Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga

-->
            “Kalau menangis lagi, aku cium.”
            Aku meliriknya sebentar setelah berkata seperti itu, dan yeah, sesuai dengan dugaanku, ia melotot kaget.
            Wajahnya basah karena menangis, selalu seperti itu setiap tahunnya.
            Hah.
            Padahalkan tiap tahun kita juga selalu bertemu, sayang. Apa kau tak lelah selalu menangis bila kita sedang saling bertatap muka seperti ini? Aku merindukan senyumanmu, bukan setitik atau runtuhan air mata itu.
            Hanya senyummu saja.
            Itu sudah cukup.
            “Hei beneran mau dicium ya?” aku mulai menggodanya lagi.
            Kali ini ia tidak hanya melotot, tapi melayangkan tangannya untuk memukul lengannku dengan kuat.
            Aisssh, sakit juga ternyata.
            “Kenapa mesum banget sih?” omelnya.
            “Aku tidak mesum atau apalah itu. memangnya mencium kekasihku sendiri tidak boleh?” lagi. Ku lempar godaan itu untuknya. Dan lagi-lagi lenganku yang mendapatkan balasan. Ia memukul lenganku sekali lagi.
            Rona merah mulai menjalar perlahan di wajah ayunya. Aku hanya terkikik geli melihatnya yang biasa galak bisa mendadak gugup seperti ini.
            Ku putar tubuhku dan berhadapan dengannya, ku usap pelan jejak-jejak air mata yang tersisa di wajahnya itu. Selalu berakhir seperti ini setiap kami bertemu.
            Di sepanjang jalan braga akan selalu ada setetes air mata yang jatuh darinya setiap tahun. Dan aku tak pernah tahu kapan air mata itu berhenti jatuh saat kami bertemu nanti. Atau mungkin, air mata itu tak akan jatuh bila aku selalu berada di sisinya.
            “Berhenti lah menangis seperti ini. Apa setiap tahun aku harus mendapatkan air mata mu kalau kita sedang berada di sini?”
            Ia hanya diam, tak menyahut apapun. Di sebelahnya aku pun ikut terdiam. Kami saling tak mengucapkan apa-apa. Aku menatap satu persatu mobil-mobil yang lalu lalang di jalan Braga ini.
            Setiap tahun selalu saja bertambah entah berapa mobil yang lalu lalang di jalan ini. Dan aku hanya bisa memperhatikannya satu demi satu ketika mereka-mereka semua itu lewat dengan angkuhnya.
            Gadis ku itu tak juga mengatakan apapun, ia masih diam saja.
            “Apa tak bisa tahun ini tak usah pergi ke sana?” ucapnya tiba-tiba dengan suara lirih.
            Aku menoleh sebentar lalu menghela nafas, “Hanya tersisa tahun ini saja. Tahun depan aku akan menetap di sini.”
            “Tak bisa cepatkah?”
            Aku menggeleng sebagai jawabannya.
            “Please,” ia meminta dengan parau.
            Aku menghentikan kegiatan menatap mobil-mobil itu. Ku putar sekali lagi tubuhku agar berhadapan dengannya. Ku angkat dagunya dengan pelan, manik obsidian miliknya menatap sayu ke arahku.
            Ku hela nafas pelan-pelan. “Aku hanya sebentar saja. Hanya enam bulan, nggak setahun penuh sayang. Ayolah. Hanya sisa tahun ini saja. Ya?”
            Ia menggeleng, air matanya mulai mengalir lagi.
            Tuhan, apa aku keterlaluan membuatnya selalu menangis seperti ini? Tapi ini demi kebaikkan kami berdua. Tolong hambamu ini, Tuhan.
            Ku rengkuh tubuhnya yang tampak rapuh itu. Dan kali ini tangisnya semakin bertambah keras. Ia menangis tersedu-sedu di dalam rengkuhanku. Karena posisi kami yang saling berdiri di jalan, kebanyakan orang-orang yang melewati kami selalu melirik ingin tahu.
            Aku hanya diam menanggapi itu semua. Di sepanjang jalan braga tahun ini bukan hanya setetes air mata saja, beribu-ribu air mata jatuh beruntun dari matanya. Dan itu karena ku.
            “Ssst. Tak usah menangis. Berjanjilah kalau kau akan terus di sini menantiku?”
            Ia menggeleng dalam rengkuhanku. Isakannya semakin terdengar nyaring dan membuatku sesak.
            Jangan seperti ini, Nay.
            “Berjanjilah kalau kau akan kembali enam bulan lagi?”
            Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
            “Jangan berbohong. Atau hidupmu tak akan tenang kalau kamu tak kembali enam bulan lagi.” Ia mengancamku dengan suara parau. Isakannya masih terdengar.
            Aku mengulum senyum diam-diam.
            Bantu aku untuk tak melanggar janji ini, Tuhan.
            “Lamar aku setelah kau puas dengan pekerjaan mu itu.”
            Aku mengangguk mantap.
            Hei jalan braga, ingatlah ini dengan baik.
            Enam bulan yang akan datang, aku akan mengikat hatinya hanya untukku di sini. Ingat itu ya.
            Dan enam bulan lagi, tak akan ada setetes air mata haru di sepanjang jalan braga ini.
            Aku janji.

