“Kalau menangis lagi, aku cium.”
Aku meliriknya sebentar setelah berkata seperti itu, dan
yeah, sesuai dengan dugaanku, ia melotot kaget.
Wajahnya basah karena menangis, selalu seperti itu setiap
tahunnya.
Hah.
Padahalkan tiap tahun kita juga selalu bertemu, sayang. Apa
kau tak lelah selalu menangis bila kita sedang saling bertatap muka seperti
ini? Aku merindukan senyumanmu, bukan setitik atau runtuhan air mata itu.
Hanya senyummu saja.
Itu sudah cukup.
“Hei beneran mau dicium ya?” aku mulai menggodanya lagi.
Kali ini ia tidak hanya melotot, tapi melayangkan
tangannya untuk memukul lengannku dengan kuat.
Aisssh, sakit juga ternyata.
“Kenapa mesum banget sih?” omelnya.
“Aku tidak mesum atau apalah itu. memangnya mencium
kekasihku sendiri tidak boleh?” lagi. Ku lempar godaan itu untuknya. Dan lagi-lagi
lenganku yang mendapatkan balasan. Ia memukul lenganku sekali lagi.
Rona merah mulai menjalar perlahan di wajah ayunya. Aku
hanya terkikik geli melihatnya yang biasa galak bisa mendadak gugup seperti
ini.
Ku putar tubuhku dan berhadapan dengannya, ku usap pelan
jejak-jejak air mata yang tersisa di wajahnya itu. Selalu berakhir seperti ini
setiap kami bertemu.
Di sepanjang jalan braga akan selalu ada setetes air mata
yang jatuh darinya setiap tahun. Dan aku tak pernah tahu kapan air mata itu
berhenti jatuh saat kami bertemu nanti. Atau mungkin, air mata itu tak akan
jatuh bila aku selalu berada di sisinya.
“Berhenti lah menangis seperti ini. Apa setiap tahun aku
harus mendapatkan air mata mu kalau kita sedang berada di sini?”
Ia hanya diam, tak menyahut apapun. Di sebelahnya aku pun
ikut terdiam. Kami saling tak mengucapkan apa-apa. Aku menatap satu persatu
mobil-mobil yang lalu lalang di jalan Braga ini.
Setiap tahun selalu saja bertambah entah berapa mobil
yang lalu lalang di jalan ini. Dan aku hanya bisa memperhatikannya satu demi
satu ketika mereka-mereka semua itu lewat dengan angkuhnya.
Gadis ku itu tak juga mengatakan apapun, ia masih diam
saja.
“Apa tak bisa tahun ini tak usah pergi ke sana?” ucapnya
tiba-tiba dengan suara lirih.
Aku menoleh sebentar lalu menghela nafas, “Hanya tersisa
tahun ini saja. Tahun depan aku akan menetap di sini.”
“Tak bisa cepatkah?”
Aku menggeleng sebagai jawabannya.
“Please,” ia meminta dengan parau.
Aku menghentikan kegiatan menatap mobil-mobil itu. Ku
putar sekali lagi tubuhku agar berhadapan dengannya. Ku angkat dagunya dengan
pelan, manik obsidian miliknya menatap sayu ke arahku.
Ku hela nafas pelan-pelan. “Aku hanya sebentar saja. Hanya
enam bulan, nggak setahun penuh sayang. Ayolah. Hanya sisa tahun ini saja. Ya?”
Ia menggeleng, air matanya mulai mengalir lagi.
Tuhan, apa aku
keterlaluan membuatnya selalu menangis seperti ini? Tapi ini demi kebaikkan
kami berdua. Tolong hambamu ini, Tuhan.
Ku rengkuh tubuhnya yang tampak rapuh itu. Dan kali ini
tangisnya semakin bertambah keras. Ia menangis tersedu-sedu di dalam
rengkuhanku. Karena posisi kami yang saling berdiri di jalan, kebanyakan
orang-orang yang melewati kami selalu melirik ingin tahu.
Aku hanya diam menanggapi itu semua. Di sepanjang jalan
braga tahun ini bukan hanya setetes air mata saja, beribu-ribu air mata jatuh
beruntun dari matanya. Dan itu karena ku.
“Ssst. Tak usah menangis. Berjanjilah kalau kau akan
terus di sini menantiku?”
Ia menggeleng dalam rengkuhanku. Isakannya semakin
terdengar nyaring dan membuatku sesak.
Jangan seperti ini, Nay.
“Berjanjilah kalau kau akan kembali enam bulan lagi?”
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Jangan berbohong. Atau hidupmu tak akan tenang kalau
kamu tak kembali enam bulan lagi.” Ia mengancamku dengan suara parau. Isakannya
masih terdengar.
Aku mengulum senyum diam-diam.
Bantu aku untuk tak melanggar janji ini, Tuhan.
“Lamar aku setelah kau puas dengan pekerjaan mu itu.”
Aku mengangguk mantap.
Hei jalan braga, ingatlah ini dengan baik.
Enam bulan yang akan datang, aku akan mengikat hatinya
hanya untukku di sini. Ingat itu ya.
Dan enam bulan lagi, tak akan ada setetes air mata haru
di sepanjang jalan braga ini.
Aku janji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar