Sabtu, 10 November 2012

Linden chapter 4







Nathaly berdiri di belakang pria bertubuh jangkung. Pria itu mengenakan kemeja hitam, ia menjinjing kantong kertas di tangannya. Suaranya terdengar berat. Dengan rambut yang dipotong cepak, Nathaly mengira-ngira bahwa pria di depannya ini berumur kepala empat.
            Saat pria itu keluar dari barisan mengantri karena telah mendapatkan pesanannya, Nathaly tersenyum senang. Jawabannya tepat, melihat pria itu menghampiri seorang wanita dan berbicara sebentar, Nathaly jadi bisa mengira berapa umurnya.
            Suara berat yang menderu-deru keluar dan menghampiri indra pendengaran Nathaly sejenak, membuatnya mengangguk senang.
            Kedua pasangan itu beranjak keluar kedai seraya bergandengan tangan. Meninggalkan Nathaly yang sedang menatap punggung mereka dengan binar senang. Senang karena tebakannya terjawab benar.
            Frau.3
                Natahly cepat-cepat menolehkan kepalanya. Seorang gadis kira-kira berumur tujuh belas tahun menatapnya hangat. Senyuman tersungging di wajah tirusnya.
            Was möchten Sie bestellen?4
_________________________
1.      Frau : Nona
2.      Was möchten Sie bestellen? : Anda ingin pesan apa?
Nathaly terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan gadis itu. Setelah ingat apa yang pernah diberitahu oleh Najwa. Nathaly mengangguk samar.
                Nathaly menunjuk gambar kue kering berbentuk daun linden pada daftar menu yang ada di atas meja. Di kedai roti yang ia ketahui dari Najwa kemarin ini memang menggunakan system sentuh. Interior kedai yang terasa hangat. Di dalamnya didesain seperti sedang berada di kebun Linden. Dindingnya di cat dengan gambar pohon linden disemua musim.
            Terdiri dari empat ruangan sesuai dengan empat musim yang ada di Jerman. Dan saat Nathaly masuk tadi, ia masuk ke dalam pintu bernomor 3. Suasana guguran daun linden terasa sangat kental.
            Dindingnya penuh dengan gambar guguran daun yang berwarna hijau, kuning dan coklat. Di sebelah kanan dari tempat Nathaly mengantri. Satu dinding penuh akan proses gugurnya daun linden. Dari daun itu masih berwarna hijau cerah hingga berwarna coklat tergambar sempurna.
            Daun linden sendiri mempunyai bentuk yang sama dengan bentuk hati. Pohon Linden merupakan salah satu pohon yang multifungsi. Pada umumnya ia ditanam sebagai pembatas jalan atau penghias taman seperti yang terdapat pada salah satu jalan utama di Berlin yang bernama Unter den Linden.
Bunganya menghasilkan banyak madu yang manis untuk makanan lebah. Kayunya juga sangat berguna untuk kayu bakar dan merupakan salah satu pohon yang baik untuk ditebang karena ia dapat tumbuh dengan cepat. Pucuk-pucuk mudanya yang lembut juga seringkali dimasak sebagai salad. Konon katanya pohon ini juga dapat menyembuhkan penyakit epilepsi dan bunganya sering diseduh dalam teh untuk minuman relaksasi.
Yang Nathaly tahu mengenai pohon ini adalah, pada abad pertengahan, kayu pohon Linden digunakan untuk seni ukir dan pembuatan patung.
            Nathaly menyukai tempat ini. Kedai roti yang menciptakan perasaan tenang di hatinya.
            One kilos please,” ucapnya.
            Gadis itu mengangguk, ia menyentuh layar bergambar roti kering berbentuk daun linden seperti pesanan Nathaly. Tidak sampai sepuluh menit, kue kering pesanan Nathaly telah terbungkus rapi. Gadis itu menyorongkannya kepada Nathaly seraya menyebutkan harga.
            Nathaly menerimanya, mengambil beberapa euro dari dompetnya, ia menggumamkan terima kasih. “Danke schön.5
            Gadis itu kembali tersenyum, ia mengangguk lalu mengucapkan terima kasih kembali dan berharap agar Nathaly dapat kembali berkunjung ke kedai roti mereka.
            Nathay berbalik. Ia berjalan keluar kedai. Suara gemerincing lonceng yang berada tepat di pintu masuk berbunyi saat ia mendorongnya pelan. Nathaly melangkah pelan, ia berhenti sejenak di tempatnya berpijak. Aroma kue kering yang baru saja dipesannya menguar sempurna.
               Aroma yang khas yang asing untuk Nathaly. Ia mengangkat kantong kue itu mendekati hidungnya. Menghirup aromanya. Memenuhi paru-parunya dengan zat baru.
            Ia melirik jam tangannya. Senja masih butuh 2 jam lagi untuk bergulir. Dan Nathaly belum mau kembali ke flatnya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

___________________________
3.      Danke schön  : Terima kasih
            Matanya tertuju pada meja berpayung hijau yang berada di dekat pintu nomor 2. Nathaly mengangguk pelan, sepertinya menunggu senja seraya duduk di kedai ini bukan pilihan yang buruk. 2 jam bukan waktu yang lama bagi Nathaly bila ia mendapatkan asupan udara baru.
            Mata Nathaly mulai beredar mengamati keadaan kedai roti ini. Ia baru sadar bahwa meja yang ia duduki ini berada di depan pantry pembuatan pie. Nathaly bisa melihat 3 orang pekerja yang mengenakan seragam putih hilir mudik membuatkan pesanan pie.
            Aroma pie linden ternyata tidak jauh berbeda dengan pie yang sering dibuatkan oleh Mamanya. Hanya aroma khas daun linden yang membuatnya menjadi nilai tambah.
            Pantry pie di depannya ini memiliki suasana yang berbeda dengan kedai yang baru saja ia masuki. Kedai roti berpintu nomor 2 ini menawarkan suasana musim semi Jerman.
            Sama seperti di kedai dengan pintu bernomor 3 tadi, kedai roti ini juga menghias dinding dalamnya dengan suasana musim semi. Pohon-pohon linden berjajar rapi di dalamnya. Warna hijau mendominasi keadaan di dalam kedai nomor 2 ini.
            Pucuk-pucuk daun linden menyembul tak aturan. Membuat sebuah gradasi tersendiri. Serta aroma pie yang menguar bebas membuat siapa saja yang berada di sekitar kedai ini berhenti sejenak. Menghirup aroma manis yang ditawarkan.
            Aroma pie yang baru saja diangkat menggoda indra penciuman Nathaly. Gadis itu berinisiatif untuk mencicipinya. Ia berdiri, melangkah memasuki kedai tersebut.         
            Kembali suara gemerincing bel terdengar saat ia mendorong pintu kedai. Aroma pie serta merta menyerbu hidung Nathaly. Mengisi paru-paru Nathaly dengan zat yang baru lagi.
            Gadis itu memilih untuk duduk di dekat pantry pie. Ia melambaikan tangannya memanggil pelayan. Seorang pelayan yang menggunakan apron berwarna biru menghampirinya. Apron berwarna biru laut yang tampak begitu tenang. Sama seperti senyum yang ia lemparkan kepada Nathaly.
Iris birunya menatap Nathaly dengan teduh, seolah sedang menyuruh cucunya untuk memilih pie apa yang ingin dimakannya.
Nathaly membalas senyum teduh itu, diambilnya buku menu yang disodorkan oleh pelayan dengan senyum itu. Ia menyebutkan pesanannya dan menggumamkan terima kasih. Membuatnya kembali mendapatkan satu senyum teduh dari pelayan yang kira-kira telah berumur setengah abad itu.
            Nathaly takjub melihat bagaimana kedai ini menghias semua sudut ruangan mereka. Setelah memilih apa yang ingin ia cicipi. Nathaly kembali mengedarkan pandangannya. Mengamati setiap sudut yang ada.
            Suara gemerincing bel menyita perhatian Nathaly. Membuatnya memutar kepala dan melihat siapa pelanggan yang baru masuk.
            Seorang pria bertubuh jangkung, dengan mantel abu-abu yang terkesan hangat. Wajah familiarnya membuat Nathaly mendengus tak sengaja, wajah  yang  tiga minggu ini ditemuinya setiap hari di dalam kelas. Ya siapa lagi kalau bukan guru pembimbingnya. Daniel.
            Wajah tegas yang entah mempunyai sihir apa, yang selalu membuat Nathaly memperhatikannya.
            Pria itu melangkah menuju tempat mengantri pie. Ia berbincang sejenak dengan pelayan yang tadi melayani Nathaly. Tawa miliknya mengalun pelan, memasuki telinga Nathaly dengan samar.
            Ia mengangguk terima kasih ketika selesai memesan. Kedua kakinya menuntunnya ke sudut ruangan yang bertolak dengan meja Nathaly. Ia duduk dan mulai focus dengan i-phonenya.
            Nathaly tersentak. “Duh Nath. What are you doing?” desisnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Menghilangkan semua gambar yang direkam oleh bola matanya sejak tadi.
            Entah kenapa, semua yang dilakukan oleh Daniel pasti menyita perhatiannya secara tiba-tiba. Seolah ada sihir yang menyuruh Nathaly untuk mengikuti setiap gerak yang diciptakan oleh Daniel.

****
           
            Daniel tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan oleh uncle James –begitu Daniel memanggilnya- pelayan kedai ini yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun.
            Ia menceritakan mengenai kejadian yang baru terjadi 30 menit sebelum Daniel datang. Pie-pie yang baru saja matang jatuh berserakan karena Seat menyandung lantai yang tingginya berbeda. Wajah pemuda itu seketika pucat mendapati apa yang baru saja terjadi. Ia cepat-cepat membersihkan pie-pie itu dan membuatkan yang baru sebelum pemilik kedai ini kembali.
            Uncle James terpingkal-pingkal menceritakannya. Seorang pemuda yang selalu mengoceh tentang pentingnya berhati-hati seperti Seat itu bisa jatuh dengan tidak elitnya hanya karena tidak melihat jalan.
            Daniel menimpalinya dengan tertawa pelan. Setelah mendengarkan cerita Uncle james, Daniel memesan beberapa pie. Malam ini George akan menginap di apartemennya. Menemani Karel yang merengek memintanya untuk datang.
            Setelah mengucapkan apa yang diinginkannya, Daniel melangkah menuju meja favoritnya. Meja di pojok kedai yang bertolak dengan pantry pie.
            Matanya menjelajah kedai. Rasanya dalam seminggu ini ia sudah kemari sebanyak 3 kali. Dan semua itu adalah ulah Karel yang menodongnya untuk membelikan pie linden.
            Daniel tidak habis pikir, mengapa putranya itu begitu menyukai manis. Padahal ia saja tidak terlalu suka dengan makanan manis. Daniel trauma, saat ia berumur 10 tahun, saat itu ia sangat senang memakan 4 batang coklat dalam sehari, giginya sakit. Ia menangis sepanjang malam karena tidak tahan dengan rasa sakit yang menyerang giginya.
            Satu rumah memarahinya. Terutama Papanya. Dan sejak itu Daniel mulai menjauhkan dan menghapus coklat dari daftar makanannya. Bukan hanya coklat, tetapi seluruh makanan manis yang ada. Karena ia tidak mau lagi kena marah Papanya hanya karena makanan manis
            Hanya pie dari kedai ini saja yang masih ia konsumsi. Rasa manisnya tidak terlalu pekat di lidah. Yang menurut Daniel sangat pas dengan lidahnya yang anti manis.
            Daniel duduk di mejanya, ia melihat ke arah pantry pie. Bermaksud menghirup aroma pie yang baru saja diangkat. Tetapi saat itu juga matanya melihat Nathaly yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Sedikit menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas. Dan memang benar gadis yang duduk di dekat pantry pie itu adalah Nathaly. Gadis yang  selama tiga minggu ini selalu merecokinya di dalam kelas.
            Yang selalu menatapnya tajam ketika ia tidak boleh dibantah.
            Gadis itu masih menggelengkan kepalanya. Ia juga memukul kepalanya pelan. Daniel hanya mengerutkan keningnya melihat tingkah gadis itu.
            Selesai dengan kegiatan menggelengkan kepalanya, gadis itu pelan-pelan mengangkat kepalanya dan mengedarkan obsidian miliknya ke seluruh ruangan dengan takut-takut.
            Obsidiannya menatapnya dengan intens selama sekian menit. Tetapi obsidian itu cepat-cepat berpaling ketika menyadari sang objek yang ditatapnya berbalik menatapnya.
            HAH.
            APA TADI?
            Nathaly menatapnya? Obsidian itu menatapnya? Menatapnya dengan tepat di sapphirenya? Yang benar saja.

Linden chapter 3


            






 Daniel memperhatikan satu persatu wajah para peserta kursus yang baru ini. Rata-rata mereka berumur 18 - 25 tahun. Wajah-wajah segar dan menatapnya dengan binar terang duduk dengan manis di depannya.
            Wajah-wajah penuh minat. Wajah-wajah yang siap menerima pelajaran mengenai Bahasa Jerman untuk tiga bulan ke depan.
            Di pojok kelas, seorang pria dengan kemeja berwarna hitam dan sweater merah duduk dengan menopang dagu. Di lehernya tergantung bet pengajar. Wajahnya menampakkan cengiran mengejek ke arah Daniel.
            Daniel mendengus tak kentara. Bagus, baru hari pertama tetapi George sudah menampakkan batang hidungnya di kelas perkenalan. Menatapnya dengan cengiran jahil. Daniel tak habis pikir, bagaimana bisa manusia satu itu tak memiliki kelas.
            Padahal institute tempatnya mengajar, untuk musim ini membuka 4 kelas baru. Mengingat jumlah peserta yang semakin banyak dan semakin berminat untuk belajar di tempat kursus ini.
            Daniel mengangkat wajahnya saat mendengar siulan pelan dari George. Alisnya menaik satu saat George mengangkat selembar kertas.
            “I’M FREE SIR. Jangan memasang wajah seperti itu, atau kau mau murid-muridmu kabur =D”
            Daniel melotot saat George tertawa pelan. Ia melemparkan tatapan tajam kepada George, yang hanya dibalas dengan juluran lidah.
            Terkadang Daniel tidak bisa menebak ekspresi apa yang akan tercipta di wajah mulus tanpa jerawat milik sahabatnya itu. Selalu ada yang baru. George adalah seseorang yang susah ditebak. Mempunyai segala macam cara untuk menunjukkan apa yang sedang dirasakannya.
            Semua yang ada di dalam kelas serentak menolehkan kepala kearah pintu masuk. Suara ketukan terdengar di balik pintu itu. Mereka menatap dengan bingung. Sama dengan Daniel, ia melirik jam tangannya. Kelas sudah mulai sejak 10 menit yang lalu. Dan sekarang siapa yang ada di luar sana.
            Kebingungan mereka semua sirna saat seorang gadis masuk ke dalam. Ia mendekap satu buku besar. Buku panduan yang diberikan oleh institute kursus ini. Wajahnya menunduk.
            Daniel tidak bisa melihat wajah gadis yang baru masuk ini karena sebagian poni gadis itu menutupi wajahnya. Gadis itu melangkah ke depan Daniel.
            Hanya harum parfum gadis itu saja yang merasuki indra penciuman Daniel. Aroma yang terasa begitu asing untuknya. Tetapi ada sesuatu yang familiar saat Daniel menghirupnya. Entahlah.  
            Ia mengangkat kepalanya. Bola mata obsidiannya menatap tepat di manik mata Daniel.
            Membuat Daniel terpaku sesaat.
            Obsidian.
            Kelam.
Indah.
Tiga kata itu meluncur tanpa rencana dari kepala Daniel. Mata gadis itu sedikit sipit. Obsidian bening bersembunyi di dalamnya. Bulu mata yang lumayan lentik memperindah tampilannya.
“Maaf sir saya terlambat.” ucapnya.
Daniel tersentak  dari lamunannya. Ia masih menatap intens obsidian itu. Menyerang balik dengan kilau sappirenya. Seolah menembus segala hal yang bersembunyi di balik bola mata sekelam malam itu.
Lagi-lagi Daniel tersentak. Kali ini ia sedikit menunduk dan mengambil kertas yang disodorkan oleh gadis itu. Ia membaca sebaris kata yang berada di bagian atas kertas.
Tiga kata yang dicetak jelas. Digaris bawahi.
Nathaly Tjandra O.
Begitu yang tertulis disana. Daniel terpekur sejenak, nama ini bukan nama orang Jerman. Tjandra, gumamnya.
“Sir,”
Suara tegas yang meluncur dari gadis itu menginstrupsinya. Daniel menaikkan kacamatanya dengan ujung telunjuk. Ia mengamati gadis itu dengan teliti. Memperhatikan dari atas hingga bawah.
Angkuh.
Cetus otaknya tiba-tiba. Ia tahu bagaimana obsidian itu menatapnya tajam. Ia tahu gadis di depannya ini merasa risih diperhatikan seperti itu. Ia tahu bibir gadis itu sudah gatal ingin membentaknya.
Daniel tersenyum, ia suka cara gadis ini menatapnya. Tatapan kelam yang seolah siap menelannya bulat-bulat.
“Kau bisa mencari kursi yang kosong nona. Atau kau ingin berdiri di sini sepanjang saya mengajar?” ujar Daniel dalam Bahasa Inggris. Nada suara penuh akan godaan. Ia tahu, tidak semua murid yang mendaftar pada kelas Bahasa Jerman dasar mengerti tentang Bahasa Jerman.
Nathaly melongos. Ia menghentakkan kakinya kesal dan berbalik. Berjalan ke belakang kelas dimana tersisa satu kursi kosong. Kursi di pojok, dekat dinding, dimana di sebelahnya duduk seseorang dengan sweater merah.  
             Ia meletakkan buku diktatnya dengan asal. Menghasilkan bunyi berdebum yang lumayan keras. Membuat sebagian peserta yang akan menjadi teman selama tiga bulan mendatang menoleh ke arahnya.
            Nathaly hanya tersenyum acuh. Ia lantas cepat-cepat duduk saat Daniel menatapnya dari depan.
            Nathaly tidak suka dengan guru di depan sana. Songong, batinnya kesal.
            Nathaly menoleh ke sebelah kiri. Pria yang duduk di sebelahnya ini mengulurkan tangan kepadanya, ia tersenyum. Memperlihatkan sebuah gigi gingsul miliknya. Membuat senyum yang ia berikan kepada Nathaly menjadi sedikit berbeda.
            Nathaly menyambut uluran tangan itu. Ia mengangguk saat pria di sampingnya itu menyembutkan nama.
            “George.”
            “Nathaly.” balasnya.              
“Tidak usah diambil hati sikap Dan itu. Ia memang seperti itu,” ucap George tiba-tiba. Nathaly hanya mengerutkan keningnya bingung.
            Sok akrab sekali, sinisnya dalam hati.
            “Ia memang suka memperhatikan seseorang dengan detail. Tapi kau tenang saja Nath, Dan bukan orang yang jahat.” Lanjut George.
            Natahly hanya menatapnya sejenak, tidak terlalu mendengarkan apa yang diucapkan oleh pria di sampingnya ini. Fokus dirinya hanya untuk seseorang di depan sana. Seseorang yang mulai menjelaskan pelajaran dasar dalam bahasa Jerman. Nathaly lebih tertarik dengan bahasan yang sedang berlangsung sekarang, daripada mendengarkan celotehan tidak jelas mengenai guru barunya itu.
            Dan apa itu? Seenaknya saja pria ini memanggil namanya seperti itu. Mereka saja belum kenal terlalu lama. Tetapi pria itu sudah berani memanggilnya dengan nama kecilnya.
            Nathaly hanya mendengus. Bertambah satu orang lagi yang masuk dalam daftar seleksi orang-orang menyebalkan miliknya.

****

            Nathaly meneguk air mineralnya dengan cepat. Mengisi tenggorokannya yang kering. Ternyata tidak di Indonesia, tidak di Jerman. Ada saja orang yang merupakan duplikat kakaknya.
            Apa sifat yang dimiliki oleh Saka itu juga dimiliki oleh banyak orang? Apa semua orang menyebalkan itu harus berada di sekelilingnya? Tidak Saka, tidak Daniel, tidak George semuanya sama saja. Sama-sama menyebalkan dan sama-sama membuat Nathaly mengomel panjang lebar.
            Nathaly berdiri dan membuang botol air mineralnya yang telah kosong. Ia berjalan lagi menuju counter penjual minuman. Membeli sebotol lagi air mineral. Sekarang ia butuh beberapa liter air untuk menghilangkan perasaan kesal yang bercokol di hatinya.
            Nathaly pikir saat ia datang terlambat tadi ia tidak akan diberi hukuman apa-apa. Padahal sebelumnya Daniel memperbolehkannya duduk begitu saja. Mengacuhkannya. Tetapi ternyata tebakannya salah. Di tengah-tengah pelajaran Daniel memanggilnya. Menyuruhnya maju ke depan. Berdiri dengan tegap dan menghadap semuanya. Lalu setelah itu menyuruh Nathaly memperkenalkan diri dalam bahasa Jerman. Apabila Nathaly tidak bisa, maka poin miliknya akan dikurangi 100.
            Di institute kursus tempat Nathaly mengambil kelas Bahasa Jerman memang menerapkan system poin. Dalam satu minggu, setiap peserta kursus memiliki 1000 poin. dimana poin-poin tersebut akan dikurangi sesuai dengan kesalahan masing-masing dari mereka.
            Di setiap kelas terdapat satu dinding khusus yang di dalamnya terdapat layar poin. Dinding yang dibuat khusus dengan sedikit menjorok ke dalam. Layar poin itu hanya bisa digunakan oleh setiap pengajar yang berada disana. Masing-masing pengajar mempunyai kode layar tersendiri. Dan mereka semua berhak mengurangi poin setiap peserta seseuai dengan kesalahan yang mereka perbuat.
            Layar poin yang menjadi musuh besar para peserta semester akhir. Karena apabila mereka memiliki banyak kesalahan dan membuat poin mereka menjadi minus. Maka setiap peserta harus membuat sebuah essay sebanyak 350 lembar dalam Bahasa Jerman.
            1000 poin yang diberikan dalam seminggu akan diakumulasikan dalam sebulan. Apabila sisa poin peserta tidak mencapai 500 poin, maka mereka harus membuat essay sepanjang 5 lembar.
            Hal itu membuat semua peserta yang mengambil kelas di institute kursus ini harus berhati-hati. Menjalankan kelas mereka dengan baik dan tertib. Atau sebagai konsekuensinya bila melakukan kesalahan, poin-poin mereka akan dikurangi saat itu juga.
            Saat itu Nathaly langsung membelalakkan matanya. Yang benar saja, baru 30 menit ia mengikuti kelas sudah harus melakukan hal itu. Padahal Daniel baru mengajarkan hal-hal dasar saja. Seperti mengucapkan ‘selamat pagi’, ‘selamat siang’, ‘halo’ dan lain sebagainya.
            Ia belum menjelaskan bagaimana cara memperkenalkan diri dengan benar. Nathaly merutuk dalam hati, kalau seperti ini adanya lebih baik ia diberi hukuman saat datang tadi. Bukannya di tengah-tengah pelajaran yang membuatnya menjadi tontonan satu kelas.
            Nathaly mengumpat Daniel dalam hati. Ia mengumpat habis-habisan. Kepalanya mulai berdengung karena bingung. Suara Daniel yang menyuruhnya cepat membuat Nathaly semakin resah.
            Ia berpikir keras. Mencari-cari kosakata Jerman yang tersimpan di dalam kepalanya. Jangan diremehkan, selama setahun Nathaly pernah diikutkan kursus Bahasa Jerman oleh Mamanya. Tetapi saat memasuki tahun kedua Nathaly cepat-cepat membujuk Mamanya untuk menghentikan kursus itu. Ia tidak kuat. Tidak ada sama sekali minat dalam dirinya.
            Setelah mendapatkan sedikit ingatan tentang perkenalan diri yang dulu pernah diajarkan. Nathaly memulai memperkenalkan dirinya. Patah-patah karena ia lupa.
            Sesekali suara lantang Daniel menginstrupsinya. Membenarkan apa yang diucapkan Nathaly. Tetapi semua itu tidak berlangsung lama karena Daniel langsung menyuruhnya berhenti dan duduk. Lalu menggaris bawahi nama Nathaly di absen kelas. Di pojokan absen Daniel menulis angka 50 besar-besar. Tanda poin Nathaly dikurangi.
            Nathaly menggeram kesal. Ini baru hari pertamanya. Tetapi guru itu sudah memberikannya kesan jelek.
            Lihat saja nanti. Batin Nathaly menggebu-gebu.
            Ia melangkah kembali ke tempatnya duduk tadi. Membuka buku diktatnya dan melingkar besar-besar materi yang akan dipelajari besok. Sebelum keluar kelas tadi, Daniel telah memberi tahu semua peserta materi apa yang akan mereka pelajari besok.
            Asik dengan kegiatannya, Nathaly tidak mendengar suara baki yang beradu dengan meja. Saat suara lembut seseorang mengudara, Nathaly mengangkat kepalanya.
Ia termangu sejenak. Matanya diberi pemandangan indah. Seorang gadis dengan bola mata bulat besar, bermanik coklat menatapnya. Ia memiliki rambut sebahu berwarna hitam, wajahnya bulat. Bentuk wajah yang familiar bagi Nathaly.
Gadis itu tersenyum, dua lesung pipi otomatis tercetak di wajahnya. “Wenn ich konnte hier sitzen?”1  ucapnya.
Suara gadis itu mengudara, terdengar renyah di telinga Nathaly.
            Kening Nathaly mengerut mendengar ucapan gadis itu. Ia cepat-cepat membenahi duduknya. Menutup buku diktatnya dan menatap gadis itu.
            English please.
            Gadis itu tersenyum lagi, “Do you mind if I sit here?
            “Ah. Silakan.” balas Nathaly.
            Gadis itu menaruh tas selempangnya. Kemudian ia duduk di depan Nathaly, mendekatkan baki berisi sepiring roti dan sekaleng jus.
_____________________________
1.      Wenn ich konnte hier sitzen? : Apakah aku boleh duduk disini?
“Kamu yang tadi maju ke depan kelas kan?” gadis itu bertanya tiba-tiba.
Blush.
            Wajah Nathaly langsung memerah. Ia menunduk dan menarik nafas untuk menghilangkan rasa kagetnya. Ternyata ada saja yang memperhatikannya saat di kelas tadi. Nathaly berdeham. “Ya.” jawabnya pelan.
Gadis itu tertawa pelan, ia mengulurkan tangan dan kembali tersenyum. “Ich heisse Najwa.”2 Ia memperkenalkan diri.
            Nathaly menyambut uluran tangan itu, entah berasal dari mana, saat melihat senyum Najwa, ia merasakan suatu perasaan tenang. Mungkin saja gadis di depannya ini bisa menjadi teman baiknya selama di Jerman.
            Karena selama ini Nathaly tahu, ia tidak mudah untuk dekat dengan seseorang yang baru dikenal. Ia bisa merasakan yang mana yang ingin berteman baik dengannya atau yang hanya ingin berteman dengannya karena kebutuhan mereka.
            “Nathaly,” balasnya.
            “Hei kita sama-sama memiliki nama dengan awalan ‘N’.” seru Najwa girang. Ia terkekeh. Tangannya menangkup roti dan menggigitnya. Tentu setelah mereka selesai berjabat tangan.
            Nathaly ikut tertawa. “Yeah kau benar.”
            “Hmm Nath. Can I call you like that?
            Of course. What?
_____________________________
2.      Ich heisse Najwa  : Namaku Najwa
            Najwa menaruh rotinya lalu menatap Nathaly serius. Nathaly menaikkan alisnya. Melihat tatapan Najwa yang seperti itu mengingatkannya akan wajah Seira. Sahabatnya yang tinggal di Samarinda.
            “Kenapa kamu tadi bisa terlambat?”
            Mata Nathaly membulat sempurna. Bila gadis di depannya ini adalah Seira, mungkin saat ini juga Nathaly akan menarik kedua pipinya dan menjitaknya. Ia buru-buru menghela nafas, yang benar saja. Hanya bertanya seperti itu saja, Najwa harus menatapnya serius. Aneh-aneh saja.
            “Hei Nath jawab.” Desak Najwa.
            Nathaly menatap Najwa dengan serius juga. Ia memajukan wajahnya, memberikan jarak pandang yang begitu dekat. Dengan jarak sedekat ini Nathaly bisa melihat warna mata Najwa dengan jelas. Coklat terang, seperti milik Hana. Nathaly juga bisa mencium aroma strawberry dari gadis itu, entah harum tubuhnya atau harum parfum yang ia kenakan atau mungkin harum shampoo yang gadis ini gunakan.
Cara Nathaly menatapnya dengan begitu serius malah membuat Najwa menjadi semakin penasaran. Gadis itu memasang telinganya baik-baik.
“Karena aku tersesat.” ucap Nathlay pelan nyaris berbisik.
            Najwa memundurkan wajahnya cepat-cepat. Menatap Nathaly dengan kesal. Sementara Nathaly, ia tertawa pelan mendapati wajah shock Najwa karena mendengar jawabannya.

****

            “Hei Dan. Kau serius mengurangi poin anak baru itu?” buru George. Sejak tadi ia bertanya tetapi hanya diacuhkan oleh Daniel. Pertanyaan yang diajukan George sejak keluar kelas Daniel hingga masuk ke dalam ruang kerja mereka.
            Daniel tidak menghiraukan pertanyaan George. Ia tetap menyusun daftar nama-nama murid baru yang akan menjadi muridnya selama 3 bulan ke depan. Menyusunnya menurut abjad, lalu merapikannya ke dalam filing cabinet.
           “Daniel dengar tidak sih?” teriak George kesal. Cape tahu kalau tidak didengar itu. Benar-benar ya Daniel ini, kalau mendengar itu menjawab bisa tidak sih.
            “Ya ya George aku dengar. Duduk. Aku bosan melihat mu mondar-mandir seperti itu.”
            George menarik kursi di depan meja Daniel dengan gusar. Ia menatap Daniel yang akhirnya berhenti mengerjakan pekerjaannya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, menciptakan nada asal.
            Daniel melepas kacamatanya, menaruhnya di atas tumpukan kamus Bahasa Jerman. Ia menarik laci di sebelah kiri tangannya. Laci nomor satu, dimana ia menyimpan kotak kamacatanya.
            Ia mengambil lap kacamatanya lalu membersihkannya. Kemudian menatap George dengan sedikit menyipit.
            “Kau bertanya apa tadi Ge?” tanyanya seraya memanggil George dengan nama kecilnya.
            George menggeram, ia melayangkan satu jitakan ke kepala Daniel.
            “Ouch.” Rintihnya. Ia membelalakan mata, memelototi George. Yang berani menjitaknya hanya manusia jelek di depannya ini saja.
            “Kau bilang tadi mendengarku. Kenapa sekarang balik bertanya?” George hampir berteriak mengucapkannya. Daniel ini benar-benar membuatnya kesal.
           “Iya iya Ge. Tidak usah marah-marah seperti itu, aku mendengar kok, hanya..” belum selesai Daniel berbicara, I-phonenya berbunyi nyaring, meraung-raung untuk segera diangkat.  “Sebentar…”
            George mendengus keras-keras. Siapa lagi sekarang yang mengganggu? George melotot saat Daniel tersenyum mengejek. Sahabatnya itu lebih memilih menjawab telponnya ketimbang menjawab pertanyaannya.
