Selasa, 01 Maret 2011

Valentine in march 15th

Valentine in march 15th

Ia menatap lirih kearah kalender meja yang berada diatas meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Selalu saja seperti ini. Sesak dan pengab. Kenapa? Batinnya sarkatis.
 Ia membuang nafasnya kasar. Tidak. Tidak ada yang berubah. Tetap saja terasa sesak. Seperti ada beribu-ribu batu yang menghimpit dadanya. Tidak memberikan sedikit pun udara untuk masuk dan mengisi paru-parunya.
Disambarnya kalender meja itu. Tatapan matanya nanar saat melihat tanggal hari ini. Ya tuhan. Serunya dalam hati menjerit.
Shasa benci hari ini. Ia benci. Sangat benci. Ia selalu merasa seperti ini bila tanggal ini sedang menjalankan tugasnya. Tidak bisa kah tanggal ini menghilang saja. Menghilang dan tidak akan muncul lagi. Dan yang pasti tidak membuatnya seperti akan mati kehabisan nafas seperti ini.
Bulir-bulir air mata itu akhirnya runtuh juga. Menjebol pertahannya yang sudah dibuatnya. Kenapa harus seperti ini?.
Shasa benci tanggal ini. Ia membenci tanggal 14 februari. Terlalu banyak kenangan buruk ditanggal ini. Dan sekali lagi Shasa benci itu. Benci dengan tanggal hari ini. Karena pada saat tanggal ini. Semua orang yang disayangi pergi menjauh darinya. Pergi meninggalkannya sendiri. Pergi jauh dan tidak akan pernah kembali.
Di lemparnya begitu saja kalender yang ada di tangannya itu. Ia jatuh terduduk. Menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Membiarkan kelanjar-kelanjar hangat yang diciptakan oleh matanya itu turun dengan derasnya.
Sebenarnya Shasa tidak ingin seperti ini. Tidak ingin mengenang orang itu dengan air mata. Ia tidak ingin mendapat tatapan kasihan dari orang itu. Walaupun orang itu sudah tidak ada lagi. Tidak ingin dan tidak mau. Tapi apa daya? Air matanya selalu saja turun saat kelebatan-kelebatan hitam itu sedang berputar di dalam kepalanya.
Saat kecelakaan hebat itu terjadi tepat di depan matanya sendiri. Membuat seseorang yang benar-benar disayanginya pergi meninggalkan dunia ini. Pergi jauh bersama para malaikat langit. Pergi meninggalkan Shasa sendiri. Sendiri.
Suara isakan tangis Shasa terdengar sangat pilu. Menyayat hati bila ada yang mendengar. Kesedihan ini selalu membuat Shasa terkurung di dalamnya. Seperti tidak memberikan Shasa ijin untuk keluar.
Diusapnya wajahnya dengar kasar. Shasa ingin bangkit. Tidak ingin rapuh seperti ini. Tidak ingin menjadi mayat hidup sesaat seperti ini. Shasa harus bangkit.
Shasa tersentak kaget saat pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Shasa hafal siapa yang mengetuk pintu kamarnya pagi-pagi seperti ini.
“shasa sudah bangun belum sayang?” Tanya orang yang berdiri di depan pintu kamar Shasa. “kalau sudah bangun. Cepat mandi ya. Papa sudah siapin sarapan tuh. Hari ini kita ada janji dengan seseorang kan. Shasa dengar kata papa kan?” lanjutnya.
Tidak mendapat jawaban satu pun dari sang pemilik kamar. Orang itu hanya berdeham kecil. Ia tahu pasti putrinya itu sudah terbangun dari tidurnya. Hanya saja, pasti ada yang sedang dilakukannya di dalam sana. Dan ia pun tahu apa yang sedang dilakukan putri tunggalnya itu.
“ya sudah. Papa siap-siap dulu”
Shasa bisa mendengar derap langkah papa nya yang melangkah pergi dari depan pintu kamarnya. Shasa bisa mendengar semua ucapan papanya. Tapi, untuk menjawab sepatah kata pun. Tenggorokannya seperti enggan untuk mengeluarkan suara. Dan sejak tadi pun Shasa menahan nafasnya. Agar papanya itu tidak tahu kalau ia sedang menangis.
