Senin, 14 Oktober 2013

Stepping On The Rainy Street








            Aku benci dengan hujan.
            Hujan membuat rasa benci terhadap diriku sendiri semakin besar.
            Aku benci hujan karena ia membuatku menjadi seorang yang begitu lemah.
            Aku benci hujan karena tidak lama lagi aku tidak bisa menikmati hujan.
            Dan aku membenci hujan karena dihari kematianku, hujanlah yang menemaniku.
****
            Aku menatap titik air hujan yang perlahan mulai turun dengan intensitas yang cukup tinggi.
            Hujan lagi-lagi turun di tengah cuaca yang seharusnya panas. Keadaan alam semakin hari semakin tidak menentu. Membuatku harus membawa payung setiap saat. Dan itu membuat tasku semakin berat. Tubuh yang kian hari kian ringkih ini sudah tidak kuat lagi hanya untuk menggendong tas yang bertambah isinya satu buah.
            Aku membentangkan payung. Melangkah perlahan menuju gerbang rumah sakit. Melewati genangan-genangan kecil berwarna cokelat yang sudah mulai memenuhi pelataran rumah sakit.
            Telingaku tersumpal dengan sepasang earphone berbentuk kura-kura. Hewan lambat yang selalu mendengarkan keluh kesahku.
            Gapura di depan gerbang rumah sakit disesaki dengan banyak orang. Aku berusaha menyelipkan tubuhku di antara mereka. Berlindung dari air hujan yang turun semakin deras.
            Keluhan, dengusan dan makian terdengar di sana sini. Semua orang mengeluhkan hujan yang turun tiba-tiba di tengah cuaca panas. Mereka mengumpat dan memaki hujan yang menghambat langkah-langkah cepat mereka.
            Aku tidak perlu menambah keluhan terhadap hujan. Mendengar semua keluhan yang mereka lontarkan sudah mewakili apa yang ingin aku ucapkan.
            Anak-anak kecil yang menjajakan jasa ojek payung adalah manusia paling bahagia dengan turunnya hujan. Dengan hujan yang turun begitu deras, pendapatan mereka akan bertambah. Tanpa mempedulikan tubuh mereka yang akan sakit dikemudian hari.
            Aku mendengar suara senandung pelan yang dilantunkan oleh seseorang di belakang ku. Sepasang earphone tersumpal di telinganya. Selembar partitur ada di tangannya.
            Mata madunya memandangku dengan teduh ketika kedua mata kami tidak sengaja bertabrakan. Aku mengangguk pelan sebagai balasan.
            Ia menunjuk earphone ku. Menyuruh untuk melepasnya sejenaknya. Bibirnya bergerak-gerak hendak berbicara.
            “Dari dokter ya, mba? Kenalin nama saya Aruna.” Ia menyodorkan tangannya kepadaku.
           Aku menyambut tangan besar khas pemuda itu dengan bingung. Mataku menatapnya tak mengerti. Ia terkekeh pelan, jarinya menunjuk amplop yang ada di genggaman tanganku.
            “Sakit apa, mba?”
            Aku mengernyit mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Apakah orang yang baru mengajak berkenalan menanyakan sesuatu hingga sedalam itu?
            Hujan masih mengguyur dan aku masih terjebak di gapura gerbang rumah sakit bersama dengan seorang pemuda asing.
            “Nggak mau memberitahu ya? Hehehe. Maaf deh mba. Cuma penasaran aja kok.” Ia memberikan cengiran kepadaku. Aku hanya menatapnya datar.
            Aku terdiam lama sebelum menjawab perkataannya. Hujan menyita perhatianku. Pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda itu membuatku kembali mengingat percakapan menyebalkan dengan Dokter Ahra. Dokter keluarga kami yang merawat ku sejak kecil bila terserang penyakit. Dokter yang masih tampak cantik diumurnya yang menginjak kepala 4.
           Aku masih mengingat wajah sedih milik beliau. Wajah penuh penyesalan ketika menyampaikan mengenai penyakitku.  Air mata yang menetes dari kedua matanya pun masih ku ingat.
            Bukan aku yang terisak sedih karena mendengar diagnosa penyakitku. Tetapi dokter ku itu yang menangis terisak-isak seraya memelukku erat. Aku bisa merasakan bagaimana terpukulnya perasaan beliau. Pelukan beliau tak sehangat seperti biasanya.
            “Alzheimer.” Aku menyahut pelan.
