Aku
benci dengan hujan.
Karena hujan membuat rasa benci
terhadap diriku sendiri semakin besar.
****
Aku menatap titik air hujan yang
perlahan mulai turun dengan intensitas yang cukup tinggi.
Hujan lagi-lagi turun di tengah
cuaca yang seharusnya panas. Keadaan alam semakin hari semakin tidak menentu.
Membuatku harus membawa payung setiap saat. Dan itu membuat tasku semakin
berat. Tubuh yang kian hari kian ringkih ini sudah tidak kuat lagi hanya untuk
menggendong tas yang bertambah isinya satu buah.
Aku membentangkan payung. Melangkah
perlahan menuju gerbang rumah sakit. Melewati genangan-genangan kecil berwarna
cokelat yang sudah mulai memenuhi pelataran rumah sakit.
Telingaku tersumpal dengan sepasang earphone berbentuk kura-kura. Hewan
lambat yang selalu mendengarkan keluh kesahku.
Gapura di depan gerbang rumah sakit
disesaki dengan banyak orang. Aku berusaha menyelipkan tubuhku di antara
mereka. Berlindung dari air hujan yang turun semakin deras.
Keluhan, dengusan dan makian terdengar
di sana sini. Semua orang mengeluhkan hujan yang turun tiba-tiba di tengah
cuaca panas. Mereka mengumpat dan memaki hujan yang menghambat langkah-langkah
cepat mereka.
Aku tidak perlu menambah keluhan
terhadap hujan. Mendengar semua keluhan yang mereka lontarkan sudah mewakili
apa yang ingin aku ucapkan.
Anak-anak kecil yang menjajakan jasa
ojek payung adalah manusia paling bahagia dengan turunnya hujan. Dengan hujan
yang turun begitu deras, pendapatan mereka akan bertambah. Tanpa mempedulikan
tubuh mereka yang akan sakit dikemudian hari.
Aku mendengar suara senandung pelan
yang dilantunkan oleh seseorang di belakang ku. Sepasang earphone tersumpal di telinganya. Selembar partitur ada di
tangannya. Mata madunya memandangku
dengan teduh ketika kedua mata kami tidak sengaja bertabrakan. Aku mengangguk
pelan sebagai balasan.
Ia menunjuk earphone ku. Menyuruh untuk melepasnya sejenaknya. Bibirnya
bergerak-gerak hendak berbicara.
“Dari dokter ya, mba? Kenalin nama
saya Aruna.” Ia menyodorkan tangannya kepadaku.
Aku menyambut tangan besar khas pemuda
itu dengan bingung. Mataku menatapnya tak mengerti. Ia terkekeh pelan, jarinya
menunjuk amplop yang ada di genggaman tanganku.
“Sakit apa, mba?”
Aku mengernyit mendengar pertanyaan
yang dilontarkannya. Apakah orang yang baru mengajak berkenalan menanyakan
sesuatu hingga sedalam itu?
Hujan masih mengguyur dan aku masih
terjebak di gapura gerbang rumah sakit bersama dengan seorang pemuda asing.
“Nggak mau memberitahu ya? Hehehe.
Maaf deh mba. Cuma penasaran aja kok.” Ia memberikan cengiran kepadaku. Aku
hanya menatapnya datar.
Aku terdiam lama sebelum menjawab
perkataannya. Hujan menyita perhatianku. Pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda
itu membuatku kembali mengingat percakapan menyebalkan dengan Dokter Ahra. Dokter
keluarga kami yang merawat ku sejak kecil bila terserang penyakit. Dokter yang
masih tampak cantik diumurnya yang menginjak kepala 4.
Aku masih mengingat wajah sedih
milik beliau. Wajah penuh penyesalan ketika menyampaikan mengenai
penyakitku. Air mata yang menetes dari
kedua matanya pun masih ku ingat.
Bukan aku yang terisak sedih karena
mendengar diagnosa penyakitku. Tetapi dokter ku itu yang menangis terisak-isak
seraya memelukku erat. Aku bisa merasakan bagaimana terpukulnya perasaan
beliau. Pelukan beliau tak sehangat seperti biasanya.
“Alzheimer.” Aku menyahut pelan.
Pemuda di belakangku itu
menghentikan senandung yang dilantunkannya. Ia menatap mataku dengan pandangan
tertegun. Aku bisa menangkap sedikit rasa sedih di sana. Entahlah mengapa ia
menyelipkan secuil sedih di tatapan matanya. Toh kami bukanlah dua orang yang
saling mengenal.
Aku terperangah tak percaya dengan
respon yang diberikannya. Ia kembali menyodorkan tangannya, diikuti dengan
seulas senyum tulus kepadaku.
