seperti itu. God,
desisnya.
“Daddy
merindukan mu. Sekarang tutup telponnya. Atau pie lindennya tidak jadi Daddy belikan?” ancam Daniel.
“Jangaaaaaaan. Aku tutup. Love you Dad.”
Hah. Akhirnya ditutup juga. Daniel menghela nafas lega,
tetapi tidak secepat itu ia bisa kembali duduk. Ia cepat-cepat mencari nomor
telpon Erynina dan menelponnya. Kalau tidak. Huh Daniel malas membayangkan.
George menatap Daniel bingung. Hanya menerima telpon dari
putranya saja ia harus memasang wajah frustasi seperti itu. Sekarang menelpon seseorang
dengan mengacak-acak rambut. Mirip seperti orang yang dikejar rentenir saja.
“Ah Eryn.”
“George jangan angkat telpon dari nomor rumah Eryn,”
teriaknya lalu kemudian berlari keluar ruangan. George menaikkan alisnya melihat
tingkah aneh Daniel. Ia menaruh frame foto itu dan menyunggingkan senyum saat melihat
senyum ceria Karel disana.
Tidak lama, ponselnya berbunyi. Nama Erynina tertera
disana. George menimang-nimang untuk mengangkatnya atau tidak. Tetapi saat
wajah mengejek Daniel terlintas di kepalanya. George tersenyum jahil.
Kena Kau.
Batinnya senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar