Selasa, 31 Desember 2013

Miracles in December



            Anna paling benci ketika ada yang mengganggu jam tidurnya.  Apalagi bila orang itu tahu bahwa semalam ia tidur terlalu larut, tidak , itu lebih dari larut malam, hampir menjelang pagi tepatnya.
            Menggeliat pelan dan menggerutu, Anna menyingkirkan selimut yang membungkus dirinya.  Tangannya bergerak mengambil ikat rambut di bawah bantal, lalu mengikat rambut sebahunya secara asal.
            Matanya melirik jam weker di atas meja di sisi kiri tempat tidurnya.
            06.30 WITA.
            Ya Tuhan.
            Yang membangunkannya ini benar-benar tidak punya hati.  Anna baru tidur selama 5 jam karena harus menyelesaikan tugas Statistik Bisnisnya mengenai Korelasi dan Regresi.  Dan sekarang ia dipaksa untuk bangun.
            Ini hari libur pertamanya setelah diberi jatah libur selama tujuh hari untuk merayakan pergantian tahun.
            Seraya mendecak sebal, Anna menyeret langkah kakinya menuju jendela. Menyibak korden dan membuka jendela.  Tidak mempedulikan seseorang yang mengetuk pintunya sejak tadi.
            Erangan sebal itu semakin menjadi ketika mendapati di luar sana sedang turun hujan.  Anna kembali menutup jendelanya saat rintikan hujan itu masuk ke dalam kamarnya.  Intensitas hujan pagi ini cukup tinggi.
            Tsk.
            Tiap akhir tahun Samarinda harus hujan gitu, nyebelin banget, gerutunya sebal.
            “Ann, kamu sudah bangun kan? Cepat buka pintunya.  Aku butuh bantuan mu.”  Suara seseorang di balik pintu kamarnya itu terdengar tidak sabar.  Suara kakak laki-lakinya, Raka.
            “Apa sih Kak? Ganggu orang tidur aja tahu nggak.” Sembur Anna seraya menjeblak pintu kamarnya.
            Di depan pintu kamarnya Raka berdiri dengan balutan t-shirt biru, jaket dan celana jeans.  Tampak rapi.  Siap untuk bepergian ke suatu tempat.  Seulas senyum lebar Raka berikan untuk adik perempuannya itu.  Wajah kusut Anna, dengan lingkaran hitam dikedua matanya dan hidungnya yang nampak memerah membuat Anna begitu terlihat tidak sehat.
            “Temani ke pasar.  Ibu menyuruh membeli bahan bakar-bakar buat nanti malam.  Sekalian beli bahan-bahan masakan buat nyambut keluarga Om Bagas.” jelas Raka.
            Anna mengusap wajah lelahnya.  Ia menatap kakaknya dengan mata sayu, “Tidak bisa pergi dengan Darrel saja? Aku baru tidur jam setengah tiga tadi.”
            Raka menggeleng dengan raut wajah menyesal, “Darrel pergi dengan Ayah ke Balikpapan jam setengah enam tadi.  Menjemput Yangti dan Yangkung.”
            “Dengan Ibu saja kenapa sih?”
            “Ibu membuat bumbunya Ann.  Cuma kita berdua yang bisa diminta bantuan.”
            “Kakak pergi sendiri aja sana.  Aku masih ngantuk.”
            Raka melotot tak terima, dipegangnya tangan Anna dengan mata memelas. “Ayolah temani kakak.  Masa iya kakak ke pasar sendiri? kakak nggak hapal tempat-tempatnya dimana aja.”
            Anna mendecak sebal, “Nggak usah bohong.  Siapa yang tiap Minggu nemani Ibu ke pasar?  Anna lebih nggak tahu lagi, kak.  Sudah tiga tahun juga nggak ke pasar yang ada di sini.”
            “Oh yeah? Kamu juga nggak usah bohong.  Siapa di antara kita bertiga yang daya ingatnya paling kuat?  Kamu juga bakal tahu kalau nanti sudah di kasih tahu sama Ibu.  Bukannya kamu salah satu kepala preman di Pasar Segiri.”  ejek Raka.
            “Sialan.”  Dengan gerak cepat, Anna melayangkan jitakan sayang ke kepala kakaknya itu.
            Raka mendesis sakit, matanya menatap Anna galak.  Yang ditatap malah balik menatapnya tajam.
            “Ayolah temani.  Traktir ice cream sebaskom deh.  Masa iya kamu nggak mau nyiapin masakan untuk Al?  Sudah empat tahun nggak ketemu dia loh, Ann.  Nggak kangen? Kakak aja kangen.”
            Rona merah itu menjalar cepat di kedua pipi Anna.  Tanpa sadar Anna menunduk malu mendengar nama seseorang yang baru dilontarkan oleh kakaknya itu.
            Raka tertawa jahil melihat adiknya yang merona.  Mendorong bahu Anna pelan, Raka menyuruh adiknya itu untuk mandi dan bersiap.
            Tanpa protes seperti sebelumnya, Anna melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi dengan isi kepalanya yang mulai berhamburan mengenang masa-masa indahnya bersama Al sebelum pemuda itu pergi meninggalkannya tanpa sebuah kata perpisahan.

****

            Anna baru saja sampai di rumahnya saat melihat banyak mobil terparkir di depan rumah Al.  Setelah menaruh motor maticnya, Anna bergegas cepat menuju rumah sahabatnya itu.
            Banyak orang-orang dari jasa pengiriman barang yang keluar masuk rumah Al seraya mengangkut berbagai macam barang.  Anna masuk ke dalam rumah Al tanpa mengucapkan salam.
            Banyak sekali pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat melihat keadaan rumah Al.
            Bukankah kemarin ia masih menyanyi dengan heboh ditemani petikan gitar Al di teras rumah ini.  Dan sekarang mereka sudah mengepak seluruh barang di dalam rumah dan membawanya ke dalam mobil pengangkut.
            Apakah mereka akan pindah?
            Al tidak ada sama sekali memberitahunya.  Sahabatnya itu tenang-tenang saja seperti tidak ada kabar jelek yang akan di sampaikan.
            “Al.”
            Suara Anna menggema di dalam rumah Al yang mulai kosong.  Memanggil nama sahabatnya itu untuk meminta penjelasan.
            Bila Al dan keluarganya akan pindah, berarti pemuda itu melanggar janji yang telah dibuatnya bulan lalu.
            Hei, ini tidak lucu.  Dua hari lagi akhir tahun.  Dan Al sudah berjanji akan menemani Anna menyaksikan malam pergantian tahun di Tepian.  Menonton pesta kembang api dan festival kapal lampion di Sungai Mahakam.
            “Al.” sekali lagi Anna memanggil sahabatnya itu.
            Dari Lantai dua, Ibu Al melangkah turun ditemani oleh Ayah Al.  Sepasang suami istri itu menatap Anna dengan wajah sedih dan menyesal.
            Tante Ery langsung memeluk Anna dan terisak di bahu gadis itu.  Bibirnya membisikkan kata-kata maaf kepada Anna.
            Anna menatap Ayah Al meminta pertolongan untuk menjelaskan apa yang terjadi dengan Ibu Al.  Tetapi Ayah Al hanya menggelengkan kepalanya pelan.
            “Ann, maaf kami harus pindah hari ini.  Maaf tidak memberitahu mu.” Isakan itu terdengar lirih dan sarat akan rasa sesal.
            Anna mendorong pundak Ibu Al dan menatapnya bingung.  “Apa maksud, Mama?  Anna tidak mengerti.”
            Bersahabat sejak kecil membuat Anna terbiasa memanggi Ibu Al dengan sebutan Mama.
            “Maaf Anna.  Kami sekeluarga harus pindah ke Bali hari ini.  Kantor Ayah Al membutuhkan beliau besok.”
            “Tapi tidak harus semuanya kan, Ma?  Al sudah berjanji dengan ku malam tahun baru nanti.”
            Ibu Al menggeleng pelan sebagai jawabannya.
            Anna menatapnya tidak percaya.  Bohong.  Pasti bohong.  Al pasti tidak akan melanggar janjinya.  Sahabatnya itu tidak mungkin membuatnya sedih dan kecewa.
            Pasti Al akan tinggal dan dititipkan di rumahnya.
            “Al.” Anna berteriak memanggil sahabatnya itu.
            Kakinya melangkah cepat menaiki tangga menuju Lantai dua dimana kamar Al berada.
            Tangannya mengetuk pintu kamar Al dengan tidak sabar.  Air mata mengalir deras membasahi wajah kecewanya.
            “Al buka pintunya.  Hiks.  Al.”
            Anna menggedor pintu kamar Al, menanti sahabatnya itu membukakan pintu dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Tante Ery itu adalah hal bohong.
            Di dalam kamar, Al mengigit bibirnya tanpa sadar.  Ia meringkuk seraya menyembunyikan wajah penuh air mata di lututnya.  Dadanya terasa sesak mendengar suara isak tangis Anna.
            Selama tujuh belas tahun ini mereka berdua tidak pernah terpisah.  Selalu bersama dan tidak pernah saling meninggalkan satu sama lain.  Tumbuh besar bersama.  Menjalani masa-masa kecil bersama.  Menuntut ilmu di tempat yang sama dan masih banyak hal yang mereka lakukan bersama.
            Ia tidak mau membuat gadis itu semakin kecewa dan sedih karena hal ini.
            Ia tahu bahwa ia tidak bisa menepati janji yang telah dibuatnya bulan lalu kepada Anna.  Ia juga tahu bahwa ia telah menyembunyikan sebuah hal yang buruk kepada Anna.
            Ia sengaja menyembunyikan hal ini semalam dari Anna.  Ia tidak mau membuat sahabat perempuannya itu merasa sedih di tengah rasa bahagianya karena berhasil menyabet juara pertama untuk lomba Matematika Nasional.
            Al ingin berlari membuka pintu kamarnya dan membawa Anna ke dalam pelukannya.  Menenangkan gadis itu seperti biasanya ketika ia tengah menangis.
            Tetapi saat ini Al tidak bisa.
            Ia tidak ingin menambah rasa sedih Anna semakin bertambah besar.
            Ia tidak sanggup melihat air mata Anna untuk hari terakhirnya dapat melihat gadis itu.
            Merkurius Alfandy tidak akan pernah sanggup melihat gadis yang dicintai dan disayangi menangis karena dirinya.
            Ia tidak akan pernah sanggup melihat Anna Karenina menangis.

****

            Kenangan pahit empat tahun itu menyeruak keluar dari memori otak Anna saat mata gadis itu menatap lama ke arah rumah yang berada di seberang rumahnya.
            Rumah berlantai dua dengan halaman luas berisikan berbagai macam bunga.  Satu-satunya rumah di komplek perumahan Anna yang memiliki kolam renang besar.
            Al, bisik Anna penuh rindu.
            Rumah itu menyimpan banyak kenangan tersendiri untuk Anna.  Masa kecilnya banyak dihabiskan di rumah itu.  Kenangan manis dan pahit banyak terukir di dalam rumah itu.
            Berbagi rasa dan segala hal Anna lakukan di rumah itu.
            Satu-satunya anak laki-laki pemilik rumah itu telah berhasil merebut hati Anna sejak lama.  Dan anak laki-laki itu juga telah berhasil menorehkan satu luka dalam di hati Anna.  Kekecewaan dan kesedihan.
            Anna mengalihkan pandanganya.  Rasa kecewa dan sedih itu langsung menyergap hatinya setiap ia menatap rumah Al.
           “Ann, ingati loh apa aja yang disuruh sama Ibu.  Jangan lupa.  Kakak malas bolak balik ke pasar.” pesan Raka.
            Anna mengerucutkan bibirnya, jengkel.
            Dasar kakaknya ini tidak tahu diri.  Setelah memaksanya untuk ikut ke pasar.  Sekarang menyuruhnya untuk mengingat-ingat apa saja yang harus dibeli.
            “Iya, cerewet.  Sudah cepat jalan.  Keburu jalanan macet.”
            Hujan deras di pagi hari.  Ditambah harus keluar rumah dengan mobil.  Lalu bertemu banjir dan macet.  Empat hal yang paling Anna hindari di dalam hidupnya.  Ia sangat tidak suka bila keempat hal itu sudah terjadi di dalam satu hari.
            Menyebalkan.
            Seandainya Darrel tidak ikut Ayah ke Balikpapan untuk menjemput Yangkung dan Yangti-nya.  Saat ini Anna pasti masih merasakan empuknya tempat tidur.
            Anna menyenderkan kepalanya.  Matanya terpejam seraya mendengarkan lagu milik EXO – Miracles in December.
            Satu senyum sedih terulas di bibirnya mendengar intro lagu itu.  Ia sudah mencari arti lagu itu.  Dan saat ini lirik pertama dari lagu itu menohok hatinya.
~
I’m trying hard, to look for the you that can’t be seen.
I’m trying hard, to listen for the you that can’t be heard.
I’m seeing things I did not see before,
I’m hearing things I did not hear before.
After you left me, it became a strength to me that I never had before.