“Mari kita berteman. Saya juga
mengidap penyakit itu,” ia terkekeh geli, lalu melanjutkan. “Semoga kita masih
bisa membuat banyak kenangan sebelum seluruh kenangan itu menghilang tak tersisa.”
****
Aku menekan dengan pelan setiap tuts
piano. Berusaha untuk mengingat seluruh isi partitur yang semalam ku hapal
habis-habisan di tengah suara berisik di ruang keluarga.
Di depanku, Sir Alex nampak
memejamkan mata dan menajamkan telinganya guna mendengar dan mengoreksi
permainanku. Beliau mengangkat tangan, instruksi dimana aku untuk berhenti
bermain.
Aku mendesah lega setelah hampir 1,5
jam memainkan satu lagu yang sama secara berulang-ulang. Sir Alex berdiri dan
melangkah mendekatiku. Beliau menepuk pucuk kepalaku dengan lembut.
“Ada dua not yang nadanya melenceng.
Kau bisa memperbaikinya setengah jam lagi. Beristirahatlah dulu.”
Menjadi seorang pianis bukanlah
impianku. Bilapun menjadi pianis ada dalam list
cita-citaku, aku akan menaruhnya di nomor terakhir. Cita-cita utamaku adalah
menjadi seorang atlet synchro diving.
Meloncat dengan begitu indah dari atas platform
setinggi 10 meter adalah mimpiku.
Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi
yang terpaksa berhenti sejak 7 tahun lalu. Tubuhku tidak mampu untuk mengikuti
seluruh latihan-latihan yang diperuntukkan bagi seorang atlet synchro diving.
Menjadi pianis adalah sebuah harapan
yang disematkan Ibu disisa nafas terakhirnya 7 tahun lalu. Harapan terakhir
sebelum beliau menyerah dengan kanker payudara yang menggerogotinya.
Awalnya aku menjalani semua ini
dengan terpaksa. Keadaan keluargaku berubah dengan begitu drastis. Ayah yang
terlalu terpukul dengan meninggalnya Ibu menelantarkan 5 darah dagingnya.
Beliau menjadi gila kerja dan jarang pulang ke rumah.
Kakak pertamaku pun seperti itu.
Menjalankan anak perusahaan Ayah membuatnya sering bepergian jauh. Ia hanya
berkomunikasi dengan kakak ketigaku. Aku ada dalam urutan terakhir yang akan
dihubunginya bila ia berada jauh di luar negeri.
Sebagai anak bungsu yang tidak
terlalu disayang di rumah, kecuali oleh Ibu. Aku hanya bisa menangis diam-diam
di kamar ketika keempat kakakku mulai tidak menganggapku ada.
Ketika memeriksakan diri beberapa
hari yang lalu, aku hanya bisa menghela nafas kasar diam-diam. Setelah selama
ini yang sudah kualami, mengapa Tuhan kembali memberiku cobaan? Menjadi
seseorang yang tidak pernah dianggap oleh keluarga sendiri saja sudah membuatku
menderita. Sekarang ditambah aku harus mengidap Alzheimer. Yang sampai saat ini
masih belum bisa disembuhkan.
Terkadang aku menyalahkan Tuhan
dengan keadaanku yang seperti ini. Tapi beberapa tahun terakhir ini, setelah
aku menjadi salah satu pianis yang berhasil masuk dalam resital Sir Alex di
Jerman, aku sudah tidak pernah menyalahkan Tuhan lagi. Karena satu pelajaran
yang kudapatkan disuatu hari di tengah hujan kala itu, bahwa akan ada keajaiban
Tuhan untuk seluruh umatnya.
****
“Halo mba. Bertemu lagi. Tidak
lupakan dengan saya kan? Saya Aruna.”
Aku berhenti melangkah ketika
sesosok pemuda jangkung dalam balutan hoodie birunya berjalan dalam tenang
menghampiriku. Ia memberikan cengiran lebar yang membuat kedua matanya bersinar
jenaka.
Aku menangkap binar senang di mata
madu pemuda itu.
“Sedang apa di sini?” ia bertanya
dengan ramah. Ada satu perasaan senang yang menyelinap di hatiku ketika
mendengar suaranya.
Aku mengangkat 2 buah buku mengenai
Alzheimer kehadapannya. Ia menyipitkan matanya saat membaca judul buku
tersebut. Lalu dengan girang menunjukkan plastik berisi buku yang ditentengnya.
“Wah sama. Saya juga beli buku itu.
Nih.” Aruna menunjukkan kepadaku.
Aku dan Aruna melangkah memasuki
sebuah café di dekat toko buku. Ini adalah hari keenam puluh setelah pertemuan
pertama kami. Ia menyeretku untuk menemaninya membahas isi buku kami yang sama
ini.
Dalam 60 hari setelah diagnosa
penyakit itu. Aku mulai merasakan sedikit demi sedikit gejalan Alzheimer. Gejala
pertama yang kualami adalah ketika aku terkadang lupa menaruh sesuatu.
Orang-orang di rumah tidak ada yang
tahu dengan penyakitku ini. Hanya Ibu tiriku saja yang mulai menyadari keanehan
dalam diriku. Dan aku tidak terlalu peduli akan hal itu.
“Ayo diminum cokelatnya. Keburu
dingin. Cokelat hangat nggak enak kalau diminum saat dingin. Apalagi di tengah
hujan begini. Eh hujan? Kayaknya kita jodoh deh, mba.”
Aruna menyerocos tanpa henti.
Bibirnya yang mungil itu tidak berhenti bicara sejak kami duduk dua puluh menit
yang lalu.
Ia berbicara tentang apa saja.
Mengomentari dekorasi café. Mengomentari isi pembicaraan orang lain yang tidak
sengaja didengarnya. Mengomentari seragam para karyawan. Mengomentari permainan
piano yang disuguhkan dalam live music
café ini. Apa yang tertangkap retina matanya akan dikomentari olehnya. Seakan ia lupa dengan tujuan awalnya
menyeretku ke dalam café ini. Bukunya tergeletak begitu saja di atas meja.
Hujan kembali mengguyur bumi. Sama
seperti pertemuan pertama kami. Aku menyesap perlahan cokelat hangat yang
kupesankan. Merasakan rasa manis dan pahit yang disuguhkan oleh minuman ini.
Mengingat rasanya yang dikemudian hari tidak akan bisa kuingat lagi.
Aruna masih betah berbicara. Aku
hanya menimpali seadaanya saja. Dan ia tidak terganggu dengan itu. Aku mengerutkan kening mendapatinya menyodorkan
sebuah undangan kepadaku. Aruna menggaruk tengkuknya seraya menyengir gugup.
“Saya nggak punya teman buat
diundang ke acara ini. Semoga mba mau datang ya.”
Aku membacanya dalam diam. Kedua
mataku membulat tak percaya ketika membaca nama lengkap Aruna. Lalu menatap
Aruna kagum. Aruna sendiri menunduk malu, aku bisa melihat rona merah yang
menjalari kedua pipinya.
Melihat itu membuatku tertawa tanpa
sadar. Melihatnya gugup seperti perempuan sedikit membuatku geli. Tawa yang
sudah lama sekali rasanya tak pernah kulakukan.
Tanpa kuketahui, Aruna melirikku
dengan mata madunya. Tatapan mata yang tak kuketahui apa artinya.
****
Satu tahun berlalu. Penyakit ini
semakin hari semakin menggerogotiku. Hari ini hujan kembali turun. Aku
memperhatikan bulir air hujan yang merambat di kaca ruang latihan Aruna. Kali
ini adalah giliranku untuk menemaninya berlatih.
Aruna sedang memainkan sebuah lagu
yang sudah digubahnya sedemikian rupa. Dokter Ahra bilang, penyakit yang
menyerang Aruna berjalan lambat. Sehingga ia masih bisa melakukan apapun tanpa
merasakan ada yang hilang.
Aruna masih begitu ingat dengan
semua isi partitur yang dihapalnya. Berbeda dengan ku yang sudah mulai
melupakannya satu persatu. Demi menghapalkan satu gubahan saja aku butuh
beberapa minggu. Berbeda sekali ketika aku masih sehat dulu.
Aku menoleh ketika Aruna
menyenderkan kepalanya di pundakku. Kebiasaannya setelah selesai memainkan
beberapa gubahan. Tangannya terulur
mengusap kaca yang tampak berembun. Ia mengukir namanya di sana. Jarinya
mengetuk-ngetuk kaca dengan irama teratur.
“Ini hujan ke 185 setelah pertemuan
pertama kita. Kau ingat dimana kita bertemu?” Aruna bertanya dengan suara
pelan. Enggan mengganggu suara hujan yang bertalu-talu di luar sana.
Aku mengangguk. Satu memori itu yang
berusaha untuk tidak ku lupakan. “Di tengah hujan di gapura rumah sakit.”
Aruna mengulas senyum lembut. Ia
meremas tanganku, lalu mencubit hidungku dengan gemas. “Aku Aruna dan kamu
harus ingat itu.”
Perkataan yang sama di setiap
pertemuan kami. Terkadang aku kesal dengan apa yang diucapkannya itu. Seperti
aku akan melupakannya tiba-tiba saja. Aku menjewer telinganya pelan, “Aku
ingat.”
****
Aku menangis terisak di dekapan
Aruna. Ini bulan ke 15 setelah pertemuan kami, setelah mengetahui tentang
penyakitku. Aruna mengusap dengan lembut punggungku. Ia membisikkan kata-kata
penenang agar aku berhenti menangis.
Aku menangis karena melupakan nama
Aruna ketika ia bertanya tadi. Aku melupakan dimana aku pernah bertemu
dengannya. Aku melupakan janji yang ku ucapkan dua hari lalu. Aku juga melupakan
apa yang sudah ku jalani selama seminggu ini bersamanya.
“Tidak apa-apa. Bukankah sekarang
kamu sudah ingat denganku lagi? Yang terpenting bagiku, kamu selalu ingat
denganku. Walau itu memerlukan waktu yang lama.” Aruna berbisik pelan.
Perkataannya itu semakin membuatku
merasa bersalah. Aku berkali-kali menggumamkan kata maaf untuknya. Tetapi Aruna
tetaplah Aruna. Ia dengan tenang dan pelan menenangkanku yang tidak berhenti
menangis.
****
Dokter Ahra menelponku. Beliau
mengatakan akan mengajakku ke sebuah resital tunggal. Dari kalender yang sudah
kuberi bulatan-bulatan berwarna merah. Hari ini adalah hari ke 455 setelah
Dokter Ahra memberitahuku tentang penyakit ini.
Aku menyaksikan sebuah pertunjukkan
piano megah seorang pemuda tampan yang jangkung. Ia menyebut namaku sebelum
memainkan sebuah gubahan. Dokter Ahra bilang, nama pianis itu Aruna. Dan yang
dimainkannya adalah Stepping On The Rainy Street.
Aku mencoba untuk mengingat wajah
seseorang yang berdiri di depanku saat ini. Ia menyunggingkan senyum tulus yang
begitu menawan. Tapi semakin ku coba, semakin aku tak mengingatnya.
Ia memberikan sebuah pelukan seraya
membisikkan sesuatu kepadaku. “Kamu mengingat janji mu. Lihat kan, kamu tidak
melupakan ku. Aku tahu itu. Aku Aruna. Ingat itu ya?”
****
Ini hari ke 730. Tepat dua tahun.
Saat ini aku terbaring lemah di atas tempat tidur kamarku. Banyak sekali orang
yang memenuhi kamar ku. Aku tidak tahu mengapa mereka ada di kamarku.
Aku tak mengingat wajah dan nama
mereka. Seorang wanita cantik yang duduk di sisi tempat tidurku memperkenalkan
mereka satu persatu. Aku hanya mampu mengucapkan maaf karena tidak bisa
mengingat mereka. Tapi kehadiran mereka membuat hatiku senang.
Aku mengedarkan pandangan,
menyelusuri isi yang ada di dalam kamarku. Di setiap tempat tertempel kertas
bertuliskan nama seseorang. Aruna. Wanita
cantik di sebelahku mengatakan bahwa itu nama kekasihku. Aku tak pernah ingat
pernah mempunyai seseorang kekasih bernama Aruna.
Orang-orang di dalam kamarku
menatapku dengan sendu. Beberapa dari mereka menangis. Aku bingung melihatnya.
Apa yang mereka tangiskan? Bukankah aku hanya terpeleset di kamar mandi saja
seingatku.
Pintu kamar terbuka. Seorang pemuda
jangkung berhoodie biru melangkah masuk. Wanita cantik di sebelah ku
membisikkan tulisan yang tertera di bagian depan hoodienya. Mendadak aku tidak
bisa membaca tulisan sependek itu.
Aruna.
Itu yang beliau bisikkan. Aku mengulas senyum untuknya yang juga
memberiku sebuah senyum menawan. Aku merasakan ia meremas tanganku dengan erat.
Mataku serentak terpejam ketika ia mengecup keningku dengan lembut.
“Aku Aruna.” Bisikkan pelan itu
mengantarku dalam tidur yang sangat panjang.
****
Aruna bersimpuh di depan makam
seseorang. Ia melantunkan doa yang dicoba untuk tidak dilupakan. Semakin hari
semakin bertambah parah Alzheimer yang diidapnya. Ia sudah tidak bisa lagi
memainkan berbagai gubahan di depan pianonya. Ada yang hilang dalam hidupnya
sejak seseorang yang tertidur dalam damai di makam ini.
Kenangan-kenangan yang mereka lalui
bersama diusahakannya untuk tidak terlupa. Tapi dari hari ke hari, kenangan itu
satu persatu mulai terlupakan dan hilang.
Selesai berdoa, Aruna mengusap penuh
sayang batu nisan milik seseorang ini. Ia mengecupnya lama. Dalam ingatan
terakhirnya, wajah manis seorang gadis berumur 18 tahun terekam jelas. Aruna
tersenyum ketika membuka matanya.
Ia merunduk dan membisikkan sesuatu.
“Aku Aruna. Kau harus ingat itu, sayang. Aku mencintaimu, Elena.”
“Tunggu aku di sana, ya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar