Jumat, 04 Juli 2014

GagasMedia yang terbaik




Pertama-tama sebelum membahas 11 Buku GagasMedia yang Wajib Dibaca, saya mau mengucapkan.
Selamat bertambah umur GagasMedia. Semoga diumur yang kesebelas tahun ini semakin menerbitkan buku-buku berkualitas yang dapat menambah ilmu dan menjadikan cerminan perjalanan hidup.
Untuk seluruh tim yang bekerja di GagasMedia, semoga diumur yang kesebelas ini, kakak-kakak semua tidak pernah merasakan ‘lelah’ ketika berjuang untuk menerbitkan sebuah buku yang penuh inspirasi.
Dapat semoga, profit GagasMedia melonjak tinggi. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin.
Mengenal GagasMedia itu pertama kali ditahun 2010, saat itu baru pertama kali membuat twitter. Lalu sedang booming-booming-nya novel pertama Kak Morra Quatro yaitu Forgiven. Dari semua akun twitter saat itu yang ada, akun @GagasMedia adalah salah satu akun twitter dari penerbit buku yang harus saya follow, karena apabila tidak difollow, maka saya akan selalu tertinggal berita mengenai buku-buku terbaru GagasMedia.
Dan novel pertama GagasMedia yang saya miliki itu adalah Let Go, novel yang ditulis oleh Kak Windhy Puspitadewi. Cetakan pertama dengan kertas yang masih berwarna putih lembut. Novel yang menguras air mata pada saat itu.
Inilah "11 Buku GagasMedia yang Wajib Dibaca" dari seluruh buku GagasMedia yang saya miliki.

1.      Let Go
Novel karya Windhy Puspitadewi ini merupakan salah satu novel favorit saya. Cerita dengan bahasa ringan yang mudah dipahami dan dinikmati. Menggugah hati ketika membaca perjalanan persahabatan yang terjalin di antara Caraka dan Nathan. Saya menangis ketika membaca novel ini. Satu kisah yang diceritakan untuk dijadikan renungan. Seperti pesan yang tersirat di dalamnya, “kita tidak akan pernah merasakan kehilangan ketika kita tidak mengalaminya sendiri.”

2.      Forgiven
Novel perdana dan pertama karya Morra Quatro. Novel yang dibicarakan oleh banyak orang saat itu. Seluruh penikmat novel-novel GagasMedia menceritakannya saat itu di social media, salah satu cara promosi yang akhirnya berhasil membuat novel ini begitu dicintainya banyak orang.
Butuh tiga kali pengulangan untuk benar-benar paham dan mengerti isi novel ini. Rangkaian kata demi kata yang susah dipahami bagi saya saat itu, membuatnya menjadi novel yang selalu meninggalkan kesan tersendiri.
Melihat cover-nya saja sudah mencuri perhatian. Ribuan bintang-bintang perak yang tersusun rapat membentuk sepasang sayap. Champagne Supernova in the sky.
Karakter seorang Will yang tak pernah terlupakan. Maniak Fisika, pengagum Albert Einstein, Setia Kawan, Si isen dan suka usil.
Dialah yang pertama.
Dialah satu-satunya.
Dia. Yang tak terlupakan.
Itulah yang diciptakan oleh kak Morra untuk karakter Will. Sesosok laki-laki pemuja Champagne Supernova yang tidak akan pernah terlupa.

3.      Till We Meet Again
Juara ketiga 100% roman asli Indonesia.
Saat selesai membacanya, yang saya proteskan pertama kali adalah “Seharusnya novel ini menjadi juara pertama, novel ini lebih memiliki banyak hal yang pantas membuatnya menjadi juara pertama ketimbang juara ketiga. Dan kalau boleh jujur, novel yang menjadi juara pertama, tidak meninggalkan kesan yang lebih baik.”
Till We Meet Again adalah karya Yoana Dianika yang mengantarkan saya menjadi pengoleksi novel-novel yang ditulis oleh kak Yoana.
Novel yang menceritakan perjalanan cinta antara Elena Sebastian Atmadja dan  Christopher Von Schwind ini membuat saya benar-benar jatuh cinta terhadap novelnya.
Penggambaran yang begitu detail dan mengagumkan mengenai Austria seolah membuat saya terbang ke sana. Music klasik dan konflik yang tercipta tidak bisa terlupakan sejak pertama kali membacanya hingga sekarang.
Dan kalau boleh jujur, ini salah satu novel yang mempengaruhi gaya penulisan saya. Kak Yoana, aku cinta padamu hihi ._.