Selasa, 12 Juni 2012

Coffee Morning


            “Pram.”
            Aku menoleh ketika seseorang melangkah masuk ke kedai kopiku. Aku tak mau memberi nama apapun untuk kedai kopi ini. Biarlah para pelanggan yang memberi nama sesuai dengan keinginan mereka. Selama mereka merasa puas dan nyaman dengan apa yang kedaiku ini sajikan, aku sudah merasa senang.
            “Hai Den. Lama nggak ketemu, kemana aja?” aku berfive high dengannya.
            Denny hanya menyengir lebar seraya melompat duduk di depan meja sajiku. Tempat dimana aku bekerja, meracik segala macam jenis kopi.
            “Kopi hitam,” seruku saat ia akan mengucapkan sesuatu.
            Denny menggeleng dan menyengir, “Kau salah. Beri aku sesuatu yang lain. Aku sedang bahagia.”
            Aku mengangguk dengan senyum lebar. Pantas saja wajahnya begitu berseri hari ini.
            Sementara aku mulai meracik, Denny mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kedai. Senyum di wajahnya tidak luntur sama sekali, padahal dua hari yang lalu ia datang dengan wajah suram seperti zombie dan memesan dua cangkir kopi hitam panas.
            Tetapi hari ini, teman akbrabku ini terlihat sangat ceria.
            “A cup of Cappucinno for you, Sir.” Aku menyorongkannya ke depan Denny.
            Denny cepat-cepat meminumnya, ia memejamkan mata sebentar saat menahan cappucinno itu di dalam mulutnya untuk sejenak. Ia meminumnya hingga tuntas dalam beberapa kali tegukkan saja.
            “Tidak akan enak kalau kau habiskan sekaligus seperti itu,” saranku.
            Denny menaruh cangkirnya lalu menyapu sisa krim di sudut bibirnya, “Resep baru ya?”
            Aku menggeleng, “Aku baru membuatnya lima hari yang lalu.”
            “Oooh.” Ia mengangguk-angguk paham.
            “Ada yang ingin kau sampaikan? Sepertinya sahabatku yang satu ini sedang sangat bahagia? Tidak ada wajah zombie mu lagi.” Godaku.
            Denny melempar topinya ke wajahku dengan wajah cemberut, yang langsung ku tangkap.         
            “Lihat ini.” Ia menyorongkan Ipad-nya kepadaku.
            Aku mengambilnya lalu membaca sesuatu yang tertera di sana.
            “Whoaaaa.” Refleks aku berteriak heboh.
            “Ini beneran?”
            Denny mengangguk-angguk senang, senyumnya semakin lebar. “Kemarin dia mengirimiku ini.” Ia menggaruk kepalanya gugup.
            “Selamat.” Ucapku tulus.
            Denny menyambut uluran tanganku dengan semangat. Senyum tak henti-hentinya ia umbar. Dan aku hanya tersenyum maklum melihatnya yang seperti mendapatkan lotre sebesar 2 milliar.
            Secangkir cappucinno untuk sahabatku yang sedang berbahagia pagi ini. Do you want it too? J



Denny, maaf untuk tiga hari yang lalu ya.
Dua minggu lagi aku akan datang, dan bersiaplah. Kau harus  menyematkan cincin ini di jariku.
Aku menunggu saat itu.
           

Jumat, 08 Juni 2012

Bab 4 Linden


4
           
Nathaly berdiri di belakang pria bertubuh jangkung. Pria itu mengenakan kemeja hitam, ia menjinjing kantong kertas di tangannya. Suaranya terdengar berat. Dengan rambut yang dipotong cepak, Nathaly mengira-ngira bahwa pria di depannya ini berumur kepala empat.
            Saat pria itu keluar dari barisan mengantri karena telah mendapatkan pesanannya, Nathaly tersenyum senang. Jawabannya tepat, melihat pria itu menghampiri seorang wanita dan berbicara sebentar, Nathaly jadi bisa mengira berapa umurnya.
            Suara berat yang menderu-deru keluar dan menghampiri indra pendengaran Nathaly sejenak, membuatnya mengangguk senang.
            Kedua pasangan itu beranjak keluar kedai seraya bergandengan tangan. Meninggalkan Nathaly yang sedang menatap punggung mereka dengan binar senang. Senang karena tebakannya terjawab benar.
            “Frau.3
                Natahly cepat-cepat menolehkan kepalanya. Seorang gadis kira-kira berumur tujuh belas tahun menatapnya hangat. Senyuman tersungging di wajah tirusnya.
            “Was möchten Sie bestellen?4
_________________________
1.      Frau : Nona
2.      Was möchten Sie bestellen? : Anda ingin pesan apa?

Nathaly terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan gadis itu. Setelah ingat apa yang pernah diberitahu oleh Najwa. Nathaly mengangguk samar.
                Nathaly menunjuk gambar kue kering berbentuk daun linden pada daftar menu yang ada di atas meja. Di kedai roti yang ia ketahui dari Najwa kemarin ini memang menggunakan system sentuh. Interior kedai yang terasa hangat. Di dalamnya didesain seperti sedang berada di kebun Linden. Dindingnya di cat dengan gambar pohon linden disemua musim.
            Terdiri dari empat ruangan sesuai dengan empat musim yang ada di Jerman. Dan saat Nathaly masuk tadi, ia masuk ke dalam pintu bernomor 3. Suasana guguran daun linden terasa sangat kental.
            Dindingnya penuh dengan gambar guguran daun yang berwarna hijau, kuning dan coklat. Di sebelah kanan dari tempat Nathaly mengantri. Satu dinding penuh akan proses gugurnya daun linden. Dari daun itu masih berwarna hijau cerah hingga berwarna coklat tergambar sempurna.
            Daun linden sendiri mempunyai bentuk yang sama dengan bentuk hati. Pohon Linden merupakan salah satu pohon yang multifungsi. Pada umumnya ia ditanam sebagai pembatas jalan atau penghias taman seperti yang terdapat pada salah satu jalan utama di Berlin yang bernama Unter den Linden.
Bunganya menghasilkan banyak madu yang manis untuk makanan lebah. Kayunya juga sangat berguna untuk kayu bakar dan merupakan salah satu pohon yang baik untuk ditebang karena ia dapat tumbuh dengan cepat. Pucuk-pucuk mudanya yang lembut juga seringkali dimasak sebagai salad. Konon katanya pohon ini juga dapat menyembuhkan penyakit epilepsi dan bunganya sering diseduh dalam teh untuk minuman relaksasi.
Yang Nathaly tahu mengenai pohon ini adalah, pada abad pertengahan, kayu pohon Linden digunakan untuk seni ukir dan pembuatan patung.
            Nathaly menyukai tempat ini. Kedai roti yang menciptakan perasaan tenang di hatinya.
            “One kilos please,” ucapnya.
            Gadis itu mengangguk, ia menyentuh layar bergambar roti kering berbentuk daun linden seperti pesanan Nathaly. Tidak sampai sepuluh menit, kue kering pesanan Nathaly telah terbungkus rapi. Gadis itu menyorongkannya kepada Nathaly seraya menyebutkan harga.
            Nathaly menerimanya, mengambil beberapa euro dari dompetnya, ia menggumamkan terima kasih. “Danke schön.5
            Gadis itu kembali tersenyum, ia mengangguk lalu mengucapkan terima kasih kembali dan berharap agar Nathaly dapat kembali berkunjung ke kedai roti mereka.
            Nathay berbalik. Ia berjalan keluar kedai. Suara gemerincing lonceng yang berada tepat di pintu masuk berbunyi saat ia mendorongnya pelan. Nathaly melangkah pelan, ia berhenti sejenak di tempatnya berpijak. Aroma kue kering yang baru saja dipesannya menguar sempurna.
               Aroma yang khas yang asing untuk Nathaly. Ia mengangkat kantong kue itu mendekati hidungnya. Menghirup aromanya. Memenuhi paru-parunya dengan zat baru.
            Ia melirik jam tangannya. Senja masih butuh 2 jam lagi untuk bergulir. Dan Nathaly belum mau kembali ke flatnya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