****
           
            Anna tidak berhenti menggerutu saat mendengar suara petasan yang dinyalakan oleh Darrel.  Adiknya itu tertawa nyaring yang terdengar mengejek di kedua telinganya.  Ia tahu adiknya itu sengaja menyalakan petasan di dekatnya.
            Darrel tahu bahwa Anna sangat membenci petasan dan suara berisik yang dihasilkan oleh benda ‘pembakar uang’ itu.
            Ditemani oleh si kembar Refal dan Rafel, Darrel bermain petasan dan kembang api tanpa henti.  Tidak ingat dengan umurnya yang sudah menginjak tujuh belas tahun.
            Anna membalik beberapa tusuk sate yang tengah dibakarnya.  Di sebelahnya kakaknya  asik mengolesi jagung dengan mentega.
            Ugh.  Seandainya tidak diberi tanggung jawab untuk membakar sate-sate ini.  Anna akan berlari ke dalam kamarnya dan mengurung diri di sana.  Menyalakan laptop dan menyetel lagu dengan volume maksimal agar dapat menyamarkan suara petasan Darrel.
            “Hei, Ann.” Raka menyenggol lengan Anna.
            “Apa?” sahut Anna galak.
            “Berhenti memasang wajah merengut seperti itu.  Ini malam tahun baru.  Keberuntungan mu tahun depan akan lenyap bila merengut seperti itu.”
            Anna mencibir Raka dan tidak mendengarkan ucapan kakaknya.  Ia tidak peduli.
            “Hei, Ann.  Dengar tidak sih?  Jangan merengut! Nanti Al tidak akan menyukai mu lagi.”
            Raka menepuk mulutnya yang berbicara macam-macam.  Keceplosan.
            Anna langsung menghentikan kegiatan membalik sate-sate itu.  Ia menatap kakaknya meminta penjelasan.
            “Aku tidak peduli dengannya!  Siapa yang akan menyukai pemuda tukang melanggar janji seperti dia itu?  tidak akan!”  seru Anna tegas.  Nada suaranya terdengar kesal dan emosi.
            Raka menatap punggung adiknya yang nampak menjauh itu.  Anna langsung meninggalkan tugasnya dan berlari masuk  ke dalam rumah.
            Raka tahu bagaimana perasaan Anna saat ini.  Seandainya saja mulutnya tidak keceplosan.
            Raka butuh Al sekarang juga untuk menenangkan dan memberi penjelasan kepada adiknya.  Agar kesalaha pamahaman ini segera terselesaikan.

****

            Anna menenggelamkan wajahnya di bantal.  Bahuny bergetar.  Suara isak tangis juga terdengar.
            Menyebalkan.
            Kakaknya benar-benar menyebalkan.
            Anna membenci kakaknya yang selalu menyinggung Al disetiap pembicaraan mereka.  Anna membenci mengingat nama sahabatnya itu.
            Dari sekian tanggal yang ada, Anna membenci 31 Desember.
            Karena hari ini adalah hari dimana Al tidak menepati janjinya.
            Anna tahu saat ini umurnya sudah dewasa.  Tetapi rasa sakit itu masih tertinggal dalam di hatinya.  Dan akan semakin terasa sakit ketika mengingat Al.  Ia tidak mau mengingatnya lagi.
            Suara Ayah yang mengetuk pintu kamarnya dan memberi tahu bahwa keluarga Al sudah datang tidak membuat Anna menghentikan tangisannya.
            Gadis itu masih bertahan dengan tangis dan rasa sakit di hatinya.
            “Anna kamu tidak tidur kan, nak?  Ayo turun.  Ada Mama dan Papa mu di bawah.  Al menunggu mu di bawah, Ann.” Ucap Ayah Anna.
            “Nanti Anna menyusul, Yah.” Berusaha agar tidak terdengar parau, Anna menjawab ucapan Ayahnya dengan susah payah.
            Ayah Anna hanya bisa menghela nafas lelah.  Ia tahu bahwa putrinya itu tengah menangis saat ini.  Semua orang rumah tahu bagaimana perasaan Anna ketika keluarga Al pergi empat tahun lalu.

****

            Al menyunggingkan senyum tipis ketika Ayah Anna turun seorang diri.  Ia tahu bahwa gadis itu tidak mau menemuinya.
            Ayah Anna menepuk pundak Al dengan pelan.  “Maafkan Anna, Al.  Ia akan menyusul nanti.  Ayo kita ke halaman saja.”
            Al menatap wajah Ayah Anna, lama.  Meminta agar diberi kesempatan untuk berbicara dengan Anna.
            Ayah Anna mengangguk mengerti.  Beliau kembali menepuk pundak Al.  “Berbicaralah dengannya.  Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.  Tetapi jangan dipaksa untuk keluar bila Anna tidak mau.  Kamu sudah hapal dengan watak anak itu kan”
            “Terima kasih, Om.”
            Ayah Anna meninggalkan Al seorang diri.  Beliau melangkah keluar menuju halaman untuk bergabung dengan yang lain.
            Al menghembuskan nafasnya.
            Kakinya membawanya menuju lantai dua.  Dimana letak kamar Anna berada.  Kamar kedua yang diapit oleh kamar Raka dan Karel.  Dengan pintu kamar berwarna cokelat mengkilat berhias kepala boneka beruang.
            Al ingat.  Hiasan kepala beruang putih itu adalah kado ulang tahun yang ia berikan kepada Anna beberapa tahun lalu.
            Tidak ada yang berubah dari kamar Anna.  Masih sama seperti dulu.
            Hembusan nafas berat itu kembali Al hembuskan.
            Samar, ia  bisa mendengar suara isak tangis Anna.  Dari dulu ia paling tidak suka ketika mendengar Anna menangis.
            Dengan pelan, Al mengetuk pintu kamar Anna.
            “Ann.  Ini Al.  Buka pintunya.”  Ucapnya pelan.
            Tidak ada sahutan.
            Al masih berusaha untuk mengetuk pintu kamar Anna dengan pelan.
            “Anna.” Panggilnya.
            Anna bergeming di dalam kamarnya.  Tangisnya berhenti.  Ia hapal suara itu.  Ia tahu siapa yang berada di balik kamarnya.
            “Anna.  Aku tahu kesalahan yang ku perbuat.  Buka pintunya Ann.  Aku akan menjelaskan semuanya.”
            “Ann.  Ku mohon.” Pinta Al lirih.
            Pemuda itu merosot dan menyenderkan tubuhnya di pintu kamar Anna.  Tangannya tidak berhenti mengetuk pintu kamar itu.
            “Aku membenci mu Al!”
           Satu kalimat yang dilontarkan Anna setelah empat tahun tidak pernah saling berkomunikasi itu menyentak Al.
            Nada suara Anna yang terdengar parau dan penuh dengan rasa benci itu membuat dada Al sesak.
            Sama seperti empat tahun lalu.  Rasa itu datang kembali.
            “Maafkan aku Ann.  Aku bisa jelaskan semuanya.”
            “Pembohong!  Aku tidak percaya dengan apapun lagi, Al.” Anna masih berbicara dengan marah.
            “Aku tahu.  Buka pintunya.  Aku akan jelaskannya.”
            “Tidak akan.” Seru Anna tegas.
            Hening.
            Tidak ada yang saling bersuara.
            Dentang jam di rumah Anna berdentang sebanyak sebelas kali.  Menandatakan bahwa saat ini adalah pukul sebelas malam.  Satu jam sebelum pukul dua belas malam.  Satu jam sebelum pergantian tahun.
            Al tidak ingin kesalahpahamanan ini semakin berlarut.  Ia tidak bisa lagi memendam rasa rindunya akan sosok Anna.
            “Ann, aku tahu kamu membenci ku.  Tapi ku mohon.  Dengarkan penjelasanku.”
            Al tahu gadis itu mendengarkan perkataannya.  Isak tangisnya terdengar jelas.  Seolah melihat, Al bisa merasakan Anna tengah terduduk di balik pintu kamarnya.
            Mereka berbagi punggung yang terhalang pintu.
            Selalu seperti ini ketika Al tidak bisa membujuk Anna untuk menjelaskan sebuah permasalahan.
            “Bukan maksud ku untuk melanggar janji empat tahun lalu, Ann.  Saat itu semuanya terjadi mendadak.  Papa dipanggil oleh kantornya yang berada di sana untuk menjalankan tugas yang seharusnya dilaksakan di bulan Januari.  Dan dokter Mama,  mengatakan bahwa operasi pengangkat rahim Mama harus dilaksakan di tanggal 1 Januari.  Papa tidak mau Mama terlalu lelah sebelum menjalankan operasi itu, Ann.  Sehingga Papa mempercepat hari kepindahan kami.”
            “Bukannya aku tidak mau memberi tahu mu.  Aku tidak mau mengganggu kesenangan mu karena lomba Matematika itu, Anna.  Aku akan memberitahu bila waktunya sudah tiba.  Aku ingin menepati janji yang ku katakana kepada mu terlebih dahulu, baru aku akan mengatakan mengenai kepindahan itu.”
            “Aku tidak ingin dibenci oleh mu karena tidak bisa menepati janji.”
            “Tapi kamu sudah melanggarnya, Al.  Hiks.  Kamu sendiri yang membuatku membenci mu.” Tangis Anna kembali terdengar.
            Al menggigit bibirnya, dadanya kembali terasa sesak.
            “Bukan keinginan ku untuk membuat mu membenci ku, Ann.”
            “Aku merindukanmu, Ann.” Suara Al terdengar lirih di antara isak tangisnya yang perlahan mulai terdengar.
            Malam tahun baru adalah malam penuh kesedihan bagi Anna dan Al sejak empat tahun lalu.
            Dan malam ini, Al ingin menghapus kesedihan itu.  Ia tidak ingin mengukir kesedihan di malam pergantian tahun.
            Ia merindukan Anna dan ingin memeluk gadis itu.
            Anna semakin terisak keras.  Ia merindukan Al dan ingin memeluknya.
            Anna tidak peduli dengan rasa sesak yang menghimpit hatinya.  Ia benar-benar merindukan Al.  Empat tahun tidak bertemu dan tidak saling berkomunikasi membuatnya begitu tersiksa.
            Anna membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk Al dari belakang.  Membenamkan kepalanya di pundak pemuda itu.  Membagi tangisnya yang terdengar menyakitkan di telinga Al.
            Al memutar tubuhnya dan mengajak gadis itu untuk berdiri.
            Ia memeluk Anna erat.  Tidak ingin siapa pun memisahkannya dari gadis ini.
            Anna terisak di dada Al.  tangannya melingkar erat di punggung Al.
            Al mencium kepala Anna bertubi-tubi.  Menyalurkan rasa rindunya yang membuncah.
            “Aku merindukan mu, Ann.” Bisiknya lirih.
            “Aku juga merindukan mu.  Jangan tinggalkan aku lagi, Al.”
            “Aku tahu.  Maafkan kesalahan yang kuperbuat empat tahun lalu.”
            Suara petasan Darrel yang terdengar sangat nyaring tidak membuat Anna dan Al terganggu.  Mereka saling berbagi rindu dengan pelukan erat.
            Suara dentang jam yang terdengar sebanyak dua belas kali dan suara terompet di halaman yang terdengar nyaring menandakan bahwa saat ini telah memasuki awal tahun.  Awal tahun yang penuh suka cita.  Awal tahun yang penuh akan harapan baik.
            Al memundurkan pundak Anna dan menatap gadis itu dengan lembut.
            Jarinya mengusap air mata yang meleleh di pipi Anna.  Mata bulat gadis itu terlihat semakin membengkak karena menangis.
            Dengan ragu dan takut, Al mencium kedua mata Anna.  Berharap agar gadis itu tidak mendorongnya karena telah berbuat lancang.
            Anna tersentak kaget dengan jantung yang berdetak kencang.  Ia tak pernah menyangka Al akan melakukan hal ini.
            Kembali suara petasan terdengar nyaring.  Suara terompet yang saling bersahutan dan suara Darrel serta Raka yang menyuruh mereka berdua untuk bergabung tidak dipedulikan Al.
            Di sela suara bising itu.  Al berbisik lirih di telinga Anna.
            “Aku mencintai mu, Ann.”





Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...