Sabtu, 10 November 2012

Linden chapter 2

-->



            Angin subuh malu-malu memasuki kamar Nathaly. Menyelip melalui ventilasi udara. Membelai lembut wajah Nathaly yang masih terlelap. Ditariknya selimut hingga leher. Menutupi tubuhnya dari jangkauan angin subuh yang terasa begitu dingin.
            Musim gugur memang berbeda. Suhu pada malam hari terasa lebih dingin daripada biasanya. Dan pagi ini, saat jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, udara subuh terasa semakin dingin. Membuat Nathaly enggan membuka matanya.
            Ia hanya melenguh sesekali jika merasa kedinginan. Selimutnya sudah berlapis dua. Sebelum tidur tadi malam ia sudah mengomel terlebih dahulu. Tubuhnya yang lebih menerima udara tropis ini harus menyesuaikan diri dengan hawa dingin musim gugur Jerman.
            Nathaly menggeliat ketika merasakan getaran di bawah bantalnya. Getaran yang semakin lama semakin bertambah intensitas getarnya. Nathaly memaksa matanya untuk terbuka. Sedikit menyipitkan mata karena menyusaikan dengan cahaya lampu kamarnya.
            Seumur hidup Nathaly tidak akan pernah bisa tidur dengan keadaan gelap. Ia akan tidur lebih lelap bila lampu kamarnya menyala. Terang benderang. Membuatnya tidak takut akan apapun. Karena tanpa disadari, ia sering memikirkan segala hal yang berbau horror bila tidur di ruang yang gelap.
            Nathaly mengetuk iphone-nya. Menjawab telpon dengan menggunakan loudspeaker. Suara di ujung sana membuatnya terbelalak kaget. Ia cepat-cepat duduk bersila. Menaikkan selimutnya dan melilit tubuhnya sendiri.
            “BANGUUUUUN NONA  JELEK.” teriak suara di ujung sana.
            Nathaly mendengus. Dasar manusia gila. Apa ia tidak tahu kalau sekarang masih pagi buta. Dan suaranya itu, tidak ada bagusnya sama sekali. Dasar gila, umpat Nathaly.
            “Nggak usah teriak-teriak. Aku nggak tuli.” seru Nathaly parau. Ia tetap duduk  bersila. Menguap lebar dan mendengar ocehan selamat pagi dari sang kakak tercinta.
            “Tau nggak, Kakak menang tender. Gede banget,”
            “Ntar Kakak kirim ke kamu deh daftarnya. Buset itu orang-orang emang nda punya otak. Masa tender segede itu cuma dipandang sebelah mata. Ya kakak ambil lah. Kece kan Nath?”
            “Hoy hoy dengar nggak sih?” tanya Saka heboh. Pasalnya sejak tadi ia berbicara tidak ada sahutan sama sekali dari adiknya itu. Nathaly hanya berdehem tanda mendengar.
            Saka menghela nafasnya lelah. Dasar adik tidak tahu diri. Ia mengoceh panjang lebar hanya dibalas dengan deheman.
            Saka bersuara dengan tegas, memberi peringatan agar Nathaly tidak melanggar dan melakukan hal-hal aneh agar bisa cepat pergi jauh-jauh dari Jerman. Karena Saka tahu bagaimana antinya Nathaly dengan Negara itu.
            “ Denger ya. Mau kayak apapun kamu berusaha buat kabur dari sana. Papa bakal tahu. Jadi jangan coba-coba. Mengerti?”
            “Ya.” jawab Nathaly malas.
            Ia bukan anak kecil yang harus diberi tahu berkali-kali. Ia juga bukan gadis tuli. Ia mengerti. Ia paham. Siapa juga sih yang mau kabur begitu saja? Memangnya dia bodoh. Setidak sukanya ia dengan Jerman, Nathaly tidak akan kabur begitu saja.
            Apalagi setiap hari ia akan disuguhkan dengan pemandangan guguran para daun linden. Hanya orang bodoh saja yang akan kabur secepat itu, tanpa menikmati bagaiman indahnya musim gugur di Jerman.
            “Udah ya kakak ku tercinta. Adik mu ini masih mengantuk. Dah. Dan pagi.” Nathaly memutuskan telpon sepihak. Tidak mempedulikan sang kakaknya yang kembali mengomel.
Ia melemparnya kembali ke bawah bantal. Dan juga kembali menghembaskan tubuhnya. Memeluk guling dan menutup matanya.
            Tetapi belum ada sepuluh menit ia terpejam. Alarmnya berbunyi nyaring. Meraung-raung membangunkannya. Nathaly menutup telinganya, menulikan sejenak dari suara alarm itu. Ia menggerutu jengkel. Mengomel dalam hati. Menyebalkan. Suara alarmnya ini benar-benar mengganggu.
Ia melempar selimutnya dan melompat turun. Mematikan alarm jam wekernya. Menyeret kaki dan masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat.
            Dari dulu kalau sudah sang kakak mengganggu paginya, maka tidak akan ada kesempatan untuknya kembali tidur. Sudah dipastikan Nathaly akan memulai pagi menjadi lebih awal.

****
           
            Suara celotehan meluncur deras dari bibir mungil Karel. Ia bersenandung. Menyanyikan lagu anak-anak yang kemarin baru diberikan oleh gurunya. Kakinya melompat-lompat kesana kemari.
            Kedua tangannya membawa piring yang berisi selembar roti yang telah diolesi dengan selai nanas. Ia melangkah pelan-pelan ketika mendekati pintu kamar Daddy-nya.
           Ditaruhnya piring roti itu di atas meja yang berada di dekat pintu. Meja kecil yang penuh akan frame fotonya.
            Karel menarik kursi yang ada di sebelah meja itu, membawanya hingga depan pintu. Lalu dengan hati-hati dibukanya pintu kamar Daddy-nya itu. Setelah terbuka, ia melompat turun dan mengambil piring roti tadi.
            Karel berlari memasuki kamar saat melihat Daddy-nya berdiri di depan kaca. Ia memeluk kaki Daddy-nya karena tingginya baru selutut Daddy-nya.
            “Good morning Daddy,” serunya heboh. Cengiran khasnya terpampang jelas di wajah manisnya. Membuat pipinya yang chubby semakin terlihat gembul.
            Daniel menoleh. Ia tersenyum mendapati putranya bergelanyut manja di kakinya. Diangkatnya tubuh Karel, memeluknya. Membuat karel tertawa geli. Daniel mengecup pipi tembem Karel.
            “Pagi my lil prince. Are you okay?
            “Of course Daddy.” teriaknya.
Daniel terkekeh. Keningnya menempel di kening Karel. Memeriksa kondisi tubuh putra kecilnya ini. Rasa hangat seketika menjalar ke tubuhnya. Anak ini masih demam.
Karel menggoyangkan kakinya minta diturunkan. Daniel mengerti, diturunkannya putranya itu.
            Lalu setelah itu, sepiring roti tersaji di depan wajahnya. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan Karel.
            “Untuk Daddy. Selai nanas.” seru Karel.
            Diambilnya roti itu lalu memotongnya. Menyuapkannya ke dalam mulutnya dan ke mulut Karel. Bergantian seperti itu hingga roti selai nanas buatan Karel habis dilahap mereka berdua.
            “Daddy. Hari ini aku sekolah ya?” pinta Karel. Tangannya terkatup di depan dada. Menatap Daddy-nya dengan mata berkaca-kaca. Cara tersendiri agar Daddy-nya memberi ijin.
            Daniel menggeleng. Ia tersenyum lalu menggendong Karel dan berjalan ke dapur.
            Daniel mendudukkan Karel, ia berputar dan mengambil gelas tinggi. Membuatkan susu coklat untuk Karel. Hanya hangat-hangat kuku, karena Karel tidak terlalu suka susu panas atau yang terlampau dingin.
            Disorongkannya segelas susu tadi ke depan wajah Karel, menyuruh Karel untuk meminumnya. Sedangkan ia sendiri kembali mengambil cangkir untuk membuat kopi.
            “Daddy boleh ya?” pintanya, masih mencoba untuk membujuk Daddy-nya. Karel menumpukkan sikunya,  menatap Daddy-nya memohon.
            Daniel menggeleng, disesapnya kopi panas itu. Lalu menaruhnya di atas meja, ia menumpukkan sikunya dan balik menatap Karel. Menatap kedua bola mata kelabu milik putranya itu.
            “No dear. Kau masih demam, ingat? Hari ini di rumah saja. Nanti Daddy bawakan pie linden. Mau?” tawar Daniel.
            Mata kelabu Karel berbinar terang mendengar bahwa Daddy-nya akan membawa pie linden. Pie berwarna hijau yang menggoda iman. Pie yang dibuat dengan campuran ekstrak daun linden.
            “Mau Daddy.” serunya gembira.
            Daniel mengacungkan jempolnya. “Sekarang habiskan susumu. Setelah itu kita pergi ke rumah Andrio.” ucapnya.
              Karel mengangguk semangat, diteguknya habis susu coklat buatan Daddy-nya. Ia meloncat turun setelah mengahabiskan susunya, berlari ke kamar dan mengambil tas. Tas berwarna merah dengan gambar kura-kura yang  berisi mainan.
            Daniel menggendongnya. Mereka memasuki lift dan turun ke lantai dua. Melangkah pelan menuju kamar nomor 2121 milik keluarga Dash setelah keluar lift.
            Karel mengecup pipi Daddy-nya dan melambaikan tangan. Ia berlari masuk bersama Andrio, meninggalkan Daddy-nya dan Aunty-nya di depan pintu.
            Daniel mengangguk maklum saat Erynina mengejeknya, senyum simpul mampir sejenak di wajahnya.
            “Titip Karel ya, hari ini aku tidak sampai sore. Hanya ada satu kelas perkenalan, setelah itu selesai.” beritahunya. Erynina mengangguk-angguk paham.
            “Ya ya. Pergi sana sebelum Karel berlari keluar,” suruh perempuan itu. Daniel terkekeh, ia mengecup pipi Erynina dan beranjak pergi.
            Sahabat baiknya itu hanya mendengus saja, untung Sebastian –suami Erynina- sudah pergi ke kantor terlebih dahulu. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan mereka berdua akan adu mulut dulu karena ulahnya tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...