Selasa, 20 September 2011

maaf di balik rinai hujan

Suara gemuruh masih saling bersahutan. Bergantian menciptakan kilatan-kilatan seperti blitz kamera di atas sana. Awan hitam yang juga masih setia menghiasi langit. Menggantung gagah bak seorang raja. Menciptakan aura menyeramkan bagi yang sedang berada di luar rumah. Karena keadaan alam saat ini benar-benar terasa gelap.
            Runtuhan dari tumpuhan sang awan hitam jatuh dengan derasnya. Membasahi semua yang ada di muka bumi. Menjatuhkan para koloni airnya. Memenuhi selokan-selokan kecil di depan dan samping rumah penduduk. Menghasilkan genangan-genangan air yang berwarna cokelat di permukaan tanah.
            Di balik pohon yang berada di urutan kelima dari sebelah kanan. Di sebelah semak yang dedaunannya penuh dengan rintik air. Berdiri seorang lelaki dengan jas hujan lengkap dan payung besar yang ‘mengamankannya’ dari para koloni air. 
            Gurat lelah dan sedikit kelegaan terpeta di wajahnya yang keras itu. Hasil dari menempuh latihan bertahun-tahun sebagai seorang pembela abdi bangsa di bagian laut. Menjadi seorang Panglima Besar Angkatan Laut. Namun di balik wajahnya yang keras, sorot penuh kerinduan menguar jelas dari pancaran matanya.
            Sejak tiga puluh menit yang lalu. Sebelum hujan deras merayap turun. Saat masih gerimis kecil. Ia sudah berdiri di tempat itu. Memperhatikan sebuah rumah mungil yang berjarak 150 meter dari tempatnya berdiri. Rumah mungil yang penuh dengan mawar putih. Yang sampai saat ini selalu menjadi bunga kesukaannya.
            Aroma dari mawar-mawar yang mekar sempurna itu merasuk ke indra penciumannya melalui belaian angin. Yang membuat hatinya terasa hangat.
            Pupil mata dengan iris berwarna coklat khas orang Indonesia asli yang dimilikinya itu memancaran sebuah sorot penuh kerinduan kepada rumah mungil tersebut. Tepatnya kepada satu sosok objek yang tengah asik bermain dengan mobil mainan.
            Objek kecil berupa bocah berumur kira-kira lima tahun tersebut tidak lepas dari matanya. Berusaha memuaskan sang mata yang seakan-akan haus untuk melihat bocah itu. Celotehan-celotehan dari bibir mungilnya yang dibawa oleh angin sesekali merasuki indra pendengarannya.
            Suara riang khas anak-anak kecil yang sedang asik bermain itu menyusup masuk dengan seenaknya ke bagian hatinya yang berlebel ‘Rindu’. Saat suara itu masuk dan menyusup ke relung hatinya, ada sebagian hatinya yang terletak paling depan terasa  seperti tersayat beribu silet. Perih dan membuatnya ingin menjerit keras.
            Suara bocah itu yang selalu dirindukannya. Bocah yang memiliki paras yang benar-benar mirip dengan wajahnya saat berusia lima tahun. Wajah yang dipunyai oleh para  keturunan sang Wijaya Kusuma. Wajah penuh ketegasan dan penuh ambisi yang di miliki oleh semua keturunan laki-laki dari Wijaya Kusuma.
            Lelaki itu mengigit bibirnya menahan luapan rindu yang menggedor-gedor ingin menyeruak keluar. Perasaan rindu yang sudah di pendamnya  selama lima tahun. Sebuah waktu yang tidak pendek.
            Perasaan rindu ingin memeluk anak kandungnya sendiri. Ia mencengkram bagian depan jas hujan yang dikenakannya. Perasaan bersalah dan menyesal kembali membelenggu dirinya. Membuat saluran pernapasannya seperti di sumbat dengan sebongkah batu besar. Dadanya terasa sesak. Menghimpit dan sempit.
            Payung yang di pegangnya erat sejak tadi, perlahan  mengendur dan jatuh. Membuat para koloni air hujan dengan senang hati membasahi kepalanya. Hawa dingin dari derasnya hujan yang menusuk tulang tidak membuatnya hatinya kedinginan. Walaupun tubuhnya sendiri  berbohong, karena teah menggigil lebih dahulu.
            Perasaan rindu, kecewa, menyesal, bersalah dan semua perasaan yang menyiksa hati serta batinnya sekarang bertambah keras. Mengetuk keras setiap sudut hati. Dan seperti ada prajurit kurcaci-kurcaci kecil yang menusuk hatinya dengan tombak.
            Ia merosot terduduk. Air mata penyesalan menyeruak keluar dengan derasnya. Tidak ada isak tangis. Hanya air mata yang mengalir turun terus menerus yang bercampur dengan air hujan. Kepalanya menunduk dalam, menyembunyikan wajah penuh air mata. Wajah yang selama ini selalu penuh dengan ketegasan, kedisiplinan, dan tidak boleh di bantah kini hilang seketika karena perasan rindu yang amat dalam.
            Di tengah kesedihan yang dirasakan olehnya. Telinganya sayup-sayup mendengar suara teriakan dari seorang wanita. Kepalanya tersentak, dengan refleks cepat. Di tegakkan kembali kepalanya yang menunduk dalam tadi. Menyusut air matanya dengan punggung tangan.  
