4
Nathaly
berdiri di belakang pria bertubuh jangkung. Pria itu mengenakan kemeja hitam,
ia menjinjing kantong kertas di tangannya. Suaranya terdengar berat. Dengan
rambut yang dipotong cepak, Nathaly mengira-ngira bahwa pria di depannya ini
berumur kepala empat.
Saat pria itu keluar dari barisan mengantri karena telah
mendapatkan pesanannya, Nathaly tersenyum senang. Jawabannya tepat, melihat
pria itu menghampiri seorang wanita dan berbicara sebentar, Nathaly jadi bisa
mengira berapa umurnya.
Suara berat yang menderu-deru keluar dan menghampiri
indra pendengaran Nathaly sejenak, membuatnya mengangguk senang.
Kedua pasangan itu beranjak keluar kedai seraya bergandengan
tangan. Meninggalkan Nathaly yang sedang menatap punggung mereka dengan binar
senang. Senang karena tebakannya terjawab benar.
“Frau.”3
Natahly cepat-cepat
menolehkan kepalanya. Seorang gadis kira-kira berumur tujuh belas tahun
menatapnya hangat. Senyuman tersungging di wajah tirusnya.
“Was möchten Sie
bestellen?”4
_________________________
1.
Frau : Nona
2.
Was möchten Sie
bestellen? : Anda
ingin pesan apa?
Nathaly
terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan gadis itu. Setelah ingat apa yang
pernah diberitahu oleh Najwa. Nathaly mengangguk samar.
Nathaly menunjuk gambar
kue kering berbentuk daun linden pada daftar menu yang ada di atas meja. Di
kedai roti yang ia ketahui dari Najwa kemarin ini memang menggunakan system
sentuh. Interior kedai yang terasa hangat. Di dalamnya didesain seperti sedang
berada di kebun Linden. Dindingnya di cat dengan gambar pohon linden disemua
musim.
Terdiri dari empat ruangan sesuai dengan empat musim yang
ada di Jerman. Dan saat Nathaly masuk tadi, ia masuk ke dalam pintu bernomor 3.
Suasana guguran daun linden terasa sangat kental.
Dindingnya penuh dengan gambar guguran daun yang berwarna
hijau, kuning dan coklat. Di sebelah kanan dari tempat Nathaly mengantri. Satu
dinding penuh akan proses gugurnya daun linden. Dari daun itu masih berwarna
hijau cerah hingga berwarna coklat tergambar sempurna.
Daun linden sendiri mempunyai bentuk yang sama dengan
bentuk hati. Pohon Linden merupakan salah satu pohon yang multifungsi. Pada
umumnya ia ditanam sebagai pembatas jalan atau penghias taman seperti yang
terdapat pada salah satu jalan utama di Berlin yang bernama Unter den Linden.
Bunganya
menghasilkan banyak madu yang manis untuk makanan lebah. Kayunya juga sangat
berguna untuk kayu bakar dan merupakan salah satu pohon yang baik untuk
ditebang karena ia dapat tumbuh dengan cepat. Pucuk-pucuk mudanya yang lembut
juga seringkali dimasak sebagai salad. Konon katanya pohon ini juga dapat
menyembuhkan penyakit epilepsi dan bunganya sering diseduh dalam teh untuk
minuman relaksasi.
Yang
Nathaly tahu mengenai pohon ini adalah, pada abad pertengahan, kayu pohon
Linden digunakan untuk seni ukir dan pembuatan patung.
Nathaly menyukai tempat ini. Kedai roti yang menciptakan
perasaan tenang di hatinya.
“One kilos please,”
ucapnya.
Gadis itu mengangguk, ia menyentuh layar bergambar roti
kering berbentuk daun linden seperti pesanan Nathaly. Tidak sampai sepuluh
menit, kue kering pesanan Nathaly telah terbungkus rapi. Gadis itu
menyorongkannya kepada Nathaly seraya menyebutkan harga.
Nathaly menerimanya, mengambil beberapa euro dari
dompetnya, ia menggumamkan terima kasih. “Danke
schön.”5
Gadis itu kembali tersenyum, ia mengangguk lalu
mengucapkan terima kasih kembali dan berharap agar Nathaly dapat kembali
berkunjung ke kedai roti mereka.
Nathay berbalik. Ia berjalan keluar kedai. Suara
gemerincing lonceng yang berada tepat di pintu masuk berbunyi saat ia
mendorongnya pelan. Nathaly melangkah pelan, ia berhenti sejenak di tempatnya
berpijak. Aroma kue kering yang baru saja dipesannya menguar sempurna.
