Jumat, 01 Juni 2012

Senja


            “Kenapa suka dengan senja sih?”
            Aku bertanya padanya saat sore hari menjelang matahari terbenam, enam hari sejak bulan November dimulai . Kau hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.
            “Kenapa suka dengan senja? Apa senja begitu menarik perhatianmu?”
            Aku bertanya lagi pada sore ketiga setelah sore itu. Dan kau tetap tak menjawab pertanyaanku. Kau hanya tersenyum dan menggenggam erat tanganku.
            “Hei sayang, apa senja begitu mencuri perhatianmu?”
            Aku kembali melemparkan pertanyaan yang sama di sore kelima. Kali ini kau mengulum senyum seraya menyentil keningku pelan.  Tak ada jawaban seperti biasa.
            Dan sore hari ini. Delapan hari berlalu sejak sore di tanggal enam itu. Aku dan kamu duduk bersisian di pesisir pantai. Duduk di atas bongkahan batu besar yang kau beri nama ‘Batu Senja’.
            Matahari mulai bergulir kembali ke peraduaannya. Suara debur ombak menemani waktu kebersamaan kita. Keheningan melanda kita berdua sejak setengah jam yang lalu. Suara  gesekan dari pohon kelapa saling beradu.
            Burung-burung camar mulai terbang kemabali ke angkasa. Dan kau sibuk dengan kameramu sejak tadi. Tak mengiraukan aku yang sudah mulai bosan.
            Aku menghela nafas lelah, membaringkan tubuhku dengan kedua tangan yang ku tekuk sebagai alas kepala. Menatap langit sore yang berwarna orange bercampur merah. Matahari sudah benar-benar kembali. Hanya tinggal sinar lemahnya saja yang terlihat.
            Kau tersenyum puas saat melihat hasil bidikan-bidikan sunset yang berhasil kau abadikan. Aku memejamkan mata, menunggu kau benar-benar puas menatap lukisan alam itu.
            Guncangan pelan menyapa pundakku.
            “Kent.” Panggilmu lembut.
            “Hmm.” Sahutku.
            “Aku ingin menjawab pertanyaanmu,”
            Eh pertanyaan?
            Aku tak ada mengajukan pertanyaan apapun sejak menjemputnya dua jam yang lalu. Lalu ia mau menjawab pertanyaan yang mana?
            “Bangunlah dulu. Temani aku, jangan menutup mata seperti itu.”
            Aku membuka mata, menegakkan tubuh lalu berputar menatapnya.
            Rambut hitam lurus milikmu berkibar dibelai oleh angin. Aku menyematkan sejumput rambut yang menghalangi sebagian wajahmu.
            “Jawablah pertanyaanku. Dan kau tau,” aku menyentil keningnya pelan. “Aku tak ingat pernah bertanya sesuatu kepadamu.” Lanjutku.
            Kau tersenyum malu, rona merah menghiasi kedua pipi bulatmu. Sebelum mengatakan sesuatu, kau mengalungkan kamera kesayanganmu ke leherku.
            “Kau pernah bertanya tentang mengapa aku menyukai senja bukan?” aju mu.
            Ah iya. Tentang itu. Aku ingat. Tetapi itukan pertanyaan yang sudah lama aku tanyakan dan tak kau beri jawaban. Aku menatapanya dalam, bersiap mendengar jawaban yang selalu ku nanti.
            “Aku menyukai senja seperti aku menyukaimu. Aku mencintai senja sebesar rasa cintaku ke kamu. Senja mengingatkanku akan pertemuan pertama kita. Dimana seorang Kenta yang bebal menjadi gugup hanya karena ingin menyampaikan perasaannya.” Jawabmu dengan sinar mata yang berbinar cerah.
            Aku hanya mengangguk kikuk mendengar jawaban mu. Kau terkekeh geli melihatku yang tampak canggung.
            Aku tersentak ketika kedua lenganmu mengalung di leherku. Kau membenturkan kedua kening kita dengan pelan.
            “Aku mencintaimu, Kent.” Serumu lirih.
            aku tahu itu. Sangat tahu. Kau juga mencintaimu, Nay.  




Samarinda, Rabu 30 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...