            Suara ini Suara yang sama dengan suara milik bunga hatinya. Suara yang lima tahun lalu selalu menyapa gendang telinganya kala pagi menjelang. Suara lembut yang tercipta dari bibir mungil sang bunga hatinya.          
            Suara lembut yang dapat mendinginkan suasana hatinya bila sedang kesal. Suara dari wanita yang memiliki wajah manis yang sangat pas di tangannya bila ia menangkup wajah wanita ini. Seolah memang sudah takdirnya bersama. Wajah wanita ini memang cocok dengannya.
            Hatinya tertohok ketika melihat pemandangan di depan rumah mungil itu. Wanita yang selalu hadir di setiap mimpinya. Wanita yang lima tahun lalu selalu ia rengkuh dengan sayang. Wanita yang selalu mengusap wajahnya dengan lembut ketika ia sedang kumat bergombal. 
            Kini berdiri di bawah naungan payung yang melindunginya dari air hujan. Dengan berbalut dress hijau tosca yang lembut. Paras manisnya masih sama dengan lima tahun yang lalu. Yang berbeda hanya perut wanita itu. Dulu perut wanita dengan selung pipit di kedua pipinya itu rata. Persis seperti model-model di majalah wanita.
            Kini perut itu membesar. Dengan penuh kelembutan, wanita itu mengelus sebuah tangan yang sedang melingkar dan mengelus perutnya. Senyum simpul terpeta di wajahnya.
            Wanita itu mendengus geli saat sosok lelaki yang sedang memeluknya mencium pipinya dengan lembut. Tangannya menepuk-nepuk tangan lelaki itu.
            “Karel ayo masuk sayang. Sudah main hujannya. Cepat masuk sama ayah.” Serunya. Suara wanita itu merasuk ke dalam indra pendengarannya. Lelaki yang mengintip melalui celah pohon makin mencengkram jas hujannya dengan kuat. 
            Sementara lelaki yang memeluk wanita itu, perlahan berjalan mendekati sang bocah yang kini asik bermain air. Lelaki itu mengangkat tubuh Karel. Menaikkannya tinggi lalu memutarnya. Karel sendiri tetawa senang, karena ‘diterbangkan’ oleh ayahnya.
            “Hei hei sudah. Ayo masuk.” Seru wanita itu lagi. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Menyorongkan sehelai handuk. Mereka bertiga masuk kedalam rumah mungil tersebut dengan derai tawa karena ulah Karel yang mencium perut bundanya dengan sayang. 
            Bima –nama lelaki yang bersembunyi di balik pohon— memejamkan matanya erat-erat. Cengkraman di jas hujannya masih kuat. Berusaha meredakan dentuman-dentuman keras dari dalam hatinya.   
            Seharusnya sekarang ia yang sedang memeluk wanita itu. Seharusnya ia menggendong Karel. Mengelus lembut perut buncit wanita itu. Mengecup sayang pipi sang wanita dan bocah itu. Seharusnya. Tapi lagi-lagi ia harus menelan bulat-bulat pikiran yang melintas di kepalanya.      
Ia tidak berhak untuk melakukan itu. Karena ia sendirilah yang telah membuang dua orang  itu. Melenyapkan kehadiran mereka berdua dari hidupnya saat lima tahun lalu.
            Seandainya saat itu ego tidak menguasai dirinya. Ia tidak akan meninggalkan wanita yang amat dicintainya seorang diri.
Seandainya hal yang telah dilakukannya itu tidak menghasilkan sebuah kenyataan menyakitkan ini, ia tidak akan meninggalkan mereka.
Seandainya bukan karena paksaan ayahnya.
Seandainya bukan karena penyakit ibunya.
Seandainya bukan karena pertunangan bodoh itu.
Sekarang ini ia pasti sedang duduk masih menanti hujan reda dengan keluarga kecilnya. Berbagi kehangatan satu sama lain.
            Tetapi sekali lagi. Segala sesuatu yang di awali dengan kata seandainya adahal sesuatu hal yang telah disesali. Dan penyeselan itu tidak pernah ada di awal. Ia hadir di saat seseorang berada dalam tahap benar-benar putus asa. Di saat seseorang memimpikan apa yang ia inginkan. 
            Dengan ego yang menyelubungi dirinya. Bima ‘membuang’ wanita itu dan calon anaknya hanya karena demi pertunangan bodoh yang  dibuat ibunya.
            Wanita yang sangat di cintainnya dan yang baru saja menjalankan  kehidupan pernikahan dengannya.
            Bima mengatur napasnya yang tiba-tiba berhamburan memburu. Menenangkan hatinya yang kalut dan takut. Di helanya napas keras-keras. Sebagai seorang lelaki ia tidak boleh jadi pengecut seperti ini. Lima tahun waktu yang sangat cukup untuknya menyiksa diri. Sekarang waktu yang tepat untuk meminta maaf  pada wanita itu.

****
            Dari dalam rumah mungil yang terasa hangat karena berasal dari api di perapian. Terdengar clotehan yang di selingi dengan suara bersin dari seorang  bocahberumur lima tahun. Ia duduk manis di hadapan ayahnya yang sedang mendongengkan sebuah cerita.
            Suara tepuk tangan tercipta dari tangan mungilnya saat sang ayah seleai bercerita. Lalu dengan penuh antusias ia akan meminta lagi pada ayahnya untuk menceritakan dongeng yang lain.
            Sedangkan sang ayah berpura-pura mengantuk dan tidur diatas pangkuannya. Dan Karel akan mengusap lembut rambut ayahnya. Yang membuat ibunya terkikik geli.
            Karel meletakkan kepala ayahnya diatas bantal. Lalu sambil merangkak ia menghapiri ibunya yang sedang duduk di kursi goyang. Ibunya sedang merajutkan syal untuknya.
            “Halo dedenya Kak Karel. Jangan nakal ya,” ia mengelus perut ibunya, mengajak bicara sang calon adik.
            Katya mengacak rambut putranya dan terkekeh geli. Putranya ini sepertinya akan menjadi seorang kakak yang baik dan sayang dengan sang adik.
            Suasana riuh yang dibuat Karel saat mengajak sang calon  adik mengobrol tiba-tiba henti karena suara ketukan di pintu depan. Siapa yang  hujan-hujan lebat begini bertamu ke rumahnya.
            Dengan semangat Karel berlari ke depan. Setelah sebelumnya menyuruh ibunya untuk duduk saja. Walaupun ia tidak terlalu mengerti, tetapi ketika melihat ibunya yang berdiri dengan susah payah, membuat Karel paham bahwa perut ibunya yang makin membesar itulah yang menyusahkan ibunya.
            Di bukanya pintu depan. Membuat rintikan hujan masuk ke dalam rumahnya. Ia mendongak melihat siapa yang bertamu ke rumahnya. Seketika wajahnya berubah menjadi sangat senang. Wajah orang yang berdiri di depannya ini sering ia lihat di salah satu foto yang menggantung di dinding kamarnya.
            Lantas Karel menjerit dan memeluk kaki orang itu. Tidak menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya lagi. Dan membuat orang  yang di peluk kaget seketika.
            “Papa!”
            Katya yang mendengar jeritan putranya langsung tersentak. Papa,batinnya. Mendadak sesuatu mengalir deras di aliran darahnya. Dengan pelan ia berdiri. Reyhan yang melihat istrinya mencoba berdiri, langsung bangun dan membantu perlahan.
            Katya tersenyum. Lalu dengan di tuntun suaminya, ia menghampiri Karel yang sedang memeluk seseorang.
            Wajah Katya tersentak melihat siapa tamu yang ada di depannya. Sama seperti Katya, wajah Bima pun ikut tersentak. Katya melempar senyum tipis.
            “Papa papa.” Seru Karel girang. Ia berlari ke ibunya dan membantu ayahnya menuntun sang ibu. Reyhan terkekeh.
            “Ayo masuk mas.” Ajak Katya.
            Dengan kikuk Bima masuk dan duduk. Ia masih bingung mengapa Karel memanggilnya papa. Dan bocah itu dengan manjanya bergelung di lengannya.
            “Ayo Karel nggak boleh begitu. Ikut ayah yuk bikin minum,” ajak ayahnya. Karel berlari ke dapur duluan. Meninggalkan ayahnya.
            “Mengobrol lah.” Ucap Reyhan. Ia tahu bila Bima dan Katya perlu berbicara. Pernah menjadi teman dekat bima, Reyhan hanya tahu dari sorot mata Bima.
            Suasana hening menyeliputi dua orang yang pernah saling mencintai itu. Walau sekarang nyatanya hanya sang lelaki lah yang masih mencintai wanita di hadapannya ini. Tetapi tidak untuk sang wanita, karena cintanya untuk lelaki yang merupakan ayah dari putranya ini sudah terkubur sejak Karel lahir.
Katya meremas kencang bantal yang ada di sebelahnya. Bima yang melihat itu hanya tersenyum miris. Sekarang saatnya.
            “Maafkan aku Katya. Maafkan kesalahan ku.” Ucapnnya lirih dan menatap tepat di manik mata Katya.
            Katya terhenyak. Ada ke sungguhan di sorot mata Bima. Seharusnya permintaan maaf ini terlontar lima tahun lalu. Ada bagian dari hati Katya yang sedikit tidak menerima.
            Tetapi cepat-cepat di tepisnya perasaan yang bergelanyut itu. Melihat wajah Bima yang penuh penyesalan dan keteguhan maaf. Katya mengulum senyum tipis.
            “Sudahlah. Itu sudah berlalu. Dan soal Karel, aku yang memberi tahunya bila Mas lah papanya.” Ujar Katya.
            “Semuanya sudah berlalu. Aku sudah tidak memikirkan itu lagi,lima tahun lalu kita sama-sama membuat sebuah kesalahan. Sekarang kita sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Dan Karel berhak tahu siapa papanya. Dan sekarang aku sudah bahagia dengan keuarga ku.” Lanjutnya.
            Bima mengatupkan bibirnya rapat. Ia tidak menyangka bila Katya dengan mudah memaafkannya. Dan secara tidak langsung pula, wanita ini menegaskan bahwa dirinya lah ayah dari Karel. Merasa tidak pantas menerima maaf yang terlalu mudah itu.
            Bima berlutut di depan Katya. Membuang semua harga dirinya untuk wanita yang telah di tinggalkannya ini.
            Dengan cepat Katya menahan Bima untuk tidak berlutut. Walaupun membuat perutnya sakt karena tertekan.”Bangunlah mas. Jangan seperti ini.” Ucap Katya tertahan ia mengigit bibirnya menahan sakit.
            Bima mengangkat wajahnya dan melihat Katya yang meringis kesakitan. “Maaf,” gumamnya.
            Reyhan yang baru keuar dari dapur cepat-cepat menghampiri Katya. “Bangunlah Bim. Jangan berlutut seperti itu.”  Kata Reyhan.
            Bima terhenyak saat melihat tangan mungil melingkar di lengannya dan berniat membantunya bangun. Wajah polos Karel terpampang di depannya. Ia bangun dan mengelus wajah Karel.
            Karel ikut menyentuh wajah papanya dengan takut-takut. “Kata Ibu.kalau ayah lagi sedih, ibu suka pegang pipi ayah seperti ini supaya sedihnya ayah hilang. Kalau papa sedih, Karel yang akan pegang pipi papa.” Seru Karel polos.
            Perasaan haru menyeruak di hati Bima. Di peluknya tubuh kecil Karel. Dihirupnya harum tubuh Karel. Diusapnya lembut rambut Karel. Dan ia menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Karel.
Dengan sayang. Karel mengusap-usap punggung papanya. Katya dan Reyhan tersenyum melihatnya.
“Maafkan papa Karel,” ucapnya lirih.          
Di tengah derasnya hujan. Di dalam rumah mungil itu. Perasaan menyesal, bersalah, kecewa, dan rindu menguar dari hati Bima. Dengan penuh terima kasih Bima ucapkan kepada Katya.  Hati wanita ini terlalu baik
Hujan di luar sana perlahan mereda. Mulai memunculkan awan putih dan langit biru cerah. Menguarkan aroma khas hujan melalui permukaan tanah.
Hujan kali ini bermakna untuk Bima. Penyesalannya selama lima tahun terbayar sudah dengan melihat wajah putranya. Karel membuatnya menerima kata maaf dari Katya dan Reyhan.
Hujan kali ini membuat hatinya yang selama lima tahun penuh dengan perasaan rindu dan dingin. Perlahan menghangat akan sentuhan Karel.
Bima bersyukur dengan hujan kali ini. Karena di balik rinainya yang lebat dan misterius. Tuhan memberikannya kata maaf melalui Katya. Memaafkan semua kesalahan fatal yang telah di buatnya lima tahun lalu.
Dan hatinya menghangat karena kata maaf dibalik rinai hujan dari wanita yang selalu memiliki tempat tersendiri di sudut hatinya.


seuntai 'nasihat'

            Langit masuk rumah tanpa mengucapkan salam. Wajahnya kusut. Gurat-gurat lelah terpeta jelas di wajahnya yang manis itu. Kepalanya menunduk. Masuk kedalam kamarnya dengan membanting pintu. Tidak mendengar teriakan mamanya yang memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu.
            Di hempaskannya begitu saja tubuhnya ke atas kasur. Tanpa memperdulikan seragam sekolahnya yang belum diganti. Saat ini yang di butuhkan hanya ketenangan. Sudah banyak hal menyebalkan yang ia lewatkan sepanjang hari ini di sekolah. 
            Langit menyembunyikan wajahnya di bawah  bantal. Napasnya tersengal menahan tangis. Dadanya sesak karena tidak ingin mengeluarkan air mata. Langit tidak mau menjadi seorang yang cengeng  hanya karena hal itu.
            Tetapi sepertinya air matanya itu tidak mau menuruti perintah otaknya. Dengan perlahan, satu persatu air matanya turun. Membentuk sungai kecil di kedua sudut matanya. Isakan yang cukup keras bergaung di dalam kamarnya yang bernuansa laut itu.
            Suasana tenang di dalam kamarnya itu membuat kepalanya memutar kembali hal paling menyakitkan yang pernah Langit alami selama ia sekolah. Karena hal itu, Langit semakin tersedu-sedu. Hidungnya kembang kempis karena tangisannya yang semakin keras.
            Tidak ingin bila suara tangisnya terdengar oleh orang rumah. Ia membekap mulutnya sendiri. Semakin menyembunyikan wajahnya di dalam bantal. Saat ini hatinya benar-benar sakit. Dan yang di butuhkannya adalah semoga pikiran-pikiran yang bercokol di dalam kepalanya cepat enyah dan tidak menyisakannya barang sedikit pun.

****
            Jupiter melangkah memasuki dapur. Sejak memasuki rumah tadi, hidungnya sudah mencium aroma masakan mamanya. Bibirnya terangkat keatas saat melihat masakan apa yang dibuat oleh mamanya.
            Untung saja ia pulang lebih cepat daripada biasanya. Kalau tidak, mungkin masakan yang ada diatas meja ini sudah habis di lahap adik perempuan satu-satunya itu. Bicara soal adiknya, kenapa sejak tadi ia tidak melihat keberadaan anak itu?
            Biasanya jam-jam seperti ini Langit ada di depan tv. Duduk santai sambil mengemil dan tentunya menonton tv. Atau berkutat di depan notebooknya dengan mimik wajah serius karena sedang membuat sebuah cerita.
             Jupiter melirik jam tangannya. Belum terlalu sore, tetapi kenapa anak itu tidak terlihat batang hidungnya? Dan juga ini hari Rabu, adiknya itu tidak ada jadwal private apapun. Merasa tidak mendapatkan keberadaan adiknya. Jupiter berjalan mendekati kulkas. Menuang satu gelas air putih dan meneguknya habis.
             Sambil membawa gelas minumnya, Jupiter menarik salah satu kursi dan duduk. Memperhatikan mamanya yang menata makanan. Ah iya, kenapa mamanya lebih cepat menyiapkan makanan. Bukan kah ini belum masuk jam makan malam.
            “Langit mana ma?” tanya Jupiter.
            Seraya menata piring diatas meja, beliau menjawab. “Dari pulang sekolah tadi nggak keluar kamar. Kamu lihat gih sana. Dia juga belum makan.”
            Jupiter mengernyit bingung, nggak keluar kamar. Memang apa yang sedang dikerjakan oleh anak itu? Batinnya bertanya-tanya.
            “Oke.” Jawabnya.
            “Ah iya kak. Nanti mama sama papa mau pergi ke acara teman papa. Kamu tolong antarin rantangan ke rumah nenek ya. Mama sudah siapin di dapur,”
            Jupiter mengangguk mengerti, di sampirkan tasnya di pundak kanan. Dan ia melangkah menuju kamar. Ganti baju dulu baru melihat Langit, pikirnya.

****
            Jupiter mengetuk pintu kamar dengan hiasan batuan di setiap ujungnya itu. Pintu kamar yang di hias sendiri oleh Langit. Cukup lama ia mengetuk, tetapi tidak juga di bukakan oleh sang empunya kamar.
            “Langit.” Panggilnya. Hening, tidak ada suara hanya ada desau angin yang membelai indra pendengarannya. Tidak ada jawaban dari dalam. Sekali lagi ia mengetuk dan memanggil. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam.
            Dengan berinisiatif, Jupiter menarik handel pintu. Terkunci.
            Ketukan yang tercipta dari kepalan tangannya perlahan mulai menaikan temponya. Lebih nyaring daripada ketukan sebelumnya.  Tetapi tetap sama saja tidak ada satu pun panggilannya yang di jawab oleh Langit.
            Sebenarnya apa yang sedang  dilakukan anak itu? Apa ia tertidur? Tapi tidak mungkin. Kalau pun ia tertidur, adiknya itu pasti akan segera membuka pintu dan memasang wajah galak karena acara tidurnya terganggu dengan suara ketukan dari Jupiter yang cukup ‘brutal’.
            Merasa tidak mendapatkan hasil apapun. Jupiter berbalik. Berjalan menuju dapur dan mengambil rantangan yang sudah disiapkan oleh mamanya. Lebih baik ia pergi mengantarkan makanan ini ke rumah neneknya lebih dahulu. Mungkin bila nanti ia kembali ke rumah. Langit sudah keluar kamar.
            Hanya  satu yang ada di pikiran Jupiter. Karena belum dimasuki sesuap nasi sejak siang tadi, ia jadi khawatir kalau-kalau penyakit maag adik kesayangannya itu akan kambuh.

****
            Langit mengangkat kepalanya yang terasa berat. Kepalanya seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Perutnya juga mulai berbunyi meminta makan. Matanya terasa menempel. Jejak-jejak bekas air matanya masih ada. Terpeta jelas.
            Di dongakkan kepalanya. Melihat kearah jam dinding. Jam delapan malam. Pantas saja langit di luar sana sudah gelap.
            Dengan menyeret kakinya, Langit turun dari atas tempat tidur. Mengambil handuk dan peralatan mandinya. Ia membuka pintu dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di dapur. Rumahnya sepi. Sepertinya tidak ada orang. Mungkin kakaknya belum pulang kuliah. Begitu pikirnya.
            Selesai mandi, Langit di kejutkan dengan kehadiran kakaknya yang duduk dan menatapnya tajam. Tanpa memperdulikan kakaknya. Langit melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda itu.
            Jupiter menggeram kesal. Apa-apan sih anak satu ini? 
            “Langit duduk!” katanya tegas.
            Langit tertegun mendengar nada tegas di ucapan kakaknya itu. Jarang sekali kakaknya mengeluarkan nada tegas seperti itu. Tidak mau mendapatkan omelan yang lebih kejam daripada ini. Ia menurut. Duduk di salah satu sofa di ruang tengah.
            Jupiter berdiri. Membawa sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauknya dan segelas susu. Menaruhnya didepan Langit.   
            “Makan.” Suruhnya. Dengan bersungut-sungut Langit mengambil susu dan meneguknya. Lalu mulai menyuapkan sesendok nasi. Mengisi perutnya yang  berdemo meminta makan.
            “Kenapa nggak keluar kamar dari pulang sekolah?” Jupiter memulai bertanya. Menelan kunyahan yang masih ada, Langit hanya menggeleng saja.
            “Jawab!” serunya galak.
Langit cemberut. “Ngantuk,” jawabnya pendek.
Jupiter menggerutu kesal. Jawaban macam apa itu. Sementara menunggu adiknya menyelesaikan makan. Ia memperhatikan dengan seksama wajah adiknya. Bekas air mata masih terihat jelas di wajahnya. Apa yang membuat adiknya itu menangis? Atau mungkin, siapa yang membuatnya menangis?
Pertanyaan itu berputar di dalam kepalanya. Menanti jawaban dari Langit.
Sambil menyuapkan nasi, Langit melirik kakaknya yang masih menatanya intens. Tatapan yang menunggunya berbicara. Setelah meneguk habis susunya. Ia memandang kakaknya. Sorot matanya menantang.
Jupiter mendelik kesal. Apa-apaan itu? Kenapa sorot mata Langit menantang seperti itu sih?
“Sejak kapan tidur sambil menangis seperti itu?” kata Jupiter sambil menunjuk mata Langit yang sembab.
Langit tersentak kaget. Apa bekas jejak air matanya masih terlihat? Di usap wajahnya dengan brutal. Berusaha menghilangkan bekas jejak air matanya.
“Nggak usah begitu. Kakak masih lihat bekasnnya. Ada apa?” tanyanya lembut. Iris matanya yang sejak tadi memancarkan sinar galak dan tegas itu perlahan mulai berubah menjadi tenang dan lembut.
Sekali lagi Langit hanya menggeleng. Kembali menyelesaikan makannya yang tertunda dalam diam.
“Kalau nggak sanggup nampung sendiri. Jangan di paksa kan. Kakak siap dengerin kamu cerita.” Pesannya. Ia berdiri, bermaksud kembali ke kamarnya.
Langit tertegun. Apa sebaiknya ia menceritakan masalahnya itu kepada kakaknya. Ia juga tidak yakin bisa menyimpannya sendiri. Selalu ada rasa sesak yang memenuhi hatinya bila ia memendamnya sendiri.
“Kak…” panggilnya. Jupiter berhenti. Memandang adiknya yang sedang menunduk. Sepertinya memang ada yang di sembunyikan oleh adiknya itu.
“Apa semua cerita yang aku buat itu jelek?” tanyanya dengan gumaman lirih.
Jupiter mengerutkan keningnya. Pertanyaan macam apa itu? Ia kembali melangkah dan duduk di dekat adiknya.
“Sebuah cerita yang dibuat dengan kesungguhan hati tidak ada yang jelek. Ada apa?”   
Masih dengan menundukkan kepalanya, Langit kembali bergumam. Terdengar parau dan putus asa.
“Kata mereka semua. Cerita-ceritaku tidak bermutu.”
Kerutan di keningnnya makin bertambah. Ada yang berbeda dengan sosok gadis di sebelahnya ini. Gadis yang dulunya selalu menangis bila tidak ditemani tidur. Sekarang mulai beranjak dewasa. Dengan iris mata yang sama dengannya. Rambut hitam sepanjang pinggang. Pipi chubby yang sering menjadi sasaran cubitannya. Serta sifatnya yang tidak lagi kekanak-kanakan. Walau terkadang sifat itu juga sering kambuh. 
Jupiter menepuk pelan kepala Langit. Tanpa memandang adiknya ia mulai berkata. “Dengan alasan apa mereka berkata seperti itu? Menurut ku semua cerita yang kamu buat itu bagus,”
Langit menghela napas, mengangkat kepala dan menatap wajah kakaknya. “Mereka selalu berkomentar sinis tentang cerita-cerita buatan ku. Membandingkan dengan cerita orang lain.”
“Bukan kah tu bisa menjadi motivasi untuk mu?” tanya Jupiter.
“Tetapi aku lelah kak. Aku lelah mendengar semua celaan mereka. Seperti tidak di hargai. Mereka menghina dan mengejeknya. Hati ku sakit menerimanya.” Ucap Langit lirih. Ia kembali menundukkan kepala.
Jupiter tersenyum. “Dengar, seseorang bisa mendengar, tetapi belum tentu bisa menjadi pendengar yang baik. Mereka bisa memberi saran, tetapi tidak semua dari mereka adalah pemberi saran yang baik,”
“Tapi aku hanya ingin mendengar komentar mereka mengenai cerita-ceritaku. Bukan mendengar hinaan mereka!” kata Langit hampir berteriak. Emosinya bergejolak. Jujur saja ia bukan seorang yang pintar untuk mengendalikan emosinya. Sewaktu-waktu emosinya itu akan meledak ketika seseorang menginjak ’rudal’nya. Dan salah satunya adalah untuk mereka-mereka yang senang menghina hasil tulisannya.
Langit tahu. Tidak semua cerita yang dibuatnya mendapatkan sebuah komentar yang bagus. Terkadang dari mereka juga memberikan komentar-komentar yang bermaksud untuk memberi tahu Langit sesuatu yang salah dalam tulisannya. Tetapi masih dalam konteks yang baik.
Namun hari ini berbeda. Sebuah cerita yang baru selesai di buat oleh Langit dengan mengorbankan waktu istirahatnya. Dengan menulisnya sepenuh hati. Mengikuti kata hatinya. Merangkai kata-kata agar menghasilkan sebuah pharagrap yang apik dan mudah di mengerti malah mendapatkan komentar-komentar pedas yang langsung meruntuhkan semangat menulisnya.
Menghilangkan semua ide-ide yang dimilikinya. Menghapuskannya begitu saja dari dalam kepala. Menghasilkan sebuah sayatan di hatinya. Ia tidak menyangka bila cerita yang akan di ikutkan dalam sebuah lomba menulis itu mendapatkan komentar pedas dari teman-temannya sendiri.
Mereka berkomentar sesuka hati tanpa memberi tahu dimana kesalahannya. Tubuh Langit seperti tersengat listrik. Ternyata anggapannya selama ini salah. Salah bahwa semua komentar dari teman-temannya itu selalu baik. Hanya dalam sekejap mereka meruntuhkan tembok kepercayaan diri Langit. Membuatnya hancur berkeping-keping dan terbang bersamaan dengan belaian angin.
Jupiter menggelengkan kepalanya. Ternyata hal ini yang membuat adiknya mengurung diri di kamar seharian.
“Kamu mau mendengar cerita tentang teman kakak?” tanyanya. Langit merengut, menggembungkan pipinya tanda protes. Kenapa kakaknya malah ingin mendongeng.
Mengacuhkan wajah Langit yang cemberut. Jupiter memulai ceritanya.
“Kakak punya seorang teman. Ia sering memberi kakak sebuah lukisan. Ia bukan seorang pelukis terkenal. Tetapi dari hasil lukisannya itu kakak tahu kalau ia seorang yang berbakat. Ia pernah merasa minder dan menganggap kalau lukisan yang dibuatnya itu jelek. Tidak bagus dan indah.
Berhari-hari ia jatuh dalam sebuah keterpurukan dengan satu alasan konyol itu. Tidak mau melukis lagi dan menyimpan semua peralatan lukisnya. Menekuk wajahnya setiap hari saat turun sekolah. Tidak bersemangat dan menjadi lesu. Lalu beberapa hari kemudian ia menceritakan semuanya kepada kakak. Ia memberi tahu semuanya.” Cerita Jupiter. Langit mendengarkan dengan seksama.
“Lalu?” serbunya.
“Dan kamu tahu apa yang dia katakan?”
Langit menggeleng.
“Ia berkata kalau semua lukisannya yang ia buat selama ini pernah mendapatkan satu komentar yang pedas. Membuatnya langsung merasa tidak percaya diri. Sama halnya seperti tulisan mu. Dan kamu tahu, ia berkata kepada kakak bahwa ia salah. Ia salah menelantarkan alat lukisnya. Ia salah telah menyia-nyiakan kesempatan. Ia salah telah melewatkan berbagai macam pemandangan bagus. Ya ia tahu bahwa ia salah.
Dan sejak saat itu. Ia tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Karena ia percaya, untuk apa menjadi seseorang yang lemah hanya karena satu komentar pedas. Tidak berguna. Begitu katanya. Dan kamu tahu, teman kakak itu selalu percaya dengan hasil lukisannya. Ia percaya bahwa semua lukisan yang dibuat dengan sepenuh hati pasti akan membuahkan sebuah lukisan yang indah.” Jupiter mengakhiri ceritanya.
Langit terdiam. Mencerna semua cerita kakaknya. Ada banyak pesan dari cerita itu. Seakan habis terkena lemparan batu. Hati Langit tertohok. Harus di akui bahwa yang diucapkan kakaknya itu benar adanya.
“Percaya lah de, sebuah tulisan yang dibuat dengan ketulusan hati dan cinta akan membuahkan hasil yang baik. Karena tanpa cinta, tulisan yang kamu buat tidak akan berarti apa-apa. Hanya sebuah kumpulan kata-kata saja.”
Langit diam, tidak berani berkata-kata. Ia sendiri merasa malu. Malu karena dengan mudahnya menjadi seseorang yang pesimis. Padahal selain teman-teman di sekolahnya, ia masih mempunyai banyak teman diluar sana. Teman-teman yang mempunyai satu kesamaan dengannya. Yaitu sama-sama senang menulis.
Teman-teman yang selalu memberinya sebuah kritikan tajam tetapi membangun. Memberi saran yang terkadang dapat menaikkan mood menulisnya. Dan mereka tidak meremehkan hasil karya tulisnya, karena mereka juga berada di dunia yang sama dengan Langit. Dunia menulis yang membuatnya mengenal berbagai macam karya tulis oranh lain. Membuatnya bisa lebih mengenal dan dekat dengan penulis yang di kaguminya. 
Merasa belum cukup mengoceh, mulut Jupiter kembali bekerja. “Jujur saja ya, kakak selalu iri dengan apa yang ada didalam kepala mu itu,”
Langit mendongakkan kepalanya dengan satu hentakan dan menatap kakaknya dengan mata yang membulat. Mulutnya menganga.
“Kenapa?”
“Karena di dalam kepala mu itu banyak sekali ide-ide kreatif. Kamu tidak pernah kehabisan ide untuk membuat tulisan baru. Kamu selalu menceritakan semuanya ke dalam tulisan-tulisan mu. Merangkainya menjadi sebuah cerita.” Aku Jupiter.
Langit terharu. Ia memeluk kakaknya sayang. Jupiter hanya menepuk kepala Langit melihat tingkahnya itu.
“Percaya lah. Jangan pernah berhenti untuk menulis dan membuat cerita hanya karena komentar-komentar pedas teman-teman mu. Karena bila kamu sekali saja melepasnya, maka sebuah cita-cita yang sudah terancang di kepalamu itu akan  menghilang tanpa jejak.”  Seru  Jupiter.
Langit mengangguk mengerti. Tidak salah kalau ia menceritakan hal ini kepada kakaknya. 
Jupiter berdiri. Menegakkan badannya, menaikkan kedua tangannya keatas. Merenggangkan otot-ototnya.
Memegang kedua pipi Langit lalu menyubitnya. Langit meringis sakit. Sementara  Jupiter menyengir lebar. “Jangan terlalu dipikirkan. Yang menilai hasil tulisan mu bukan hanya mereka. Jangan terpaku hanya karena satu hal yang mengganjal jalan mu. Tetapi masih banyak orang diluar sana dan Tuhan yang menilai tulisan mu. Keep doing something good eventhougth other people appreciate it as an unspesial thing.”
Selesai berkata seperti itu, Jupiter kembali ke kamarnya. Meninggalkan Langit yang terdiam mencerna ucapannya. Mengerti maksud kakaknya. Langit tersenyum lebar. Sekarang hatinya tidak lagi sakit.
“Makasih banyak ya kak!” teriak Langit. Ia berdiri dan melangkah ke dapur. Mencuci piring dan  gelas bekas makannya tadi.
Jupiter tersenyum. Tidak menyangka kalau ternyata ia bisa memberi sedikit nasihat untuk adiknya itu.
Benar. Jangan pernah terpaku hanya karena sebuah hal yang dapat mengganjal jalan menuju cita-cita. Tetap percaya dengan apa yang sedang di kerjakan karena dengan sebuah ketulusan hati dan cinta. Baik sebuah lukisan atau karya tulis, hasil yang di dapat akan baik.
Keep doing something good eventhougth other people appreciate it as an unspesial thing. 

Senin, 19 September 2011

surat untuk Kazuto Oniisan

Dear Kazuto-san
Hai Kazuto Oniisan lama tak bertemu ya? Bagaimana kabar mu? Tentu baik-baik saja bukan. Bagaimana suasana di Amerika sana? Apa kau tak merindukan Tokyo? Kami semua merindukan mu asal kau tahu saja. Terutama aku, aku merindukan mu niisan. Aku merindukan saat kau asik dengan kamera mu itu.
Kau sehat kan? Aku selau mendoakanmu dari sini. Tampang mu sekarang bagaimana ya? Apakah wajah mu sekarang menjadi tambah tampan? *ups aku baru saja mengakui kalau kau itu tampan -_-*
Ah niisan, tidak ada kau disini terasa begitu sepi. Tidak ada yang membantuku untuk mencuci piring haha. Kau sibuk sekali ya disana? Jarang sekali kau membalas email dari ku. Huh biarpun kau jauh disana, kau tetap menyebalkan ternyata. Tapi aku merindukan mu Niisan. Kalau kau punya waktu untuk berlibur, berkunjunglah kemari. Apa kau tidak merindukan adik mu ini?
Sebenarnya aku mulai merasa kesal untuk mengirim kepada mu email karena kau jarang membalasnya. Maka dari itu aku mengirimi mu surat saja agar kau puas membacanya.
Aku hanya ingin ucapankan terima kasih untuk mu Kazuto Oniisan. Terima kasih yang sangat banyak karena kau telah memberikan sedikit ilmu mu untuk ku. Ilmu mengambil foto yang keren itu sanagt berguna untuk ku. Ternyata kau benar, memotret itu tidak harus dengan satu objek saja. Dan semua inspirasi itu ada disekitar kita. Terima kasih banyak ya Niisan
Ah iya, kau tahu aku masih menyimpan foto dari mu itu. Indah sekali. Apa nanti bila kau kembali kemari, kau mau melukiskan para bintang itu untuk ku? Seperti yang kau lakukan untuk Keiko Oneesan? Aku harap kau bersedia.
Apa lagi ya? Oh iya aku ingat. Aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi. Terima kasih karena kau telah mengajarkan kepada ku untuk tidak takut terhadap gelap. Ucapan mu yang waktu itu kubuat untuk jimat disaat aku diserang rasa takut akan gelap. Dan sekali lagi aku harus mengakui bahwa ucapan mu yang waktu itu benar. Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bis dilihatsewaktu gelap? Ah kata-kata itu tersimpan aman di otak ku. Tenang saja.
Dan sejak saat itu, aku tidak pernah takut akan gelap lagi. Karena aku percaya akan ucapan mu bahwa banyak sekali hal-hal indah yang bisa dilihat hanya sewaktu gelap. Terima kasih banyak Niisan. Aku jadi semakin merindukan mu.
Terlalu banyak ucapan terima kasih yang ingin kuucapkan untuk mu. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih untuk pelajaran singkat mengenai dunia fotografi. Terima kasih untuk jimat sakti mu. Terima kasih untuk saran-saran dari mu. Terima kasih karena kau telah merubah cara pandang ku mengenai kehidupan. Terima kasih karena kau telah mengajarkan kepada ku bagaimana cara ‘melihat’seseorang secara lebih jelas. Kau benar, aku tidak boleh selalu terpaku dengan masa lalu karena jalan hidup ku masih panjang dan masih banyak hal yang ingin kuraih.
Kazuto Oniisan dengarkan ini. Aku akan selalu melihat mu secara jelas dan kau jangan takut bila aku melupakan itu. Karena sekali lagi. Aku akan selalu melihat mu ingat itu ya Niisan.
Aku merindukan mu. Sangat merindukan mu. Cepatlah kau mengambil cuti dan berlibur kemari, aku menunggu mu. Satu lagi dan kau jangan besar kepala. Aku selalu mengagumi sosok mu dengan cara ku tersendiri. Aku menyayangi mu sebagai seorang kakak yang sangat baik. Sosok kakak yang selalu aku impikan. Sekali lagi terima kasih banyak Kazuto Oniisan.

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...