___________________________
3.      Danke schön  : Terima kasih 

            Matanya tertuju pada meja berpayung hijau yang berada di dekat pintu nomor 2. Nathaly mengangguk pelan, sepertinya menunggu senja seraya duduk di kedai ini bukan pilihan yang buruk. 2 jam bukan waktu yang lama bagi Nathaly bila ia mendapatkan asupan udara baru.
            Mata Nathaly mulai beredar mengamati keadaan kedai roti ini. Ia baru sadar bahwa meja yang ia duduki ini berada di depan pantry pembuatan pie. Nathaly bisa melihat 3 orang pekerja yang mengenakan seragam putih hilir mudik membuatkan pesanan pie.
            Aroma pie linden ternyata tidak jauh berbeda dengan pie yang sering dibuatkan oleh Mamanya. Hanya aroma khas daun linden yang membuatnya menjadi nilai tambah.
            Pantry pie di depannya ini memiliki suasana yang berbeda dengan kedai yang baru saja ia masuki. Kedai roti berpintu nomor 2 ini menawarkan suasana musim semi Jerman.
            Sama seperti di kedai dengan pintu bernomor 3 tadi, kedai roti ini juga menghias dinding dalamnya dengan suasana musim semi. Pohon-pohon linden berjajar rapi di dalamnya. Warna hijau mendominasi keadaan di dalam kedai nomor 2 ini.
            Pucuk-pucuk daun linden menyembul tak aturan. Membuat sebuah gradasi tersendiri. Serta aroma pie yang menguar bebas membuat siapa saja yang berada di sekitar kedai ini berhenti sejenak. Menghirup aroma manis yang ditawarkan.
            Aroma pie yang baru saja diangkat menggoda indra penciuman Nathaly. Gadis itu berinisiatif untuk mencicipinya. Ia berdiri, melangkah memasuki kedai tersebut.         
            Kembali suara gemerincing bel terdengar saat ia mendorong pintu kedai. Aroma pie serta merta menyerbu hidung Nathaly. Mengisi paru-paru Nathaly dengan zat yang baru lagi.
            Gadis itu memilih untuk duduk di dekat pantry pie. Ia melambaikan tangannya memanggil pelayan. Seorang pelayan yang menggunakan apron berwarna biru menghampirinya. Apron berwarna biru laut yang tampak begitu tenang. Sama seperti senyum yang ia lemparkan kepada Nathaly.
Iris birunya menatap Nathaly dengan teduh, seolah sedang menyuruh cucunya untuk memilih pie apa yang ingin dimakannya.
Nathaly membalas senyum teduh itu, diambilnya buku menu yang disodorkan oleh pelayan dengan senyum itu. Ia menyebutkan pesanannya dan menggumamkan terima kasih. Membuatnya kembali mendapatkan satu senyum teduh dari pelayan yang kira-kira telah berumur setengah abad itu.
            Nathaly takjub melihat bagaimana kedai ini menghias semua sudut ruangan mereka. Setelah memilih apa yang ingin ia cicipi. Nathaly kembali mengedarkan pandangannya. Mengamati setiap sudut yang ada.
            Suara gemerincing bel menyita perhatian Nathaly. Membuatnya memutar kepala dan melihat siapa pelanggan yang baru masuk.
            Seorang pria bertubuh jangkung, dengan mantel abu-abu yang terkesan hangat. Wajah familiarnya membuat Nathaly mendengus tak sengaja, wajah  yang  tiga minggu ini ditemuinya setiap hari di dalam kelas. Ya siapa lagi kalau bukan guru pembimbingnya. Daniel.
            Wajah tegas yang entah mempunyai sihir apa, yang selalu membuat Nathaly memperhatikannya.
            Pria itu melangkah menuju tempat mengantri pie. Ia berbincang sejenak dengan pelayan yang tadi melayani Nathaly. Tawa miliknya mengalun pelan, memasuki telinga Nathaly dengan samar.
            Ia mengangguk terima kasih ketika selesai memesan. Kedua kakinya menuntunnya ke sudut ruangan yang bertolak dengan meja Nathaly. Ia duduk dan mulai focus dengan i-phonenya.
            Nathaly tersentak. “Duh Nath. What are you doing?” desisnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Menghilangkan semua gambar yang direkam oleh bola matanya sejak tadi.
            Entah kenapa, semua yang dilakukan oleh Daniel pasti menyita perhatiannya secara tiba-tiba. Seolah ada sihir yang menyuruh Nathaly untuk mengikuti setiap gerak yang diciptakan oleh Daniel.