“maafin Shasa pa. Shasa janji mulai hari ini, shasa nggak akan menangisi Danny lagi. Shasa janji. Tapi cukup hari ini beri shasa kesempatan untuk membuang air mata kesedihan ini” ucapnya pelan dan lirih.
Shasa berdiri dari duduknya. Menyeret kakinya untuk masuk kedalam kamar mandi. Dan tepat di depan pintu kamar mandi. Mata Shasa tidak sengaja menyambar beberapa bingkai foto yang tersusun rapi di atas meja kecil.
Shasa menatapnya nanar. Foto-foto ini terlalu menyimpan banyak kenangan.
Diurungkannya niatnya untuk masuk ke kamar mandi. Shasa berjalan kearah bingkai-bingkai foto itu. Mengambil satu. Lalu jari-jari panjang miliknya itu. Mengusap lembut wajah salah seorang yang ada di dalam bingkai foto yang sedang dipegangnya.
Sebuah senyum kecil tercipta di bibir Shasa. Wajah ini. Wajah orang ini. Seseorang yang selalu bisa menciptakan senyuman manis milik Shasa. Seseorang yang punya banyak bahkan beribu cara untuk membuat Shasa tertawa.
Sosok jangkung dengan kacamata berbingkai coklat yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Sosok yang ada disaat hari-hari terburuk yang ada di hidup Shasa. Saat kedua orang tuanya memilih untuk saling menjalankan kehidupan masing-masing. Tidak lagi bersama dalam ikatan suami istri. Lebih memilih keegoisan dalam diri mereka.
Air mata itu jatuh lagi. Shasa mengusapnya. Tidak boleh. Ia tidak boleh menangis. Danny pasti akan menceramahinya bila melihat air mata ini.
Shasa mencium wajah Danny dalam foto ini. Mulai hari ini. Shasa harus menjalankan kehidupan baru. Membuka lembaran-lembaran baru. Dan menulisi lembaran-lembaran itu dengan tinta baru. Dan sebisa mungkin mengenang Danny dalam hatinya. Dan Shasa tidak mau lagi berada di dalam kukungan kesedihan ini. Ia harus bangkit. Dan harus bisa.
“happy anniversary sayang” ucap Shasa lembut dan menaruh bingkai foto itu. Lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Memutar shower dan mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya. Berharap rasa sesak dan semua kesedihan ini ikut larut dan pergi jauh dari dalam dirinya.
14 februari. Semua orang tahu dengan tanggal ini. Dan semua orang yang sedang dimabuk asmara pun sangat hafal dengan tanggal ini. Hari kasih sayang. Valentine’s day.
Hari dimana para pria memberikan kejutan kepada wanitanya. Hari dimana, disetiap pusat perbelanjaan dan segala tempat hiburan dan rekreasi berubah menjadi berwarna pink karena pernak-pernik yang dipasang oleh sang empunya. Hari dimana coklat-coklat yang manis dan berbagai bentuk serta rupa bertebaran dimana-mana. Dibagikan dengan gratis.
Hari dimana kasih sayang tumpah ruah begitu saja. Menguap diudara dan mengisi relung-relung hati para pemabuk asmara.
Tapi tidak untuk Shasa. 14 February adalah hari sial untuknya. Dan tanggal hitam yang sudah terukir hebat di notes hidupnya. Berada pada urutan pertama dalam black list tanggal sial miliknya.
Tepat lima tahun lalu. Di tanggal ini. Ditanggal dimana diyakini oleh sebagian orang sebagai hari mencurahkan kasih sayang. Kedua orang tua Shasa memilih untuk berpisah. Menjalankan kehidupan masing-masing. Tidak bersama lagi. Lebih memilih menjalankan keegoisan dalam diri mereka. Yang tanpa mereka sadari sudah membuat seorang gadis berumur 14 tahun hidup tanpa kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya.
Dan di tanggal ini pun. Tepat empat tahun lalu. Kekasih pertama Shasa meninggal dalam kecelakaan maut yang sudah direncakan oleh kekasih baru mamanya. Orang yang sudah membuat mamanya menghilangkan semua rasa cinta kepada papanya. Orang yang sangat dibenci Shasa.
Danny.
Seseorang yang sangat berarti dalam hidup Shasa. Seseorang yang sudah mengembalikan lagi senyumannya dari keterpurukan perpisahan orang tuanya. Seseorang yang sanagt baik. Yang seharusnya tidak menerima takdir menyedihkan seperti ini.
14 February pun merupakan tanggal anniversary Shasa dengan Danny.
Dan sejak saat itu. Shasa sangat membenci tanggal 14 February. Hanya sebuah tanggal terkutuk yang bisa membuatnya seperti mayat hidup kehabisan nafas karena harus jatuh kembali kedalam kenangan-kenangan buruk yang ada.

****

“pagi papa” Shasa mencium pipi papanya. Menggelayut manja kepada papanya. Papanya menyodorkan sepotong roti tawar ke depan mulut Shasa. Membuat Shasa harus menelannya.
“pagi. Lama amat mandinya. Mompa air dulu?” Tanya papanya sambil terkekeh.
“iya, mana pompanya jauh loh pa. caca harus ngesot dulu kesananya” balas Shasa ikut bercanda. Caca. Panggilan kecil dari papanya.
Tawa papanya pecah. Ada-ada saja. “ih anak papa mau ngegantiin suster ngesot ya?” tebak papanya usil
Shasa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mulutnya penuh dengan nasi.
“hari ini kita jadi pergi kan?” Tanya papanya.
Raut wajah Shasa berubah. Diteguknya susu coklat hangat buatan papanya. “emang papa nggak ada janji sama orang gitu? Shasa bisa pergi sendiri kok”
“nggak ada. Papa sudah cancel semua schedule yang ada hari ini. Dan hari ini papa free” ucap papanya seraya menyesap kopi.
“ceileh bahasanya. Schedule” kata Shasa menggoda.
“sudah ah bercanda terus. Cepat habisin makannya. Hari ini caca kan yang giliran cuci piring” ucap papanya. Mendengar ucapan papanya, Shasa cepat-cepat menghabiskan sarapannya. Meneguk susu coklatnya hingga tuntas. Lalu membawa piring bekas makannya dan gelas kopi papanya. Mencucinya. Dan bersiap pergi ke kampus.
“belajar yang bener” pesan papanya.
Shasa lalu turun dari mobil dan berjalan berputar ke sebelah kanan. Menghampiri papanya. “hari ini papa mau kemana?” Tanya Shasa. Masa iya seharian ini papanya Cuma mau menunggui dirinya selesai kuliah.
Papa Shasa mengedipkan sebelah matanya. Membuat Shasa menggebungkan kedua pipinya. Ia tau kalau papanya sudah mengedipkan mata seperti itu. Artinya papanya tidak mau memberitahunya.
“papa pelit” ucap Shasa seperti bocah berumur lima tahun.
“biarin” papa Shasa menjulurkan lidahnya. “kalau sudah waktunya pulang telpon papa”
Shasa menganggukkan kepalanya. “caca kuliah dulu pa” pamit Shasa seraya mencium telapak tangan papanya.
“shasa” seru seseorang. Membuat Shasa memutar kepalanya. Menegok ke kanan dan ke kiri mencari asal suara itu.
“hai steve” sapa papa Shasa ke orang yang sedang berjalan satu meter di belakang Shasa.
“hai om. Pagi” balas Steve disertai dengan senyum.
Shasa mengerutkan keningnya. Kok bisa Steve datang dari belakangnya?
“ya udah kuliah sana. Titip Shasa ya steve” pesan papa Shasa. Steve menganggukkan kepalanya. Lalu setelah itu mobil milik papa Shasa melesat pergi.
“yuk” Steve menggandeng tangan Shasa.
“eh” Shasa tersadar dari lamunannya. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Loh loh kok sudah masuk ke kampus “papa gue mana?” Tanya Shasa bingung. Perasaan tadi ia masih berdiri di sebelah papanya.
Steve menggelengkan kepalanya. Kebiasaan pasti melamun. “ya sudah pergi lah. Masa iya mau nemenin lo dikampus”
“apa nih gandeng-gandeng?” Shasa melepas gandengan tangan Steve. Steve cemberut. “Shasa pelit” ucap Steve seperti anak kecil.
“ga ngaruh” Shasa menjulurkan lidahnya. Apa-apaan steve ini? Nanti Shasa bisa di amuk sama cewek satu kampus lagi. Karena melihat dirinya bergandengan tangan dengan Steve. Maklum Steve kan jejaka tampan di kampusnya.
“shasa mah” steve pura-pura ngambek
Shasa dan Steve adalah dua pasang sahabat. Sebenarnya Steve itu sahabat Danny. Tetapi setelah Danny tidak ada. Steve jadi sering bersama Shasa. Steve juga sudah di titipi pesan oleh Danny untuk menjaga Shasa, bila suatu hari nanti Danny pergi. Dan sekarang waktunya lah.
“eit stop” Shasa berdiri di tengah-tengah pintu kelas. Merentangkan kedua tangannya menghalangi Steve. Di depannya Steve berdiri masih dengan bibirnya yang cemberut.
Shasa menjulurkan tangannya yang menengadah ke atas di depan wajah Steve. Sambil menyungging kan senyumnya yang paling manis. Shasa berseru. “coklat steve. Coklat”
Steve mengangkat alisnya satu. Apa tadi? Coklat? Nggak salah dengar nih.
“apaan?” Tanya Steve bingung.
“coklat steve. Coklat. C-o-k-l-a-t” shasa mengeja hurufnya.
Steve menggelengkan kepalanya. Lalu menggeser tubuh Shasa dan melenggang masuk ke dalam kelas. Sementara Shasa berdiri di depan pintu dengan tampang cengo. Steve? Errrrrr awas aja. Batin Shasa
“steve lo nggak sayang sama gue? Oke kalau gitu” cerca Shasa sambil menggebrak meja Steve.
Sekali lagi steve menaikkan alisnya. Kenapa lagi nih? PMS? Sementara yang lain hanya memandang mereka berdua bingung.
“steve” Shasa hampir berteriak.
“apa?” Tanya Steve acuh. Shasa menggeretakkan giginya. Benar-benar ya makhluk jelek satu ini.
“coklat steve” pinta Shasa.
“minta aja sana sama Danny” ucap Steve tanpa sadar.
Jdeerrr. Nama ini.
Wajah Shasa menegang. Urat-urat wajahnya menyembul keluar. Tatapan matanya berubah kosong dan hampa. Urat di kedua telapak tangan Shasa juga ikut menyembul keluar akibat cengkraman tangannya terlalu kuat. Nafasnya tercekat. Telinganya berdengung hebat. Apa tadi? Danny
Astaga. Steve menepuk keningnya. Ia lupa. Kenapa bisa keluar kata-kata itu.
Shasa mundur perlahan. Menghembuskan nafasnya secara kasar. Baru saja. Iya baru saja. Rasa sesak itu kembali menyerang dadanya. Tidak sampai hitungan menit. Menyerbunya dengan bertubi-tubi rasa sakit. Membentuk sebuah koloni dahsyat yang menghantam dadanya.
Shasa berjalan ke bangkunya yang berada tepat di belakang bangku Steve. Berjalan terseok-seok dengan tatapan mata lesu.
Kenapa? Kenapa steve mengatakan hal itu? Lupa kah dia? Atau dia memang sengaja.
Lagi. Steve kembali menepuk keningnya. Bodoh. Rutuknya dalam hati. Gimana ini?
“shasa maaf. Maaf maaf. Sha” ucap Steve tulus.
Shasa menggelengkan kepalanya. Menunduk lalu melipat kedua tangannya di atas meja. Menaruh kepalanya di sana. Bersembunyi. Ya bersembunyi dari rasa sesak ini. Ya Tuhan. Tolong. Jangan. Batin Shasa.
Steve berdiri lalu duduk di sebelah Shasa. Mengelus-elus punggung Shasa. Ia salah. Iya. Steve salah.

****

“maaf Sha” ucap Steve benar-benar merasa bersalah. Mata shasa sembab. Menangis di pagi hari tadi. Membuat kepalanya menjadi pusing sekarang. Dan sekarang Shasa dan Steve ada di ruang kesehatan.
“nggak papa” balas Shasa dengan suara parau. Steve jadi tidak tega. Ia berjalan kearah Shasa yang sedang duduk dengan kedua lutut yang ditekuknya ke atas.
Steve merengkuh Shasa. Mendekapnya. Memberikan ruang untuk Shasa menumpahkan kesedihannya. Sebagai sahabat. Tempat yang paling tenang. Steve tahu Shasa membutuhkan seseorang sekarang. Seseorang yang siap berada di sisinya.
Air mata Shasa kembali menyeruak. Kenapa? Kenapa rasa sesak itu kembali menghimpitnya. Kembali menyerbunya secara tiba-tiba seperti ini. Kenapa pula, bayangan-bayangan hitam kecelakaan Danny itu berputar lagi di kepalanya. Berputar secara cepat. Silih berganti satu sama lain. Seperti kaset yang diputar berulang-ulang.
Seperti ada kurcaci-kurcaci kecil pembawa tombak yang menusuk-nusuk dadanya. Menciptakan rasa sakit dan sesak yang begitu dalam. Apa Tuhan tidak mengizinkan Shasa untuk lepas dari bayang-bayang Danny? Apa ia harus selalu seperti ini jika mendengar seseorang menyebutkan nama Danny? Apa Shasa harus menjadi kembali seperti mayat hidup kehabisan nafas? Apa semua itu harus ditanggungnya secara terus menerus.?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. Di telinganya berdengung suara-suara yang menyerukan nama Danny. Cukup. Cukup sudah. Shasa tersiksa dengan semua ini.
Steve bisa merasakan tekanan batin Shasa. Terdengar begitu pilu suara isak tangis Shasa ini. Apakah efek ucapannya tadi membuat Shasa kembali terguncang?
“when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable must be truth” seru seseorang yang berdiri di depan pintu dengan baki berisi satu gelas teh.
Steve mendongakkan kepalanya. Melihat siapa yang baru saja berbicara.
Saka
Saka berjalan, derap langkahnya tenang dan penuh keyakinan.Ia menyunggingkan senyum ramah dan hangat ke Steve.
Steve melepas pelukannya. Menghapus air mata Shasa dengan sapu tangan miliknya. Mengangkat dagu Shasa, lalu tersenyum dan mengarahkan dagunya kearah Saka.
Shasa menatap Saka dengan mata yang masih dipenuhi kabut tebal. Sisa air matanya yang belum tuntas berakhir. Saka tersenyum. Seperti ini ternyata wujud asli Shasa sebenarnya. Terlihat begitu rapuh. Berbeda dengan Shasa yang ceria dan sering jutek kepadannya.
“kalau kau mau mengejek ku sekarang. Ejek saja. Tidak usah menyunggingkan senyum penuh misterius seperti itu” ucap Shasa jutek. Ia menjauh dari Steve. Mengambil tissue di dalam tasnya. Lalu mengusap wajahnya secara brutal.
Steve mengulum senyum. Bagus Shasa sudah kembali menjadi Shasa yang jutek ke Saka.
“siapa juga yang mau ngejek mu” Saka terkekeh “aku cuma mau bawain ini” Saka menyerahkan baki dengan segelas teh hangat itu ke Steve. “baikan” ucapnya seraya menaik turunkan alisnya.
Shasa menggerutu tidak jelas. Mencibir Saka. “sok baik”
Saka mengernyitkan keningnya. Apa tadi?
“apa Sha?” tanyanya
Shasa menyodorkan gelas kosong, yang isinya langsung di teguk habis. “nggak papa. Nggak penting” sahut Shasa jutek.
Saka menyunggingkan senyum jahil “kau itu, lagi dalam keadaan jelek gini. Masih aja jutek pada ku. Nggak bilang makasih lagi” cerocos Saka seraya duduk di ranjang ruang kesehatan.
Shasa mendelik ke Saka. Bukannya membuat Saka takut. Malah membuatnya tertawa terbahak-bahak. “mata panda mu itu sudah kelewat besar. Tidak usah melotot-melotot seperti itu. Tambah jelek” ejek Saka.
Dilemparnya salah satu buku miliknya. “terserah mu” balas Shasa malas-malasan.
Shasa dan Saka memang sering berbicara dengan bahasa baku seperti itu. Entahlah karena apa. Tetapi. Bila salah satu dari mereka berbicara dalam bahasa baku. Maka lawan bicaranya aku membalas dengan bahasa baku pula.
“sudah sudah. Balik ke kelas yuk” ajak Steve.
Shasa memalingkan wajahnya, menatap Steve bingung. Sementara Saka masih berusaha untuk menghentikan tawanya.
“lo nggak kasihan sama gue Steve. Muka gue masih jelek ini” seru Shasa tidak setuju. Steve mengibas-ibaskan tangannya.
“ya nggak. Lo ke toilet dulu, cuci muka”
“biar aja muka jelek lo itu. Lebih bagus gini” samber Saka masih saja mengejek Shasa.
“nggak lucu” jawab Shasa sinis.
“sudah sudah. Yuk Sha” steve menengahi. Bisa-bisa dua orang ini perang mulut.
“yuk” Shasa turun dari ranjang. Menyambar tasnya. Lalu mengikuti Steve keluar ruang kesehatan. Meninggalkan Saka begitu saja.
Belum sempat langkah kaki mereka berdua keluar dari ruang kesehatan. Suara Saka kembali berseru. “sha, gue nggak tau siapa itu Danny. Yang gue tau dia itu almarhum cowok lo. Dan gue juga nggak tau betapa berartinya dia untuk lo. Tapi…” Saka jeda sejenak. Memutar tubuhnya dan ingin melihat reaksi Shasa.
Benar dugaannya. Shasa berhenti melangkah. Menegakkan tubuhnya. Terlihat kembali terguncang.
“tapi satu hal saja. Gue Cuma mau ngasih tau lo. Kalau Danny itu adalah seseorang yang berharga untuk lo. Dia cukup di kenang. Dia pasti nggak mau kalau selalu lo tangisin seperti ini. Dia pasti ingin liat senyum lo. Bukan air mata lo. Dan jangan lupakan dia. Kalau dia itu adalah kenangan yang berarti, jangan dilupakan. Sebab, jika manusia mati. Mereka hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain” ucap Saka panjang lebar.
Saka turun dari ranjang. Melangkah mendekati Shasa. Berdiri di depannya lalu mengangkat wajah Shasa yang tertunduk. “senyum. Tersenyum untuk dia. Karena senyum lo itu adalah suatu kebahagian tersendiri untuk dia. Dan jangan nangis lagi Sha” Saka mengusap kedua pelupuk mata Shasa dengan telunjuknya. Mata Shasa yang sekarang sudah siap akan menumpahkan berliter-liter air mata.
“senyum” ucap Saka seraya menyungging senyum termanis miliknya. Setelah itu Saka melenggang pergi meninggalkan Shasa dan Steve yang terdiam terpaku.
Steve menggelengkan kepalanya tidak percaya. Saka. Seorang Saka. Yang setiap harinya pecicilan tidak jelas. Bergerak kesana kemari tidak bisa diam seperti cacing kepanasan. Baru saja mengatakan hal seperti itu. Ajaib. Seru Steve dalam hati.
“yuk steve” Shasa menarik tangan Steve.
Steve memandang Shasa bingung. Tidak ada reaksi apa-apa. Astaga ada apa sebenarnya dengan Shasa? Padahal ucapan Saka tadi begitu dahsyat bagi Steve.
“gue ngerti ka. Terima kasih” gumam Shasa

****

“terima kasih pak” shasa menganggukkan kepalanya,tersenyum kecil. Dan berbalik, agak sedikit menunduk saat keluar kios bunga ini. Berjalan menuju papanya yang sedang berdiri di samping mobil mereka.
Shasa baru saja membeli dua buket bunga. Ya tentu saja untuk Danny. Tepat. Hari ini rencana Shasa dan papanya adalah berziarah ke makam Danny.
“sudah?” Tanya papanya.
Shasa kembali mengangguk. “ayo”
Mereka berdua berjalan beriringan masuk ke dalam pemakaman. Hawa-hawa khas pemakaman menyerbu Shasa. Selalu seperti ini. Sama seperti empat tahun lalu.
Shasa melirik ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan makam-makam yang ada. Kebanyakan dari makam-makam ini sudah agak tidak terurus. Banyak daun-daun kering disekitarnya. Tetapi ada juga yang terawat dengan rapi. Dengan taburan bungan mawar, melati dan daun pandan diatasnya.
Shasa bergidik ngeri saat matanya tidak sengaja melihat makam yang benar-benar tidak terurus. Kotor. Banyak daun-daun kering yang bertumpuk di makam itu. Bagaimana bila itu adalah makamnya? Tidak terurus seperti itu. Hiiii
“kenapa ca?” Tanya papanya.
Shasa menggelengkan kepalanya. Mereka berdua kembali melanjutkan berjalan menuju makam Danny.
Dua ratus meter di depan mereka. Disana tempat danny tertidur dengan tenang. Kembali bayang-bayang saat prosesi pemakaman Danny saat itu berputar di benak Shasa. Adegan demi adegan bergerak, berputar satu persatu. Melihatkan bagaimana terpuruknya Shasa saat itu.
Benar-benar mengenaskan. Shasa yang saat itu meraung hebat di atas makam Danny. Terguncang akan kepergian Danny yang begitu mendadak.
“sha” tegur papanya.
“ya?” Shasa memalingkan wajahnya. Menatap papanya.
“sudah sampe. Jangan melamun terus” ingat papanya.
Ah sudah sampai ternyata. Shasa berjongkok, mengelus pusara makam Danny. Mengelusnya. Membayangkan bila itu benar-benar wajah Danny.
Papa Shasa juga ikut berjongkok. Beliau memunguti daun-daun kering yang ada. Lalu menaburkan serangkaian bunga mawar, melati, dan daun pandan yang dibawanya. Setelah itu menyiramkan air.
Mata Shasa kembali berkabut. Kembali bersiap akan menumpahkan air mata. Tidak boleh. Jangan sampai jatuh lagi ini air mata. Diusapnya air mata diujung pelupuk matanya itu.
Shasa menaruh serangkai melati di atas pusara Danny. Lalu menaruh lili putih, bunga kesukaan Danny.
Mereka berdua sama-sama memanjatkan doa untuk Danny. Memberikan lantunan-lantunan doa khusyuk. Berharap Danny mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya.
“papa ke makam nenek ya. Shasa kalau mau cerita. Cerita aja. Papa tunggu di mobil” pamit papanya dan beranjak pergi.
Shasa kembali mengelus pusara Danny. “danny” sapanya dengan suara serak. Tahan Sha. Batinnya
Digelengkan kepalanya. “apa kabar? Pasti baik kan. Iya dong kan pacar Shasa” Shasa berbicara sendiri. Walaupun tidak ada yang menyahut. Shasa melanjutkan lagi ceritanya.
“nggak kerasa sudah empat tahun ya Dan. Kamu nggak kangen sama aku? Ah pasti disana kamu sudah punya teman yang baik ya. Makanya jarang menemui ku lagi. Gimana Dan disana? Ceweknya cantik-cantik ya? Ga bawel kayak aku” Shasa meracau sendiri.
Biarlah. Ini terakhir ia seperti ini. Bercerita panjang lebar tidak karuan. Toh Shasa sudah bertekat tidak akan membiarkan dirinya berada di dalam kukungan-kukungan kesedihan hanya karena mengingat Danny.
“Dan kamu tahu. Empat tahun ini aku belum bisa melepas mu. Aku tidak bisa mengikhlaskan kamu pergi. Aku belum siap dengan semua ini. Jadi jangan salahkan aku bila aku masih sering menangis bila ingat kamu. Itu semua diluar kendali ku.”
Shasa menarik udara disekitarnya. Memberikan paru-parunya udara.
“danny aku kangen kamu. Sangat-sangat kangen. Kamu nggak kangen aku” teriak Shasa lepas kendali. Air matanya itu jatuh lagi. “aku kangen kamu Dan” lirih Shasa.
“jangan menangis. Dia nggak akan suka” suara Saka tiba-tiba saja mengema di telinga Shasa.
Ah ya. Shasa ingat. Tidak boleh menangis. Jangan menangis.
Dengan susah payah Shasa menghentikan tangisnya. Tidak boleh menangis.
“maaf Dan” seru shasa sesegukkan.
“aku tau disana kamu sekarang pasti sedang berdiri sambil berkacak pinggang, melototi ku. Ya ya aku tau aku ini cengeng. Tapi setelah ini. Aku tidak akan menangis lagi. Aku janji”
“seseorang ada yang berkata seperti ini ke aku. Kalau dia itu adalah kenangan yang berarti, jangan dilupakan. Sebab, jika manusia mati. Mereka hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain. Kamu tahu artinya?” Tanya Shasa.
“aku beri tau. Mulai sekarang. Detik ini aku berjanji ke kamu Dan. Aku tidak akan menangis lagi. Aku tau kalau ini susah. Tapi aku akan mencobanya. Karena aku tau. Tidak selamanya aku harus berada dalam kukungan ini. Aku harus keluar”
Selesai berkata seperti itu. Shasa hanya berdiam diri dan mengelus-elus pusara Danny. Apa tepat pilihan yang sudah di ambilnya? Tapi bila ia tetap bertahan di dalam kukungan-kukungan kesedihan itu. Shasa akan selalu terpuruk. Jatuh terperosok ke dalam lubang-lubang hitam.