Aroma yang khas
yang asing untuk Nathaly. Ia mengangkat kantong kue itu mendekati hidungnya.
Menghirup aromanya. Memenuhi paru-parunya dengan zat baru.
Ia melirik jam tangannya. Senja masih butuh 2 jam lagi
untuk bergulir. Dan Nathaly belum mau kembali ke flatnya. Ia menolehkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri.
___________________________
3.
Danke
schön : Terima
kasih
Matanya tertuju pada meja berpayung hijau yang berada di
dekat pintu nomor 2. Nathaly mengangguk pelan, sepertinya menunggu senja seraya
duduk di kedai ini bukan pilihan yang buruk. 2 jam bukan waktu yang lama bagi
Nathaly bila ia mendapatkan asupan udara baru.
Mata Nathaly mulai beredar mengamati keadaan kedai roti
ini. Ia baru sadar bahwa meja yang ia duduki ini berada di depan pantry
pembuatan pie. Nathaly bisa melihat 3 orang pekerja yang mengenakan seragam
putih hilir mudik membuatkan pesanan pie.
Aroma pie linden ternyata tidak jauh berbeda dengan pie
yang sering dibuatkan oleh Mamanya. Hanya aroma khas daun linden yang
membuatnya menjadi nilai tambah.
Pantry pie di depannya ini memiliki suasana yang berbeda
dengan kedai yang baru saja ia masuki. Kedai roti berpintu nomor 2 ini
menawarkan suasana musim semi Jerman.
Sama seperti di kedai dengan pintu bernomor 3 tadi, kedai
roti ini juga menghias dinding dalamnya dengan suasana musim semi. Pohon-pohon
linden berjajar rapi di dalamnya. Warna hijau mendominasi keadaan di dalam
kedai nomor 2 ini.
Pucuk-pucuk daun linden menyembul tak aturan. Membuat
sebuah gradasi tersendiri. Serta aroma pie yang menguar bebas membuat siapa
saja yang berada di sekitar kedai ini berhenti sejenak. Menghirup aroma manis
yang ditawarkan.
Aroma pie yang baru saja diangkat menggoda indra
penciuman Nathaly. Gadis itu berinisiatif untuk mencicipinya. Ia berdiri,
melangkah memasuki kedai tersebut.
Kembali suara gemerincing bel terdengar saat ia mendorong
pintu kedai. Aroma pie serta merta menyerbu hidung Nathaly. Mengisi paru-paru
Nathaly dengan zat yang baru lagi.
Gadis itu memilih untuk duduk di dekat pantry pie. Ia
melambaikan tangannya memanggil pelayan. Seorang pelayan yang menggunakan apron
berwarna biru menghampirinya. Apron berwarna biru laut yang tampak begitu
tenang. Sama seperti senyum yang ia lemparkan kepada Nathaly.
Iris
birunya menatap Nathaly dengan teduh, seolah sedang menyuruh cucunya untuk
memilih pie apa yang ingin dimakannya.
Nathaly
membalas senyum teduh itu, diambilnya buku menu yang disodorkan oleh pelayan
dengan senyum itu. Ia menyebutkan pesanannya dan menggumamkan terima kasih.
Membuatnya kembali mendapatkan satu senyum teduh dari pelayan yang kira-kira
telah berumur setengah abad itu.
Nathaly takjub melihat bagaimana kedai ini menghias semua
sudut ruangan mereka. Setelah memilih apa yang ingin ia cicipi. Nathaly kembali
mengedarkan pandangannya. Mengamati setiap sudut yang ada.
Suara gemerincing bel menyita perhatian Nathaly. Membuatnya
memutar kepala dan melihat siapa pelanggan yang baru masuk.
Seorang pria bertubuh jangkung, dengan mantel abu-abu
yang terkesan hangat. Wajah familiarnya membuat Nathaly mendengus tak sengaja,
wajah yang tiga minggu ini ditemuinya setiap hari di
dalam kelas. Ya siapa lagi kalau bukan guru pembimbingnya. Daniel.
Wajah tegas yang entah mempunyai sihir apa, yang selalu
membuat Nathaly memperhatikannya.
Pria itu melangkah menuju tempat mengantri pie. Ia
berbincang sejenak dengan pelayan yang tadi melayani Nathaly. Tawa miliknya mengalun
pelan, memasuki telinga Nathaly dengan samar.
Ia mengangguk terima kasih ketika selesai memesan. Kedua
kakinya menuntunnya ke sudut ruangan yang bertolak dengan meja Nathaly. Ia
duduk dan mulai focus dengan i-phonenya.
Nathaly tersentak. “Duh Nath. What are you doing?” desisnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Menghilangkan semua gambar yang direkam oleh bola matanya sejak tadi.
Entah kenapa, semua yang dilakukan oleh Daniel pasti
menyita perhatiannya secara tiba-tiba. Seolah ada sihir yang menyuruh Nathaly
untuk mengikuti setiap gerak yang diciptakan oleh Daniel.
****
Daniel tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan oleh
uncle James –begitu Daniel memanggilnya- pelayan kedai ini yang sudah bekerja
lebih dari sepuluh tahun.
Ia menceritakan mengenai kejadian yang baru terjadi 30
menit sebelum Daniel datang. Pie-pie yang baru saja matang jatuh berserakan
karena Seat menyandung lantai yang tingginya berbeda. Wajah pemuda itu seketika
pucat mendapati apa yang baru saja terjadi. Ia cepat-cepat membersihkan pie-pie
itu dan membuatkan yang baru sebelum pemilik kedai ini kembali.
Uncle James terpingkal-pingkal menceritakannya. Seorang
pemuda yang selalu mengoceh tentang pentingnya berhati-hati seperti Seat itu
bisa jatuh dengan tidak elitnya hanya karena tidak melihat jalan.
Daniel menimpalinya dengan tertawa pelan. Setelah
mendengarkan cerita Uncle james, Daniel memesan beberapa pie. Malam ini George
akan menginap di apartemennya. Menemani Karel yang merengek memintanya untuk
datang.
Setelah mengucapkan apa yang diinginkannya, Daniel
melangkah menuju meja favoritnya. Meja di pojok kedai yang bertolak dengan
pantry pie.
Matanya menjelajah kedai. Rasanya dalam seminggu ini ia
sudah kemari sebanyak 3 kali. Dan semua itu adalah ulah Karel yang menodongnya
untuk membelikan pie linden.
Daniel tidak habis pikir, mengapa putranya itu begitu
menyukai manis. Padahal ia saja tidak terlalu suka dengan makanan manis. Daniel
trauma, saat ia berumur 10 tahun, saat itu ia sangat senang memakan 4 batang
coklat dalam sehari, giginya sakit. Ia menangis sepanjang malam karena tidak
tahan dengan rasa sakit yang menyerang giginya.
Satu rumah memarahinya. Terutama Papanya. Dan sejak itu
Daniel mulai menjauhkan dan menghapus coklat dari daftar makanannya. Bukan
hanya coklat, tetapi seluruh makanan manis yang ada. Karena ia tidak mau lagi
kena marah Papanya hanya karena makanan manis
Hanya pie dari kedai ini saja yang masih ia konsumsi.
Rasa manisnya tidak terlalu pekat di lidah. Yang menurut Daniel sangat pas
dengan lidahnya yang anti manis.
Daniel duduk di mejanya, ia melihat ke arah pantry pie.
Bermaksud menghirup aroma pie yang baru saja diangkat. Tetapi saat itu juga
matanya melihat Nathaly yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedikit menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas.
Dan memang benar gadis yang duduk di dekat pantry pie itu adalah Nathaly. Gadis
yang selama tiga minggu ini selalu
merecokinya di dalam kelas.
Yang selalu menatapnya tajam ketika ia tidak boleh
dibantah.
Gadis itu masih menggelengkan kepalanya. Ia juga memukul
kepalanya pelan. Daniel hanya mengerutkan keningnya melihat tingkah gadis itu.
Selesai dengan kegiatan menggelengkan kepalanya, gadis
itu pelan-pelan mengangkat kepalanya dan mengedarkan obsidian miliknya ke
seluruh ruangan dengan takut-takut.
Obsidiannya menatapnya dengan intens selama sekian menit.
Tetapi obsidian itu cepat-cepat berpaling ketika menyadari sang objek yang
ditatapnya berbalik menatapnya.
HAH.
APA TADI?
Nathaly menatapnya? Obsidian itu menatapnya? Menatapnya
dengan tepat di sapphirenya? Yang benar saja.
Ceritanya bagus deh, kasih Widget Arsip dan Postingan yang terkait biar yang baru pertama kali masuk Blog bisa baca dari bab pertama, semangat terus yah menulis! kunjungi Blog gue juga ya http://Jurnalkeren.blogspot.com #VolpenBlogwalking
BalasHapusHai terima kasih udah mau mampir ke sini ya :)
BalasHapusuntuk bab satu Linden, maaf nggak bisa di post hehe. ini cuma salah satu chapter dari naskah saya.