4.      Éclair
Saya tidak tahu ini novel Prisca Primasari yang keberapa, tetapi novel ini membuat saya ingin sekali mencicipi éclair. Covernya langsung membuat saya jatuh cinta, serius, ini tidak bohong. Jangan anggap saya berlebihan. Memang kenyataannya seperti itu. Cover-cover dari novel-novel GagasMedia itu memang bisa membuat siapa saja jatuh cinta kepadanya.
Kalau bagi saya sih, cover-cover ciptaan kak Jeffri Fernando lah yang terbaik. Two thumbs.
Novel ini sama seperti Forgiven. Isinya berat untuk dipahami. Tidak mudah untuk saya mengerti ceritanya secara keseluruhan. Butuh tiga hingga empat kali membaca baru benar-benar paham.
Dan Rusia lah yang menjadi setting novel ini. Entah bagaimana dan seperti apa, tapi saya bisa mencium aroma kota-kota di Rusia melalui novel ini. Aroma kayu begitu kental terasa ketika membaca novel-novel terbitan Gagas untuk tahun 2010-2011.
Kalau tidak membaca Éclair, mungkin saya tidak akan pernah membaca karya kak Prisca yang lain. Éclair adalah salah satu novel pembuka yang membuat saya mengidolakan karya-karya kak Prisca Primasari.
Dan yang terpenting, saya tidak boleh ketinggalan novel-novel kak Prisca. Apalagi kalau itu diterbitkan oleh GagasMedia. Saya selalu menunggu bagaimana cover yang menjadi pelengkap karya kak Prisca.

5.      AI
Novel karya Winna Efendi ini menceritakan Jepang dengan sisi yang lain. Tidak seperti novel bertema Jepang kebanyakan, dalam Ai, nuansa Jepang yang diciptakan terasa begitu berbeda. Ada aroma laut yang terasa ketika membacanya.
Bunga sakura yang menjadi latar covernya tidak seperti dibuat menggunakan aplikasi. Tetapi seperti benar-benar dilukis dengan kuas. Lembut dan cantik.


6.      Kastil Es & Air Mancur yang berdansa
Ini novel ketiga Prisca Primasari yang saya punya. Sempat tertegun ketika membaca judul novelnya, panjang sekali dan unik. Tidak pernah novel romance yang punya judul seperti ini.
Novel ini juga membuat saya jatuh cinta. Dengan Paris sebagai setting tempatnya. Menceritakan sisi lain kota Paris yang cukup kelam. Tetapi nuansa romantisnya tidak pernah bisa dihilangkan.
Suasana natal bisa dirasakan disetiap awal bab. Suka dengan satu gambar di pojok kanan di awal bab-nya. Sebutir salju.

7.      PARIS
Novel perdana pembuka seri Setiap Tempat Punya Cerita milik GagasMedia. Projek besar Gagas yang begitu saya suka, karena akan menyuguhkan banyak tempat yang akan memiliki cerita tersendiri.
Untuk kali ini, saya agak sedikit tidak suka dengan covernya. Sederhana sekali. Maaf.
Suka dengan pertemuan-pertemuan misterius antara Aline dan Sena. Novel ini juga menceritakan sisi lain kota Paris. Bukan dengan glamornya Paris, tetapi lebih kesisi gelap yang dimiliki Paris.
Suka sekali dengan postcard-nya :D

8.      Memori
Novel karya Windry Ramadhina yang bisa membuat beberapa orang ingin menjadi seorang arsitek. Ini novel yang berisi pelajaran hidup, saya tidak bisa menghilangkan kesan apik dari novel ini.
Bagi saya, novel ini ditulis, diciptakan, bagi orang-orang yang merindukan rumah-tempat berbagi cinta, kenangan, dan tawa yang tidak pernah pudar.
Karena dari rumah lah, awal semua perjalanan hidup bermula.
Membaca novel ini membuat saya meneguk air liur karena ingin merasakan Ricola juga.


9.      Montase
Karya Windry Ramadhina yang menceritakan sisi lain dari Jepang. Novel ini untuk mereka yang tidak pernah berhenti bermimpi.
Akhir cerita yang berhasil membuat saya menangis. Seperti yang ditulis oleh Kak Windry, pembaca Montase, pasti akan menjaga Haru dan mencintai si gadis kepala angin itu.
Lagi-lagi, novel ini wajib untuk dibaca karena memberikan sebuah pelajaran hidup yang lain. Yang akan membuat kita merenung ketika selesai membacanya.
Sebuah pelajaran hidup yang diberikan oleh Haru dan Rayyi.

10.  LONDON
Seri Setiap Tempat Punya Cerita yang saya suka sekali. Ini juga karya Windry Ramadhina. Menceritakan sisi lain London. Menceritakan tentang seorang malaikat yang akan turun di antara rintik gerimis yang mengguyur kota London, seperti kepercayaan orang-orang tua di London.
Suka sekali dengan detail cerita yang disuguhkan. Ini seperti benar-benar nyata. Ketika membacanya kita akan terlarut akan suasana kota London yang disuguhkan. Setting tempat yang diberikan tidak seperti hanya ‘ditempel’ begitu saja. Tapi benar-benar seperti apa kota London itu sesungguhnya.

11.  ATHENA
Satu novel romance yang bersettingkan ibukota Yunani. Karya Erlin Natawiria. Seri Setiap Tempat Punya Cerita kedua milik GagasMedia. Untuk cover-cover seri kedua STPC ini saya lebih suka ketimbang cover seri pertamanya.
Ketika kita membaca sebuah buku dengan setting tempat Yunani pasti kita akan diingatkan oleh seri Percy Jackson karya Rick Riordan. Tetapi Athena menyuguhkan hal lain. Bila ingin mengetahui sisi lain dari kota Athena, wajib membaca novel pertama Erlin Natawiria ini.

Itulah sebelas buku GagasMedia yang wajib dibaca versi saya. Sebelas buku itulah yang menjadi teman saya selama mengenal Gagas dalam rentang waktu lima tahun terakhir ini. Sebelas buku yang tidak hanya menyuguhkan kisah romantis antara dua tokok utama saja. Tetapi juga memberikan saya ilmu pengetahuan, pelajaran hidup, kosa kata baru yang bisa menambah ilmu menulis saya. Dan tentunya, membuat saya seolah-olah juga berada di setiap tempat yang menjadi latar tempat yang disuguhkan oleh setiap penulis tersebut.

Inilah kelebihan dari GagasMedia.
GagasMedia bisa menemukan penulis dengan karya-karya yang tidak membosankan. Bukan hanya menceritakan kehidupan anak SMA saja.
Akhir kata, semoga semakin kedepannya, GagasMedia bisa menjadi penerbit buku terbaik di Indonesia yang akan selalu menerbitkan buku-buku berkualitas yang tidak akan mengecewakan para pembacanya.
Semoga GagasMedia semakin jaya.

Selamat 11 Tahun GagasMedia.

#11TanpaBatas



Suci


Minggu, 27 April 2014

Stepping On The Rainy Street



Aku benci dengan hujan.
            Karena hujan membuat rasa benci terhadap diriku sendiri semakin besar.

****

            Aku menatap titik air hujan yang perlahan mulai turun dengan intensitas yang cukup tinggi.
            Hujan lagi-lagi turun di tengah cuaca yang seharusnya panas. Keadaan alam semakin hari semakin tidak menentu. Membuatku harus membawa payung setiap saat. Dan itu membuat tasku semakin berat. Tubuh yang kian hari kian ringkih ini sudah tidak kuat lagi hanya untuk menggendong tas yang bertambah isinya satu buah.
            Aku membentangkan payung. Melangkah perlahan menuju gerbang rumah sakit. Melewati genangan-genangan kecil berwarna cokelat yang sudah mulai memenuhi pelataran rumah sakit.
            Telingaku tersumpal dengan sepasang earphone berbentuk kura-kura. Hewan lambat yang selalu mendengarkan keluh kesahku.
            Gapura di depan gerbang rumah sakit disesaki dengan banyak orang. Aku berusaha menyelipkan tubuhku di antara mereka. Berlindung dari air hujan yang turun semakin deras.
            Keluhan, dengusan dan makian terdengar di sana sini. Semua orang mengeluhkan hujan yang turun tiba-tiba di tengah cuaca panas. Mereka mengumpat dan memaki hujan yang menghambat langkah-langkah cepat mereka.
            Aku tidak perlu menambah keluhan terhadap hujan. Mendengar semua keluhan yang mereka lontarkan sudah mewakili apa yang ingin aku ucapkan.
            Anak-anak kecil yang menjajakan jasa ojek payung adalah manusia paling bahagia dengan turunnya hujan. Dengan hujan yang turun begitu deras, pendapatan mereka akan bertambah. Tanpa mempedulikan tubuh mereka yang akan sakit dikemudian hari.
            Aku mendengar suara senandung pelan yang dilantunkan oleh seseorang di belakang ku. Sepasang earphone tersumpal di telinganya. Selembar partitur ada di tangannya.  Mata madunya memandangku dengan teduh ketika kedua mata kami tidak sengaja bertabrakan. Aku mengangguk pelan sebagai balasan.
           Ia menunjuk earphone ku. Menyuruh untuk melepasnya sejenaknya. Bibirnya bergerak-gerak hendak berbicara.
            “Dari dokter ya, mba? Kenalin nama saya Aruna.” Ia menyodorkan tangannya kepadaku.
            Aku menyambut tangan besar khas pemuda itu dengan bingung. Mataku menatapnya tak mengerti. Ia terkekeh pelan, jarinya menunjuk amplop yang ada di genggaman tanganku.
            “Sakit apa, mba?”
            Aku mengernyit mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Apakah orang yang baru mengajak berkenalan menanyakan sesuatu hingga sedalam itu?
            Hujan masih mengguyur dan aku masih terjebak di gapura gerbang rumah sakit bersama dengan seorang pemuda asing.
            “Nggak mau memberitahu ya? Hehehe. Maaf deh mba. Cuma penasaran aja kok.” Ia memberikan cengiran kepadaku. Aku hanya menatapnya datar.
            Aku terdiam lama sebelum menjawab perkataannya. Hujan menyita perhatianku. Pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda itu membuatku kembali mengingat percakapan menyebalkan dengan Dokter Ahra. Dokter keluarga kami yang merawat ku sejak kecil bila terserang penyakit. Dokter yang masih tampak cantik diumurnya yang menginjak kepala 4.
            Aku masih mengingat wajah sedih milik beliau. Wajah penuh penyesalan ketika menyampaikan mengenai penyakitku.  Air mata yang menetes dari kedua matanya pun masih ku ingat.
            Bukan aku yang terisak sedih karena mendengar diagnosa penyakitku. Tetapi dokter ku itu yang menangis terisak-isak seraya memelukku erat. Aku bisa merasakan bagaimana terpukulnya perasaan beliau. Pelukan beliau tak sehangat seperti biasanya.
            “Alzheimer.” Aku menyahut pelan.
            Pemuda di belakangku itu menghentikan senandung yang dilantunkannya. Ia menatap mataku dengan pandangan tertegun. Aku bisa menangkap sedikit rasa sedih di sana. Entahlah mengapa ia menyelipkan secuil sedih di tatapan matanya. Toh kami bukanlah dua orang yang saling mengenal.
            Aku terperangah tak percaya dengan respon yang diberikannya. Ia kembali menyodorkan tangannya, diikuti dengan seulas senyum tulus kepadaku.
            “Mari kita berteman. Saya juga mengidap penyakit itu,” ia terkekeh geli, lalu melanjutkan. “Semoga kita masih bisa membuat banyak kenangan sebelum seluruh kenangan itu menghilang tak tersisa.”

****

            Aku menekan dengan pelan setiap tuts piano. Berusaha untuk mengingat seluruh isi partitur yang semalam ku hapal habis-habisan di tengah suara berisik di ruang keluarga.
            Di depanku, Sir Alex nampak memejamkan mata dan menajamkan telinganya guna mendengar dan mengoreksi permainanku. Beliau mengangkat tangan, instruksi dimana aku untuk berhenti bermain.
            Aku mendesah lega setelah hampir 1,5 jam memainkan satu lagu yang sama secara berulang-ulang. Sir Alex berdiri dan melangkah mendekatiku. Beliau menepuk pucuk kepalaku dengan lembut.
            “Ada dua not yang nadanya melenceng. Kau bisa memperbaikinya setengah jam lagi. Beristirahatlah dulu.”
            Menjadi seorang pianis bukanlah impianku. Bilapun menjadi pianis ada dalam list cita-citaku, aku akan menaruhnya di nomor terakhir. Cita-cita utamaku adalah menjadi seorang atlet synchro diving. Meloncat dengan begitu indah dari atas platform setinggi 10 meter adalah mimpiku.
            Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang terpaksa berhenti sejak 7 tahun lalu. Tubuhku tidak mampu untuk mengikuti seluruh latihan-latihan yang diperuntukkan bagi seorang atlet synchro diving. 
            Menjadi pianis adalah sebuah harapan yang disematkan Ibu disisa nafas terakhirnya 7 tahun lalu. Harapan terakhir sebelum beliau menyerah dengan kanker payudara yang menggerogotinya.
            Awalnya aku menjalani semua ini dengan terpaksa. Keadaan keluargaku berubah dengan begitu drastis. Ayah yang terlalu terpukul dengan meninggalnya Ibu menelantarkan 5 darah dagingnya. Beliau menjadi gila kerja dan jarang pulang ke rumah.
                Kakak pertamaku pun seperti itu. Menjalankan anak perusahaan Ayah membuatnya sering bepergian jauh. Ia hanya berkomunikasi dengan kakak ketigaku. Aku ada dalam urutan terakhir yang akan dihubunginya bila ia berada jauh di luar negeri.
                Sebagai anak bungsu yang tidak terlalu disayang di rumah, kecuali oleh Ibu. Aku hanya bisa menangis diam-diam di kamar ketika keempat kakakku mulai tidak menganggapku ada.
            Ketika memeriksakan diri beberapa hari yang lalu, aku hanya bisa menghela nafas kasar diam-diam. Setelah selama ini yang sudah kualami, mengapa Tuhan kembali memberiku cobaan? Menjadi seseorang yang tidak pernah dianggap oleh keluarga sendiri saja sudah membuatku menderita. Sekarang ditambah aku harus mengidap Alzheimer. Yang sampai saat ini masih belum bisa disembuhkan.
            Terkadang aku menyalahkan Tuhan dengan keadaanku yang seperti ini. Tapi beberapa tahun terakhir ini, setelah aku menjadi salah satu pianis yang berhasil masuk dalam resital Sir Alex di Jerman, aku sudah tidak pernah menyalahkan Tuhan lagi. Karena satu pelajaran yang kudapatkan disuatu hari di tengah hujan kala itu, bahwa akan ada keajaiban Tuhan untuk seluruh umatnya.

****

            “Halo mba. Bertemu lagi. Tidak lupakan dengan saya kan? Saya Aruna.”
            Aku berhenti melangkah ketika sesosok pemuda jangkung dalam balutan hoodie birunya berjalan dalam tenang menghampiriku. Ia memberikan cengiran lebar yang membuat kedua matanya bersinar jenaka.
            Aku menangkap binar senang di mata madu pemuda itu.
            “Sedang apa di sini?” ia bertanya dengan ramah. Ada satu perasaan senang yang menyelinap di hatiku ketika mendengar suaranya.
            Aku mengangkat 2 buah buku mengenai Alzheimer kehadapannya. Ia menyipitkan matanya saat membaca judul buku tersebut. Lalu dengan girang menunjukkan plastik berisi buku yang ditentengnya.
            “Wah sama. Saya juga beli buku itu. Nih.” Aruna menunjukkan kepadaku.
            Aku dan Aruna melangkah memasuki sebuah café di dekat toko buku. Ini adalah hari keenam puluh setelah pertemuan pertama kami. Ia menyeretku untuk menemaninya membahas isi buku kami yang sama ini.
            Dalam 60 hari setelah diagnosa penyakit itu. Aku mulai merasakan sedikit demi sedikit gejalan Alzheimer. Gejala pertama yang kualami adalah ketika aku terkadang lupa menaruh sesuatu.
            Orang-orang di rumah tidak ada yang tahu dengan penyakitku ini. Hanya Ibu tiriku saja yang mulai menyadari keanehan dalam diriku. Dan aku tidak terlalu peduli akan hal itu.
            “Ayo diminum cokelatnya. Keburu dingin. Cokelat hangat nggak enak kalau diminum saat dingin. Apalagi di tengah hujan begini. Eh hujan? Kayaknya kita jodoh deh, mba.”
            Aruna menyerocos tanpa henti. Bibirnya yang mungil itu tidak berhenti bicara sejak kami duduk dua puluh menit yang lalu.
            Ia berbicara tentang apa saja. Mengomentari dekorasi café. Mengomentari isi pembicaraan orang lain yang tidak sengaja didengarnya. Mengomentari seragam para karyawan. Mengomentari permainan piano yang disuguhkan dalam live music café ini. Apa yang tertangkap retina matanya akan dikomentari olehnya.  Seakan ia lupa dengan tujuan awalnya menyeretku ke dalam café ini. Bukunya tergeletak begitu saja di atas meja.
            Hujan kembali mengguyur bumi. Sama seperti pertemuan pertama kami. Aku menyesap perlahan cokelat hangat yang kupesankan. Merasakan rasa manis dan pahit yang disuguhkan oleh minuman ini. Mengingat rasanya yang dikemudian hari tidak akan bisa kuingat lagi.
            Aruna masih betah berbicara. Aku hanya menimpali seadaanya saja. Dan ia tidak terganggu dengan itu.  Aku mengerutkan kening mendapatinya menyodorkan sebuah undangan kepadaku. Aruna menggaruk tengkuknya seraya menyengir gugup.
            “Saya nggak punya teman buat diundang ke acara ini. Semoga mba mau datang ya.”
            Aku membacanya dalam diam. Kedua mataku membulat tak percaya ketika membaca nama lengkap Aruna. Lalu menatap Aruna kagum. Aruna sendiri menunduk malu, aku bisa melihat rona merah yang menjalari kedua pipinya.
            Melihat itu membuatku tertawa tanpa sadar. Melihatnya gugup seperti perempuan sedikit membuatku geli. Tawa yang sudah lama sekali rasanya tak pernah kulakukan.
            Tanpa kuketahui, Aruna melirikku dengan mata madunya. Tatapan mata yang tak kuketahui apa artinya.