            Pemuda di belakangku itu menghentikan senandung yang dilantunkannya. Ia menatap mataku dengan pandangan tertegun. Aku bisa menangkap sedikit rasa sedih di sana. Entahlah mengapa ia menyelipkan secuil sedih di tatapan matanya. Toh kami bukanlah dua orang yang saling mengenal.
            Aku terperangah tak percaya dengan respon yang diberikannya. Ia kembali menyodorkan tangannya, diikuti dengan seulas senyum tulus kepadaku.
            “Mari kita berteman. Saya juga mengidap penyakit itu,” ia terkekeh geli, lalu melanjutkan. “Semoga kita masih bisa membuat banyak kenangan sebelum seluruh kenangan itu menghilang tak tersisa.”
****
            Aku menekan dengan pelan setiap tuts piano. Berusaha untuk mengingat seluruh isi partitur yang semalam ku hapal habis-habisan di tengah suara berisik di ruang keluarga.
            Di depanku, Sir Alex nampak memejamkan mata dan menajamkan telinganya guna mendengar dan mengoreksi permainanku. Beliau mengangkat tangan, instruksi dimana aku untuk berhenti bermain.
            Aku mendesah lega setelah hampir 1,5 jam memainkan satu lagu yang sama secara berulang-ulang. Sir Alex berdiri dan melangkah mendekatiku. Beliau menepuk pucuk kepalaku dengan lembut.
            “Ada dua not yang nadanya melenceng. Kau bisa memperbaikinya setengah jam lagi. Beristirahatlah dulu.”
            Menjadi seorang pianis bukanlah impianku. Bilapun menjadi pianis ada dalam list cita-citaku, aku akan menaruhnya di nomor terakhir. Cita-cita utamaku adalah menjadi seorang atlet synchro diving. Meloncat dengan begitu indah dari atas platform setinggi 10 meter adalah mimpiku.
            Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang terpaksa berhenti sejak 7 tahun lalu. Tubuhku tidak mampu untuk mengikuti seluruh latihan-latihan yang diperuntukkan bagi seorang atlet synchro diving.
            Menjadi pianis adalah sebuah harapan yang disematkan Ibu disisa nafas terakhirnya 7 tahun lalu. Harapan terakhir sebelum beliau menyerah dengan kanker payudara yang menggerogotinya.
            Awalnya aku menjalani semua ini dengan terpaksa. Keadaan keluargaku berubah dengan begitu drastis. Ayah yang terlalu terpukul dengan meninggalnya Ibu menelantarkan 5 darah dagingnya. Beliau menjadi gila kerja dan jarang pulang ke rumah.
            Kakak pertamaku pun seperti itu. Menjalankan anak perusahaan Ayah membuatnya sering bepergian jauh. Ia hanya berkomunikasi dengan kakak ketigaku. Aku ada dalam urutan terakhir yang akan dihubunginya bila ia berada jauh di luar negeri.
            Sebagai anak bungsu yang tidak terlalu disayang di rumah, kecuali oleh Ibu. Aku hanya bisa menangis diam-diam di kamar ketika keempat kakakku mulai tidak menganggapku ada.
            Ketika memeriksakan diri beberapa hari yang lalu, aku hanya bisa menghela nafas kasar diam-diam. Setelah selama ini yang sudah kualami, mengapa Tuhan kembali memberiku cobaan? Menjadi seseorang yang tidak pernah dianggap oleh keluarga sendiri saja sudah membuatku menderita. Sekarang ditambah aku harus mengidap Alzheimer. Yang sampai saat ini masih belum bisa disembuhkan.
            Terkadang aku menyalahkan Tuhan dengan keadaanku yang seperti ini. Tapi beberapa tahun terakhir ini, setelah aku menjadi salah satu pianis yang berhasil masuk dalam resital Sir Alex di Jerman, aku sudah tidak pernah menyalahkan Tuhan lagi. Karena satu pelajaran yang kudapatkan disuatu hari di tengah hujan kala itu, bahwa akan ada keajaiban Tuhan untuk seluruh umatnya.
****
            “Halo mba. Bertemu lagi. Tidak lupakan dengan saya kan? Saya Aruna.”
            Aku berhenti melangkah ketika sesosok pemuda jangkung dalam balutan hoodie birunya berjalan dalam tenang menghampiriku. Ia memberikan cengiran lebar yang membuat kedua matanya bersinar jenaka.
            Aku menangkap binar senang di mata madu pemuda itu.
            “Sedang apa di sini?” ia bertanya dengan ramah. Ada satu perasaan senang yang menyelinap di hatiku ketika mendengar suaranya.
            Aku mengangkat 2 buah buku mengenai Alzheimer kehadapannya. Ia menyipitkan matanya saat membaca judul buku tersebut. Lalu dengan girang menunjukkan plastik berisi buku yang ditentengnya.
            “Wah sama. Saya juga beli buku itu. Nih.” Aruna menunjukkan kepadaku.
            Aku dan Aruna melangkah memasuki sebuah café di dekat toko buku. Ini adalah hari keenam puluh setelah pertemuan pertama kami. Ia menyeretku untuk menemaninya membahas isi buku kami yang sama ini.
            Dalam 60 hari setelah diagnosa penyakit itu. Aku mulai merasakan sedikit demi sedikit gejalan Alzheimer. Gejala pertama yang kualami adalah ketika aku terkadang lupa menaruh sesuatu.
            Orang-orang di rumah tidak ada yang tahu dengan penyakitku ini. Hanya Ibu tiriku saja yang mulai menyadari keanehan dalam diriku. Dan aku tidak terlalu peduli akan hal itu.
            “Ayo diminum cokelatnya. Keburu dingin. Cokelat hangat nggak enak kalau diminum saat dingin. Apalagi di tengah hujan begini. Eh hujan? Kayaknya kita jodoh deh, mba.”
            Aruna menyerocos tanpa henti. Bibirnya yang mungil itu tidak berhenti bicara sejak kami duduk dua puluh menit yang lalu.
            Ia berbicara tentang apa saja. Mengomentari dekorasi café. Mengomentari isi pembicaraan orang lain yang tidak sengaja didengarnya. Mengomentari seragam para karyawan. Mengomentari permainan piano yang disuguhkan dalam live music café ini. Apa yang tertangkap retina matanya akan dikomentari olehnya.
            Seakan ia lupa dengan tujuan awalnya menyeretku ke dalam café ini. Bukunya tergeletak begitu saja di atas meja.
            Hujan kembali mengguyur bumi. Sama seperti pertemuan pertama kami. Aku menyesap perlahan cokelat hangat yang kupesankan. Merasakan rasa manis dan pahit yang disuguhkan oleh minuman ini. Mengingat rasanya yang dikemudian hari tidak akan bisa kuingat lagi.
            Aruna masih betah berbicara. Aku hanya menimpali seadaanya saja. Dan ia tidak terganggu dengan itu.
            Aku mengerutkan kening mendapatinya menyodorkan sebuah undangan kepadaku. Aruna menggaruk tengkuknya seraya menyengir gugup.
            “Saya nggak punya teman buat diundang ke acara ini. Semoga mba mau datang ya.”
            Aku membacanya dalam diam. Kedua mataku membulat tak percaya ketika membaca nama lengkap Aruna. Lalu menatap Aruna kagum. Aruna sendiri menunduk malu, aku bisa melihat rona merah yang menjalari kedua pipinya.
            Melihat itu membuatku tertawa tanpa sadar. Melihatnya gugup seperti perempuan sedikit membuatku geli. Tawa yang sudah lama sekali rasanya tak pernah kulakukan.
            Tanpa kuketahui, Aruna melirikku dengan mata madunya. Tatapan mata yang tak kuketahui apa artinya.
****
            Ini bulan keenam setelah Dokter Ahra memberitahuku mengenai penyakitku. Ada yang menghilang setiap harinya. Aku mulai melupakan apa saja yang kukerjakan di hari sebelumnya.
            Sir Alex sudah mengetahuinya. Aku tidak mau menyembunyikan apapun dari seseorang yang sudah ku anggap sebagai sosok seorang Ayah dalam hidupku. Ayahku memang masih ada. Tapi beliau tampak lebih sibuk dengan Bintang, adik tiriku yang berumur 5 tahun.
            Dirumah hanya Ibu Anna –ibu tiriku- saja yang masih memperhatikanku. Terkadang beliau menanyakan apa yang membuatku sering memutari isi rumah guna mencari sesuatu yang lupa ku letakkan dimana.
            Dokter Ahra menyarankanku untuk mencatat seluruh kenangan apa saja yang pernah ku lalui. Setiap kunjungan rutinku, beliau akan menanyakan satu persatu kenangan-kenangan itu. Yang terkadang membuatku bingung sendiri karena aku menganggapnya tidak pernah melakukan hal-hal itu.
            Sir Alex pun tak pernah berhenti memberitahu dan mengingatkanku tentang isi partitur Stepping On The Rainy Street yang akan kumainkan di resital beliau berikutnya. Beliau percaya bahwa aku akan tetap bisa mengikuti resital dengan kekurangan yang semakin bertambah.
            Sejak penyeretan Aruna ke café waktu itu. Hubunganku dengannya semakin baik. Hari-hari yang kami lalui bersama akan kami catatan disebuah buku. Kami berdua juga merekam segala kegiatan yang kami kerjakan. Saling bergantian menemani berlatih piano. Aruna bilang, supaya kami berdua tidak cepat melupakan apa yang sudah kami berdua lewati bersama.
            Aku merasa lebih hidup sejak bertemu dengannya. Berbicara dengan seseorang yang mengidap penyakit yang sama membuat kami mengerti satu sama lain. Kematian sewaktu-waktu akan menjemput kami.
            Yang kutakutkan dari penyakit ini hanyalah kehilangan memori tentang Dokter Ahra, Sir Alex dan Andrio – sahabat kecilku yang menyukai Irina, saudara tiriku-.
            Dan terutama semua hal yang kulakukan bersama Aruna. Aku takut tak bisa mengenal Aruna disuatu hari nanti bila penyakit ini semakin parah.
            Dokter Ahra mengatakan bahwa penyakit yang menyerangku termasuk cepat penyebarannya. Gejala-gejala berat Alzheimer bisa kapan saja menyerang otakku.
            Hal yang ditakutkan oleh Aruna sama dengan yang kutakutkan. Ia takut kehilangan memori kebersamaan dengan orang tua dan adik perempuannya. Tentang mimpi-mimpi besarnya. Yang paling ditakutkannya adalah ketika ia sudah tidak mampu lagi membaca dan menghapal not balok. Aruna tidak pernah mau berpisah dengan pianonya. Karena mimpi terbesarnya adalah bisa mengadakan resital tunggal di seluruh dunia.
****
            Satu tahun berlalu. Penyakit ini semakin hari semakin menggerogotiku. Hari ini hujan kembali turun. Aku memperhatikan bulir air hujan yang merambat di kaca ruang latihan Aruna. Kali ini adalah giliranku untuk menemaninya berlatih.
            Aruna sedang memainkan sebuah lagu yang sudah digubahnya sedemikian rupa. Dokter Ahra bilang, penyakit yang menyerang Aruna berjalan lambat. Sehingga ia masih bisa melakukan apapun tanpa merasakan ada yang hilang.
            Aruna masih begitu ingat dengan semua isi partitur yang dihapalnya. Berbeda dengan ku yang sudah mulai melupakannya satu persatu. Demi menghapalkan satu gubahan saja aku butuh beberapa minggu. Berbeda sekali ketika aku masih sehat dulu.
            Aku menoleh ketika Aruna menyenderkan kepalanya di pundakku. Kebiasaannya setelah selesai memainkan beberapa gubahan.
            Tangannya terulur mengusap kaca yang tampak berembun. Ia mengukir namanya di sana. Jarinya mengetuk-ngetuk kaca dengan irama teratur.
            “Ini hujan ke 185 setelah pertemuan pertama kita. Kau ingat dimana kita bertemu?” Aruna bertanya dengan suara pelan. Enggan mengganggu suara hujan yang bertalu-talu di luar sana.
            Aku mengangguk. Satu memori itu yang berusaha untuk tidak ku lupakan. “Di tengah hujan di gapura rumah sakit.”
            Aruna mengulas senyum lembut. Ia meremas tanganku, lalu mencubit hidungku dengan gemas. “Aku Aruna dan kamu harus ingat itu.”
            Perkataan yang sama di setiap pertemuan kami. Terkadang aku kesal dengan apa yang diucapkannya itu. Seperti aku akan melupakannya tiba-tiba saja. Aku menjewer telinganya pelan, “Aku ingat.”

****
            Aku menangis terisak di dekapan Aruna. Ini bulan ke 15 setelah pertemuan kami, setelah mengetahui tentang penyakitku. Aruna mengusap dengan lembut punggungku. Ia membisikkan kata-kata penenang agar aku berhenti menangis.            
            Aku menangis karena melupakan nama Aruna ketika ia bertanya tadi. Aku melupakan dimana aku pernah bertemu dengannya. Aku melupakan janji yang ku ucapkan dua hari lalu. Aku juga melupakan apa yang sudah ku jalani selama seminggu ini bersamanya.
