Selasa, 12 Juni 2012

Coffee Morning


            “Pram.”
            Aku menoleh ketika seseorang melangkah masuk ke kedai kopiku. Aku tak mau memberi nama apapun untuk kedai kopi ini. Biarlah para pelanggan yang memberi nama sesuai dengan keinginan mereka. Selama mereka merasa puas dan nyaman dengan apa yang kedaiku ini sajikan, aku sudah merasa senang.
            “Hai Den. Lama nggak ketemu, kemana aja?” aku berfive high dengannya.
            Denny hanya menyengir lebar seraya melompat duduk di depan meja sajiku. Tempat dimana aku bekerja, meracik segala macam jenis kopi.
            “Kopi hitam,” seruku saat ia akan mengucapkan sesuatu.
            Denny menggeleng dan menyengir, “Kau salah. Beri aku sesuatu yang lain. Aku sedang bahagia.”
            Aku mengangguk dengan senyum lebar. Pantas saja wajahnya begitu berseri hari ini.
            Sementara aku mulai meracik, Denny mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kedai. Senyum di wajahnya tidak luntur sama sekali, padahal dua hari yang lalu ia datang dengan wajah suram seperti zombie dan memesan dua cangkir kopi hitam panas.
            Tetapi hari ini, teman akbrabku ini terlihat sangat ceria.
            “A cup of Cappucinno for you, Sir.” Aku menyorongkannya ke depan Denny.
            Denny cepat-cepat meminumnya, ia memejamkan mata sebentar saat menahan cappucinno itu di dalam mulutnya untuk sejenak. Ia meminumnya hingga tuntas dalam beberapa kali tegukkan saja.
            “Tidak akan enak kalau kau habiskan sekaligus seperti itu,” saranku.
            Denny menaruh cangkirnya lalu menyapu sisa krim di sudut bibirnya, “Resep baru ya?”
            Aku menggeleng, “Aku baru membuatnya lima hari yang lalu.”
            “Oooh.” Ia mengangguk-angguk paham.
            “Ada yang ingin kau sampaikan? Sepertinya sahabatku yang satu ini sedang sangat bahagia? Tidak ada wajah zombie mu lagi.” Godaku.
            Denny melempar topinya ke wajahku dengan wajah cemberut, yang langsung ku tangkap.         
            “Lihat ini.” Ia menyorongkan Ipad-nya kepadaku.
            Aku mengambilnya lalu membaca sesuatu yang tertera di sana.
            “Whoaaaa.” Refleks aku berteriak heboh.
            “Ini beneran?”
            Denny mengangguk-angguk senang, senyumnya semakin lebar. “Kemarin dia mengirimiku ini.” Ia menggaruk kepalanya gugup.
            “Selamat.” Ucapku tulus.
            Denny menyambut uluran tanganku dengan semangat. Senyum tak henti-hentinya ia umbar. Dan aku hanya tersenyum maklum melihatnya yang seperti mendapatkan lotre sebesar 2 milliar.
            Secangkir cappucinno untuk sahabatku yang sedang berbahagia pagi ini. Do you want it too? J



Denny, maaf untuk tiga hari yang lalu ya.
Dua minggu lagi aku akan datang, dan bersiaplah. Kau harus  menyematkan cincin ini di jariku.
Aku menunggu saat itu.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...