****

            Satu tahun berlalu. Penyakit ini semakin hari semakin menggerogotiku. Hari ini hujan kembali turun. Aku memperhatikan bulir air hujan yang merambat di kaca ruang latihan Aruna. Kali ini adalah giliranku untuk menemaninya berlatih.
            Aruna sedang memainkan sebuah lagu yang sudah digubahnya sedemikian rupa. Dokter Ahra bilang, penyakit yang menyerang Aruna berjalan lambat. Sehingga ia masih bisa melakukan apapun tanpa merasakan ada yang hilang.
            Aruna masih begitu ingat dengan semua isi partitur yang dihapalnya. Berbeda dengan ku yang sudah mulai melupakannya satu persatu. Demi menghapalkan satu gubahan saja aku butuh beberapa minggu. Berbeda sekali ketika aku masih sehat dulu.
            Aku menoleh ketika Aruna menyenderkan kepalanya di pundakku. Kebiasaannya setelah selesai memainkan beberapa gubahan.  Tangannya terulur mengusap kaca yang tampak berembun. Ia mengukir namanya di sana. Jarinya mengetuk-ngetuk kaca dengan irama teratur.
            “Ini hujan ke 185 setelah pertemuan pertama kita. Kau ingat dimana kita bertemu?” Aruna bertanya dengan suara pelan. Enggan mengganggu suara hujan yang bertalu-talu di luar sana.
            Aku mengangguk. Satu memori itu yang berusaha untuk tidak ku lupakan. “Di tengah hujan di gapura rumah sakit.”
            Aruna mengulas senyum lembut. Ia meremas tanganku, lalu mencubit hidungku dengan gemas. “Aku Aruna dan kamu harus ingat itu.”
            Perkataan yang sama di setiap pertemuan kami. Terkadang aku kesal dengan apa yang diucapkannya itu. Seperti aku akan melupakannya tiba-tiba saja. Aku menjewer telinganya pelan, “Aku ingat.”

****

            Aku menangis terisak di dekapan Aruna. Ini bulan ke 15 setelah pertemuan kami, setelah mengetahui tentang penyakitku. Aruna mengusap dengan lembut punggungku. Ia membisikkan kata-kata penenang agar aku berhenti menangis.       
            Aku menangis karena melupakan nama Aruna ketika ia bertanya tadi. Aku melupakan dimana aku pernah bertemu dengannya. Aku melupakan janji yang ku ucapkan dua hari lalu. Aku juga melupakan apa yang sudah ku jalani selama seminggu ini bersamanya.
            “Tidak apa-apa. Bukankah sekarang kamu sudah ingat denganku lagi? Yang terpenting bagiku, kamu selalu ingat denganku. Walau itu memerlukan waktu yang lama.” Aruna berbisik pelan.
            Perkataannya itu semakin membuatku merasa bersalah. Aku berkali-kali menggumamkan kata maaf untuknya. Tetapi Aruna tetaplah Aruna. Ia dengan tenang dan pelan menenangkanku yang tidak berhenti menangis.

