“Kenapa suka dengan senja sih?”
Aku bertanya padanya saat sore hari
menjelang matahari terbenam, enam hari sejak bulan November dimulai . Kau hanya
tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.
“Kenapa suka dengan senja? Apa senja
begitu menarik perhatianmu?”
Aku bertanya lagi pada sore ketiga
setelah sore itu. Dan kau tetap tak menjawab pertanyaanku. Kau hanya tersenyum
dan menggenggam erat tanganku.
“Hei sayang, apa senja begitu
mencuri perhatianmu?”
Aku kembali melemparkan pertanyaan
yang sama di sore kelima. Kali ini kau mengulum senyum seraya menyentil
keningku pelan. Tak ada jawaban seperti
biasa.
Dan sore hari ini. Delapan hari
berlalu sejak sore di tanggal enam itu. Aku dan kamu duduk bersisian di pesisir
pantai. Duduk di atas bongkahan batu besar yang kau beri nama ‘Batu Senja’.
Matahari mulai bergulir kembali ke
peraduaannya. Suara debur ombak menemani waktu kebersamaan kita. Keheningan
melanda kita berdua sejak setengah jam yang lalu. Suara gesekan dari pohon kelapa saling beradu.
Burung-burung camar mulai terbang
kemabali ke angkasa. Dan kau sibuk dengan kameramu sejak tadi. Tak mengiraukan
aku yang sudah mulai bosan.
Aku menghela nafas lelah,
membaringkan tubuhku dengan kedua tangan yang ku tekuk sebagai alas kepala.
Menatap langit sore yang berwarna orange bercampur merah. Matahari sudah
benar-benar kembali. Hanya tinggal sinar lemahnya saja yang terlihat.
Kau tersenyum puas saat melihat
hasil bidikan-bidikan sunset yang
berhasil kau abadikan. Aku memejamkan mata, menunggu kau benar-benar puas
menatap lukisan alam itu.
Guncangan pelan menyapa pundakku.
“Kent.” Panggilmu lembut.
“Hmm.” Sahutku.
“Aku ingin menjawab pertanyaanmu,”
Eh pertanyaan?
Aku tak ada mengajukan pertanyaan
apapun sejak menjemputnya dua jam yang lalu. Lalu ia mau menjawab pertanyaan
yang mana?
“Bangunlah dulu. Temani aku, jangan
menutup mata seperti itu.”
Aku membuka mata, menegakkan tubuh
lalu berputar menatapnya.
Rambut hitam lurus milikmu berkibar
dibelai oleh angin. Aku menyematkan sejumput rambut yang menghalangi sebagian
wajahmu.
“Jawablah pertanyaanku. Dan kau
tau,” aku menyentil keningnya pelan. “Aku tak ingat pernah bertanya sesuatu
kepadamu.” Lanjutku.
Kau tersenyum malu, rona merah
menghiasi kedua pipi bulatmu. Sebelum mengatakan sesuatu, kau mengalungkan
kamera kesayanganmu ke leherku.
“Kau pernah bertanya tentang mengapa
aku menyukai senja bukan?” aju mu.
Ah iya. Tentang itu. Aku ingat.
Tetapi itukan pertanyaan yang sudah lama aku tanyakan dan tak kau beri jawaban.
Aku menatapanya dalam, bersiap mendengar jawaban yang selalu ku nanti.
“Aku menyukai senja seperti aku
menyukaimu. Aku mencintai senja sebesar rasa cintaku ke kamu. Senja
mengingatkanku akan pertemuan pertama kita. Dimana seorang Kenta yang bebal
menjadi gugup hanya karena ingin menyampaikan perasaannya.” Jawabmu dengan
sinar mata yang berbinar cerah.
Aku hanya mengangguk kikuk mendengar
jawaban mu. Kau terkekeh geli melihatku yang tampak canggung.
Aku tersentak ketika kedua lenganmu
mengalung di leherku. Kau membenturkan kedua kening kita dengan pelan.
“Aku mencintaimu, Kent.” Serumu
lirih.
aku tahu itu. Sangat tahu. Kau juga
mencintaimu, Nay.
Samarinda, Rabu 30 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar