Rabu, 08 Februari 2012

Permen cokelat


            “Apanya yang displin? Anggota OSIS yang selalu dijunjung tinggi disetiap event aja nggak pernah pakai seragam rapi. Ketua Kedisiplinan itu aja kerjaan baca komik kalau di kelasnya nggak ada guru. Terus Ketua Brigade, setiap senin aja nggak pernah beres ngurus anak buahnya. Halah cuma omongnya aja yang gede.”
          “Kalau setiap anak dijejelin petuah-petuah gitu yang nggak sesuai kenyataan siapa yang nggak berontak coba? Iya yang nurut cuma satu, tapi yang ngebangkang banyaaaaaaaaak.”
            Ia masih mengomel panjang lebar. Mempermasalahkan isi pidato dari Kepala Sekolah saat upacara tadi. Mengomentari semua hal yang tidak masuk akal menurutnya.
            Bibir mungilnya itu bisa menghasilkan beribu macam komentar. Terkadang satu komentar saja bisa membuat orang lain lupa menutup mulut karena terlalu shock.
            Siapa yang menyangka, dibalik sifatnya yang easy going itu, ia adalah seorang kritikus tajam. Ia bisa mengomentari apa saja yang di lihatnya bila itu sudah tidak sesuai dengan aturan yang dipasang di seluruh  penjuru sekolah.
            Telingaku sudah berdengung mendengar segala macam omelannya. Bibir mungilnya itu belum juga berhenti bekerja, masih menuangkan setidaknya lima ayat panjang mengenai ketidak adilan.
            “Hoy Yan dengar nggak sih? Isss orang tadi tadi ngomong nggak didengarin. Cape tau woy!” ia berteriak jengkel. Matanya tetap focus tanpa menatapku.
            Sedangkan aku, aku hanya diam tak menanggapinya. Tanganku merogoh kantong seragam, mengambil permen cokelat yang selalu sedia di sana. Merobek bungkusnya dan memasukkan ke dalam mulut. Memegang satu permen cokelat yang berbentuk lollipop. Bersiap untuk menyumpal mulut Keira bila ia tidak juga kunjung berhenti mengomel.
            Permen cokelat yang tak pernah tertinggal barang sejenak pun.   
            Keira masih saja mendumel tidak jelas. Tidak memperhatikan langkahnya. Membuat sebagian siswa menatap kami dengan kening berkerut. Aku sendiri menuntunnya agar tidak menabrak apapun. Keira selalu seperti itu, ketika ia sudah mulai mengomel tidak jelas, ia tidak akan memeprhatikan langkah kakiknya.
            Hanya berjalan lurus tanpa peduli dengan apa yang akan ada di depannya.
            Aku mengangkat jempol saat Bobby berteriak memanggilku. Ia memberitahu untuk menuntun Keira agar tidak menabrak tembok yang berada 3 meter di depan kami.
            Saat ini aku dan Keira berjalan di sepanjang koridor kelas tiga. Menuju kelas kami yang berada paling pojok.
            Saat tembok itu terlihat, tembok yang berada di depan kelas XII- Bahasa I, aku cepat-cepat berjalan di depan Kei. Berhenti di depan tembok itu. Sedangkan Keira, ia tidak sadar aku tidak ada di sebelahnya. Masih mengomel.
            “Yan menurut kamu orang-orang kayak mereka itu masih pantas nggak sih ada di organisasi macam OSIS? Toh sebagian dari mereka juga tidak memberi contoh yang baik kan. Kalau aku yang jadi kepala sekolah nih ya. Sudah ku pecat satu-satu itu anak-anak nggak tau aturan. Riyan woy. Isss budek.”
            DUAK.
            Yak pintar sekali Keira, perhatikan jalanmu.
            Ia berhenti mengomel, mengaduh pelan seraya mengusap keningnya yang membentur dadaku. Untung saja aku sudah siap siaga berdiri di depan tembok itu. Kalau tidak? Ya bisa dibayangkan. Kening mulusnya yang tanpa jerawat satu itu pun akan mengucurkan darah segar karena menabrak tembok. Dasar gadis ceroboh.
            “Sudah selesai ngomelnya?” aku bertanya. Menarik lengannya, lalu menggenggam tangannya dan menuntunnya menuju kelas.
            Ia mengangguk dengan bibir yang mengucrut kesal. Tangannya yang bebas masih mengusap keningnya. Apa dadaku sekeras itu hingga ia masih merasa sakit?
            “Sakit Kei?” tanyaku. Aku berhenti melangkah, melepas tangan Keira dan berdiri di depannya. Ia hanya mengangguk saja.
            Ku tepis pelan tangannya yang masih mengusap kening, ku gantikan dengan tanganku. Mengusap keningnya dengan pelan.
            “Maaf,” ujarku pelan.
            “Nggak apa-apa Yan. Salah sendiri ini. Harusnya aku yang terima kasih.”
            “Nih,” aku menyodorkan lolipop cokelat yang tadi ku pegang.
            Ia mengerutkan kening, “Buat apa?”
            “Makan aja. Biar tuh mulut jadi manis. Cape tau dengerin kamu ngomel pedes kayak cabe rawit gitu.”
            Keira membelalakkan matanya, dua kedutan tercetak di kedua pelipisnya. Aku hanya menggeleng acuh.
            Ku robek bungkus lolipop cokelat itu. Menjejalkannya ke dalam mulut Keira. Dan sebelum ia memprotes, aku cepat-cepat merobek satu bungkus lagi, lalu menjejalkannya ke dalam mulutku sendiri.
            “Nggak usah protes. Kita satu sama.” Ucapku.
            “Dasar tukang paksa.” Desisnya tak suka.
            Aku hanya menatapnya datar, menggenggam tangannya lagi, melanjutkan perjalanan kami menuju kelas.
            Semoga setelah lollipop cokelat itu habis, mulut Keira tidak mengomel pedas. Semoga ia akan memujiku. Berdoa saja Riyan.
            Bukankah rasa permen cokelat itu manis, semoga saja rasa manisnya menular padanya.
            Semoga.
            Semoga.

Senin, 06 Februari 2012

Chocolate Jam



            Aku membuka bekal makan siangku. Dua tangkup roti tawar menjadi menuku kali ini. Roti berwarna selembut kapas itu sungguh menggiyurkan. Membuat perutku berontak seketika. Walau hanya dua tangkup roti tawar, tetapi keduanya sudah cukup untuk mengganjal perutku. 

            Di atas salah satu rotinya, tulisan tanganmu tercetak indah. Bulat kecil, menandakan betapa manisnya dirimu. 

            Aku mengambilnya, membaca sebaris kalimat yang kau tulis di sana. Kalimat yang kau tulis dengan lelehan coklat. 

            “Du machst mich so glücklich. Ich liebe dich.”  - You make me so happy. I love you-

            You make so happy too Dear. I love you too.” Balasku.

            Aku tertawa pelan. Kau selalu mempunyai berbagai macam cara untuk mengungkapkan dirimu Nath. Sikap manis yang selalu kau selipkan dimana pun. Yang entah mengapa selalu membuat tawaku menguar. Menyatu dengan partikel-partikel udara lainnya. Berbagi dengan mereka kebahagian yang sedang ku rasakan.
         
           Aku menggigit roti tawar itu. Rasa roti dan selai cokelat yang kau oles di atasnya menyapa indra pengecapku. Rasa manis yang ku suka. 

            Kau itu berbeda Nath. Kau selalu tahu apa yang ku suka dan tidak ku suka. Kau selalu membuat tawaku menguar perlahan kala melihat raut polos mu itu. Kau tahu bagaimana membuatku terbang melayang, merasa ringan tanpa beban. 

            Hot chocolate yang tidak kau suka pun tetap kau buatkan untukku. Berada di atas meja kerjaku dengan manisnya. Yang terkadang saling berdampingan dengan kotak bekal roti berselai cokelat buatanmu.  

Membuatku semakin bertambah mengingatmu, Nath. Mengingatkanku akan wajah bersemu merah milikmu. Wajah malu-malu yang selalu berputar di pusat hidupku. Memori-memori indah yang kau buat tak pernah sekali pun menghilang. Ia akan berputar pada waktu yang tepat, yaitu saat aku benar-benar merindukan keberadaanmu. 

Aku menghabiskan roti berselai cokelat ini dengan lahap, mengambil roti kedua. Berburu dengan waktu agar cepat menghabiskannya. Lalu meneguk habis segelas tinggi air putih. 

Kau selalu mengomel kalau aku meminum cokelat untuk sarapan pagi. Menurutmu yang selalu memperhatikan asupan makanan, dua tangkup roti tawar berselai cokelat sudah cukup untuk mengganjal perut. Tidak usah menambahnya dengan segelas atau secangkir cokelat lagi. Air putih lebih baik. Ia lebih memudahkan pelarutan roti tawar itu di dalam tubuh. 

Itu nasihat yang setiap pagi kau berikan kepadaku.  

Belum sempat aku menggigit roti kedua buatanmu. Dering ponsel menginstrupsiku. Namamu tertera di layar ponselku. Berkedip-kedip untuk segera mengangkat. 

“Bagaimana rasanya Pak Manager?” suaramu menyapa gendang telingaku. Nada menggoda kau selipkan di dalamnya. 

 “Five thumbs, Dear.” ucapku tulus. 

Kau tertawa kecil, “Baiklah. Habiskan ya? Dan teguk habis air putihmu, jangan selundupkan secangkir cokelat untuk pagi yang sejuk ini. Lalu ganti dengan capphucino hangat untuk pembayarannya dua tangkup roti itu.” Kau berseru jahil. 

“Siap nona.” balasku.

Kau kembali tertawa, kali ini dengan menghembuskan nafas perlahan, suara lirihmu menyapa gendang telingaku untuk kesekian kalinya. “Aku mencintaimu, Dan. Selalu.” 

“Aku pun begitu. Kau tahu segalanya bukan Nath? Apapun yang terjadi aku selalu mencintaimu. Terima kasih untuk dua tangkup roti ini. Kau selalu tahu apa yang ku suka.” Ucapku tulus. 

Dua tangkup roti berselai cokelat, selai yang tak kau suka. Tapi dengan senang hati kau buatkan untukku. Untukku yang menjadikan cokelat kebutuhan nomor dua dalam hidupku. Tentu kau yang selalu nomor satu di hatiku Nath. 

Aku mencintaimu Nathaly.

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...