****

            Dokter Ahra menelponku. Beliau mengatakan akan mengajakku ke sebuah resital tunggal. Dari kalender yang sudah kuberi bulatan-bulatan berwarna merah. Hari ini adalah hari ke 455 setelah Dokter Ahra memberitahuku tentang penyakit ini.
            Aku menyaksikan sebuah pertunjukkan piano megah seorang pemuda tampan yang jangkung. Ia menyebut namaku sebelum memainkan sebuah gubahan. Dokter Ahra bilang, nama pianis itu Aruna. Dan yang dimainkannya adalah Stepping On The Rainy Street.
            Aku mencoba untuk mengingat wajah seseorang yang berdiri di depanku saat ini. Ia menyunggingkan senyum tulus yang begitu menawan. Tapi semakin ku coba, semakin aku tak mengingatnya.
            Ia memberikan sebuah pelukan seraya membisikkan sesuatu kepadaku. “Kamu mengingat janji mu. Lihat kan, kamu tidak melupakan ku. Aku tahu itu. Aku Aruna. Ingat itu ya?”

****

            Ini hari ke 730. Tepat dua tahun. Saat ini aku terbaring lemah di atas tempat tidur kamarku. Banyak sekali orang yang memenuhi kamar ku. Aku tidak tahu mengapa mereka ada di kamarku.
            Aku tak mengingat wajah dan nama mereka. Seorang wanita cantik yang duduk di sisi tempat tidurku memperkenalkan mereka satu persatu. Aku hanya mampu mengucapkan maaf karena tidak bisa mengingat mereka. Tapi kehadiran mereka membuat hatiku senang.
            Aku mengedarkan pandangan, menyelusuri isi yang ada di dalam kamarku. Di setiap tempat tertempel kertas bertuliskan nama seseorang. Aruna.  Wanita cantik di sebelahku mengatakan bahwa itu nama kekasihku. Aku tak pernah ingat pernah mempunyai seseorang kekasih bernama Aruna.
            Orang-orang di dalam kamarku menatapku dengan sendu. Beberapa dari mereka menangis. Aku bingung melihatnya. Apa yang mereka tangiskan? Bukankah aku hanya terpeleset di kamar mandi saja seingatku.
            Pintu kamar terbuka. Seorang pemuda jangkung berhoodie biru melangkah masuk. Wanita cantik di sebelah ku membisikkan tulisan yang tertera di bagian depan hoodienya. Mendadak aku tidak bisa membaca tulisan sependek itu.
            Aruna.
            Itu yang beliau bisikkan.  Aku mengulas senyum untuknya yang juga memberiku sebuah senyum menawan. Aku merasakan ia meremas tanganku dengan erat. Mataku serentak terpejam ketika ia mengecup keningku dengan lembut.
            “Aku Aruna.” Bisikkan pelan itu mengantarku dalam tidur yang sangat panjang.

****

            Aruna bersimpuh di depan makam seseorang. Ia melantunkan doa yang dicoba untuk tidak dilupakan. Semakin hari semakin bertambah parah Alzheimer yang diidapnya. Ia sudah tidak bisa lagi memainkan berbagai gubahan di depan pianonya. Ada yang hilang dalam hidupnya sejak seseorang yang tertidur dalam damai di makam ini.
            Kenangan-kenangan yang mereka lalui bersama diusahakannya untuk tidak terlupa. Tapi dari hari ke hari, kenangan itu satu persatu mulai terlupakan dan hilang.
            Selesai berdoa, Aruna mengusap penuh sayang batu nisan milik seseorang ini. Ia mengecupnya lama. Dalam ingatan terakhirnya, wajah manis seorang gadis berumur 18 tahun terekam jelas. Aruna tersenyum ketika membuka matanya.
            Ia merunduk dan membisikkan sesuatu. “Aku Aruna. Kau harus ingat itu, sayang. Aku mencintaimu, Elena.”
            “Tunggu aku di sana, ya?”

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...