            “Tidak apa-apa. Bukankah sekarang kamu sudah ingat denganku lagi? Yang terpenting bagiku, kamu selalu ingat denganku. Walau itu memerlukan waktu yang lama.” Aruna berbisik pelan.
            Perkataannya itu semakin membuatku merasa bersalah. Aku berkali-kali menggumamkan kata maaf untuknya. Tetapi Aruna tetaplah Aruna. Ia dengan tenang dan pelan menenangkanku yang tidak berhenti menangis.
****
            Dokter Ahra menelponku. Beliau mengatakan akan mengajakku ke sebuah resital tunggal. Dari kalender yang sudah kuberi bulatan-bulatan berwarna merah. Hari ini adalah hari ke 455 setelah Dokter Ahra memberitahuku tentang penyakit ini.
            Aku menyaksikan sebuah pertunjukkan piano megah seorang pemuda tampan yang jangkung. Ia menyebut namaku sebelum memainkan sebuah gubahan. Dokter Ahra bilang, nama pianis itu Aruna. Dan yang dimainkannya adalah Stepping On The Rainy Street.
            Aku mencoba untuk mengingat wajah seseorang yang berdiri di depanku saat ini. Ia menyunggingkan senyum tulus yang begitu menawan. Tapi semakin ku coba, semakin aku tak mengingatnya.
            Ia memberikan sebuah pelukan seraya membisikkan sesuatu kepadaku. “Kamu mengingat janji mu. Lihat kan, kamu tidak melupakan ku. Aku tahu itu. Aku Aruna. Ingat itu ya?”
****
            Ini hari ke 730. Tepat dua tahun. Saat ini aku terbaring lemah di atas tempat tidur kamarku. Banyak sekali orang yang memenuhi kamar ku. Aku tidak tahu mengapa mereka ada di kamarku.
            Aku tak mengingat wajah dan nama mereka. Seorang wanita cantik yang duduk di sisi tempat tidurku memperkenalkan mereka satu persatu. Aku hanya mampu mengucapkan maaf karena tidak bisa mengingat mereka. Tapi kehadiran mereka membuat hatiku senang.
            Aku mengedarkan pandangan, menyelusuri isi yang ada di dalam kamarku. Di setiap tempat tertempel kertas bertuliskan nama seseorang. Aruna.
            Wanita cantik di sebelahku mengatakan bahwa itu nama kekasihku. Aku tak pernah ingat pernah mempunyai seseorang kekasih bernama Aruna.
           Orang-orang di dalam kamarku menatapku dengan sendu. Beberapa dari mereka menangis. Aku bingung melihatnya. Apa yang mereka tangiskan? Bukankah aku hanya terpeleset di kamar mandi saja seingatku.
            Pintu kamar terbuka. Seorang pemuda jangkung berhoodie biru melangkah masuk. Wanita cantik di sebelah ku membisikkan tulisan yang tertera di bagian depan hoodienya. Mendadak aku tidak bisa membaca tulisan sependek itu.
            Aruna.
            Itu yang beliau bisikkan.
            Aku mengulas senyum untuknya yang juga memberiku sebuah senyum menawan. Aku merasakan ia meremas tanganku dengan erat. Mataku serentak terpejam ketika ia mengecup keningku dengan lembut.
            “Aku Aruna.” Bisikkan pelan itu mengantarku dalam tidur yang sangat panjang.
****
            Aruna bersimpuh di depan makam seseorang. Ia melantunkan doa yang dicoba untuk tidak dilupakan. Semakin hari semakin bertambah parah Alzheimer yang diidapnya. Ia sudah tidak bisa lagi memainkan berbagai gubahan di depan pianonya. Ada yang hilang dalam hidupnya sejak seseorang yang tidur dalam damai di makam ini.
            Kenangan-kenangan yang mereka lalui bersama diusahakannya untuk tidak terlupa. Tapi dari hari ke hari. Kenangan itu satu persatu mulai terlupakan dan hilang.
            Selesai berdoa, Aruna mengusap penuh sayang batu nisan milik seseorang ini. Ia mengecupnya lama. Dalam ingatan terakhirnya, wajah manis seorang gadis berumur 18 tahun terekam jelas. Aruna tersenyum ketika membuka matanya.
            Ia merunduk dan membisikkan sesuatu. “Aku Aruna. Kau harus ingat itu, sayang. Aku mencintaimu, Elena.”
            “Tunggu aku di sana, ya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...