****
           
            Daniel tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan oleh uncle James –begitu Daniel memanggilnya- pelayan kedai ini yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun.
            Ia menceritakan mengenai kejadian yang baru terjadi 30 menit sebelum Daniel datang. Pie-pie yang baru saja matang jatuh berserakan karena Seat menyandung lantai yang tingginya berbeda. Wajah pemuda itu seketika pucat mendapati apa yang baru saja terjadi. Ia cepat-cepat membersihkan pie-pie itu dan membuatkan yang baru sebelum pemilik kedai ini kembali.
            Uncle James terpingkal-pingkal menceritakannya. Seorang pemuda yang selalu mengoceh tentang pentingnya berhati-hati seperti Seat itu bisa jatuh dengan tidak elitnya hanya karena tidak melihat jalan.
            Daniel menimpalinya dengan tertawa pelan. Setelah mendengarkan cerita Uncle james, Daniel memesan beberapa pie. Malam ini George akan menginap di apartemennya. Menemani Karel yang merengek memintanya untuk datang.
            Setelah mengucapkan apa yang diinginkannya, Daniel melangkah menuju meja favoritnya. Meja di pojok kedai yang bertolak dengan pantry pie.
            Matanya menjelajah kedai. Rasanya dalam seminggu ini ia sudah kemari sebanyak 3 kali. Dan semua itu adalah ulah Karel yang menodongnya untuk membelikan pie linden.
            Daniel tidak habis pikir, mengapa putranya itu begitu menyukai manis. Padahal ia saja tidak terlalu suka dengan makanan manis. Daniel trauma, saat ia berumur 10 tahun, saat itu ia sangat senang memakan 4 batang coklat dalam sehari, giginya sakit. Ia menangis sepanjang malam karena tidak tahan dengan rasa sakit yang menyerang giginya.
            Satu rumah memarahinya. Terutama Papanya. Dan sejak itu Daniel mulai menjauhkan dan menghapus coklat dari daftar makanannya. Bukan hanya coklat, tetapi seluruh makanan manis yang ada. Karena ia tidak mau lagi kena marah Papanya hanya karena makanan manis
            Hanya pie dari kedai ini saja yang masih ia konsumsi. Rasa manisnya tidak terlalu pekat di lidah. Yang menurut Daniel sangat pas dengan lidahnya yang anti manis.
            Daniel duduk di mejanya, ia melihat ke arah pantry pie. Bermaksud menghirup aroma pie yang baru saja diangkat. Tetapi saat itu juga matanya melihat Nathaly yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Sedikit menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas. Dan memang benar gadis yang duduk di dekat pantry pie itu adalah Nathaly. Gadis yang  selama tiga minggu ini selalu merecokinya di dalam kelas.
            Yang selalu menatapnya tajam ketika ia tidak boleh dibantah.
            Gadis itu masih menggelengkan kepalanya. Ia juga memukul kepalanya pelan. Daniel hanya mengerutkan keningnya melihat tingkah gadis itu.
            Selesai dengan kegiatan menggelengkan kepalanya, gadis itu pelan-pelan mengangkat kepalanya dan mengedarkan obsidian miliknya ke seluruh ruangan dengan takut-takut.
            Obsidiannya menatapnya dengan intens selama sekian menit. Tetapi obsidian itu cepat-cepat berpaling ketika menyadari sang objek yang ditatapnya berbalik menatapnya.
            HAH.
            APA TADI?
            Nathaly menatapnya? Obsidian itu menatapnya? Menatapnya dengan tepat di sapphirenya? Yang benar saja.

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...