Ah membayangkannya saja sudah mengerikan. Ya Shasa harus bangkit. Harus bisa. Dan semua itu harus terwujud. Masih banyak hal lain yang harus dikerjakan olehnya. Setumpuk cita-cita yang belum sama sekali terjamah oleh tangannya. Belum sempat terlaksana karena terkepurukan ini.
Detik ini. Menit ini. Di depan pusara Danny. Shasa berjanji. Ya berjanji untuk kembali bangkit. Menjalani kehidupannya yang masih panjang. Tersenyum untuk Danny. Bukan menangis, menghasilkan berliter-liter air mata. Come on we must move on. Right?
“happy anniversary sayang. Mulai hari ini. Aku akan selalu berusaha untuk memberikan mu senyuman terbaik milik ku” Shasa mencium pusara Danny. Lalu bangkit berdiri. Menatapnya sebentar. Mengangguk kecil. Menghirup udara disekelilingnya. Ya sekarang waktunya.
“bye Dan” seru Shasa dalam hati.
Dilangkahkan kakinya meninggalkan makam Danny. Jangan menoleh, batin Shasa berkali-kali. Ya jangan menoleh. Bila Shasa memalingkan wajahnya kembali kebelakang. Ia tidak akan benar-benar sanggup untuk memantapkan pilihannya.
****
“Sha” seru Saka.
Shasa menghentikan langkahnya. Menoleh kebelakang. Melihat Saka yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Shasa mengerutkan keningnya. Kenapa lagi ini makhluk jelek kedua setelah Steve, senyum-senyum tidak jelas seperti itu.
Pasti ada maunya, batin Shasa
“pagi” sapa Saka, senyumnya masih bertengger di sana. Manis.
“ya pagi” balas Shasa dan melnjutkan langkahnya kembali. Saka mengikuti Shasa dari belakang. Berusaha menjajari langkah Shasa. “Cepet banget sih”, gerutu Saka dalam hati.
“tunggu Sha” Saka menarik tangan Shasa. Membuat Shasa tersentak kaget.
Shasa mendelik ke Saka. Kebiasaannya bila Saka sudah mulai mengganggunya. “apa?” ketus Shasa.
Saka memamerkan giginya. Melepaskan tangan Shasa, lalu menggaruk belakang kepalanya. “jalannya jangan cepet-cepat dong. Pelan-pelan aja. Sama-sama”
Shasa cengo. Apaan ini. Dasar Saka sableng.
“suka-suka” kembali Shasa melanjutkan langkah kakinya. Kali ini melangkah lebih cepat. Meninggalkan Saka yang sedang menggerutu tidak jelas.
“aku kemarin melihat mu menangis di pemakaman” seru Saka tiba-tiba. Dan yak Shasa langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh kebelakang, berjalan cepat kearah Saka yang berdiri sambil melipat kedua tangannya didepan dada.
“apa kau bilang?” Tanya Shasa
“aku melihat mu menangis di pemakaman kemarin sore” ulang Saka tenang. Mata Saka berkilat jahil. Sekarang di depannya. Shasa mendelik hebat. Membuat matanya itu seperti akan keluar dari tempatnya.
“kau mengikuti ku?” Tanya Shasa penuh selidik.
Saka menggeleng “tidak. Untuk apa aku mengikuti mu? Seperti tidak ada kegiatan lain saja” setelah itu Saka berjalan meninggalkan Shasa.
Rrrrrr Shasa menggertakan giginya. Kenapa makhluk jelek ini bisa tau kalau kemarin ia menangis di pemakaman? Menguntitkah? Atau apa? Dasar makhluk menyebalkan.
“Saka” teriak Shasa mengikuti langkah Saka.
Didepan ini, Saka terkikik geli. Asik, batinnya senang. Saka berlari masuk kedalam kelasnya. Meninggalkan Shasa yang mencak-mencak sambil berteriak geram. Menjahili Shasa itu memang mengasyikkan. Melihat mata sipitnya yang dibelo-belokan seperti itu. Membuat Shasa terlihat lucu.
“kemari kau. Aku hajar. Dasar manusia jelek” caci maki Shasa.

----BERSAMBUNG----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...