            “Ya dear,” seru Daniel.
            George menaikkan alisnya, heh dear? Memangnya siapa yang menelpon Daniel hingga pria itu menyerukan sebutan itu?
            “Iya sebentar lagi Daddy pulang. Karel jangan membuat Aunty Eryn susah, ok?”
            Ah George tahu, ternyata Karel yang menelpon. Bicara soal Karel, ia jadi merindukan bocah kecil itu. Bocah aktif yang bisa membuat Daniel pusing karena ulahnya. Dan membuat Daniel panik tidak karuan saat tahu Karel demam.
            George berdiri, ia melangkah dan berputar. Mengambil satu frame foto di atas meja kerja Daniel, frame yang berisi foto Karel. Foto bocah itu yang diambil Daniel saat musim semi kemarin. Karel berdiri di bawah pohon linden dengan gulali besar di kedua tangannya.
            George tahu betapa sukanya Karel akan makanan manis itu. Bocah itu akan menangis lama bila Daniel tidak memberinya izin untuk memakan gulali. Dan Daniel pun akan semakin tidak memberi izin bila tangis Karel tidak kunjung berhenti.
            Terkadang George kasihan melihat Karel. Bocah itu akan berlari kepadanya dan mengadukan hal-hal yang membuatnya menangis. Cara Daniel mendidiknya sedikit keras. Sehingga sering membuat Karel menangis. Tetapi dibalik semua didikan yang Daniel beri, sahabatnya itu amat sangat menyayangi Karel. Ia akan mengorbankan apapun agar putranya ini dalam keadaan baik.
            George mengalihkan pandangannya sejenak. Menetap Daniel yang sedang mengerutkan kening. Menasehati putranya yang sedang dalam masa aktif-aktifnya.
            “Dengar Daddy. Jangan berlari kesana kemari dan menghamburkan mainan Andrio. Kau itu masih demam, dengar?”
            “Ya Daddy,” sahut Karel.
            “Dimana Aunty Eryn, kau menelpon dibantu Aunty kan?”
            “Tidak. Aku punya nomor telpon Daddy sendiri. Aunty sedang pergi.”
            Daniel menatap i-phone-nya dengan horror. Ia cepat-cepat menyuruh Karel untuk menutup sambungan ini. Atau bisa dipastikan, saat ia menjemput Karel nanti. Erynina akan menggantungnya hidup-hidup.
            “Tutup telponnya cepat. Sebentar lagi Daddy pulang.” Perintahnya.
            Di sebrang sana Daniel mendengar suara menderu-deru, suara Andrio yang menirukan bunyi mobil tank. Lalu disusul dengan suara nyaring Karel yang berteriak agar tank miliknya tidak ditabrak.
            “Tutup telponnya Karel.” Daniel berkata dengan tegas. Ia masih ingin hidup, ia tidak mau mendengar omelan super panjang dari Erynina karena kuota telponnya berkurang banyak.
            “Tidak mau. Daddy tidak merindukan ku?” tanya Karel. Suaranya terdengar sedih.
            Daniel mengusap wajahnya frustasi, disaat seperti ini Karel malah bertanya seperti itu. God, desisnya.
            Daddy merindukan mu. Sekarang tutup telponnya. Atau pie lindennya tidak jadi Daddy belikan?” ancam Daniel.
            “Jangaaaaaaan. Aku tutup. Love you Dad.”
            Hah. Akhirnya ditutup juga. Daniel menghela nafas lega, tetapi tidak secepat itu ia bisa kembali duduk. Ia cepat-cepat mencari nomor telpon Erynina dan menelponnya. Kalau tidak. Huh Daniel malas membayangkan.
            George menatap Daniel bingung. Hanya menerima telpon dari putranya saja ia harus memasang wajah frustasi seperti itu. Sekarang menelpon seseorang dengan mengacak-acak rambut. Mirip seperti orang yang dikejar rentenir saja.
            “Ah Eryn.”
            “George jangan angkat telpon dari nomor rumah Eryn,” teriaknya lalu kemudian berlari keluar ruangan. George menaikkan alisnya melihat tingkah aneh Daniel. Ia menaruh frame foto itu dan menyunggingkan senyum saat melihat senyum ceria Karel disana.
            Tidak lama, ponselnya berbunyi. Nama Erynina tertera disana. George menimang-nimang untuk mengangkatnya atau tidak. Tetapi saat wajah mengejek Daniel terlintas di kepalanya. George tersenyum jahil.
            Kena Kau. Batinnya senang.

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...