Selasa, 20 September 2011

maaf di balik rinai hujan

Suara gemuruh masih saling bersahutan. Bergantian menciptakan kilatan-kilatan seperti blitz kamera di atas sana. Awan hitam yang juga masih setia menghiasi langit. Menggantung gagah bak seorang raja. Menciptakan aura menyeramkan bagi yang sedang berada di luar rumah. Karena keadaan alam saat ini benar-benar terasa gelap.
            Runtuhan dari tumpuhan sang awan hitam jatuh dengan derasnya. Membasahi semua yang ada di muka bumi. Menjatuhkan para koloni airnya. Memenuhi selokan-selokan kecil di depan dan samping rumah penduduk. Menghasilkan genangan-genangan air yang berwarna cokelat di permukaan tanah.
            Di balik pohon yang berada di urutan kelima dari sebelah kanan. Di sebelah semak yang dedaunannya penuh dengan rintik air. Berdiri seorang lelaki dengan jas hujan lengkap dan payung besar yang ‘mengamankannya’ dari para koloni air. 
            Gurat lelah dan sedikit kelegaan terpeta di wajahnya yang keras itu. Hasil dari menempuh latihan bertahun-tahun sebagai seorang pembela abdi bangsa di bagian laut. Menjadi seorang Panglima Besar Angkatan Laut. Namun di balik wajahnya yang keras, sorot penuh kerinduan menguar jelas dari pancaran matanya.
            Sejak tiga puluh menit yang lalu. Sebelum hujan deras merayap turun. Saat masih gerimis kecil. Ia sudah berdiri di tempat itu. Memperhatikan sebuah rumah mungil yang berjarak 150 meter dari tempatnya berdiri. Rumah mungil yang penuh dengan mawar putih. Yang sampai saat ini selalu menjadi bunga kesukaannya.
            Aroma dari mawar-mawar yang mekar sempurna itu merasuk ke indra penciumannya melalui belaian angin. Yang membuat hatinya terasa hangat.
            Pupil mata dengan iris berwarna coklat khas orang Indonesia asli yang dimilikinya itu memancaran sebuah sorot penuh kerinduan kepada rumah mungil tersebut. Tepatnya kepada satu sosok objek yang tengah asik bermain dengan mobil mainan.
            Objek kecil berupa bocah berumur kira-kira lima tahun tersebut tidak lepas dari matanya. Berusaha memuaskan sang mata yang seakan-akan haus untuk melihat bocah itu. Celotehan-celotehan dari bibir mungilnya yang dibawa oleh angin sesekali merasuki indra pendengarannya.
            Suara riang khas anak-anak kecil yang sedang asik bermain itu menyusup masuk dengan seenaknya ke bagian hatinya yang berlebel ‘Rindu’. Saat suara itu masuk dan menyusup ke relung hatinya, ada sebagian hatinya yang terletak paling depan terasa  seperti tersayat beribu silet. Perih dan membuatnya ingin menjerit keras.
            Suara bocah itu yang selalu dirindukannya. Bocah yang memiliki paras yang benar-benar mirip dengan wajahnya saat berusia lima tahun. Wajah yang dipunyai oleh para  keturunan sang Wijaya Kusuma. Wajah penuh ketegasan dan penuh ambisi yang di miliki oleh semua keturunan laki-laki dari Wijaya Kusuma.
            Lelaki itu mengigit bibirnya menahan luapan rindu yang menggedor-gedor ingin menyeruak keluar. Perasaan rindu yang sudah di pendamnya  selama lima tahun. Sebuah waktu yang tidak pendek.
            Perasaan rindu ingin memeluk anak kandungnya sendiri. Ia mencengkram bagian depan jas hujan yang dikenakannya. Perasaan bersalah dan menyesal kembali membelenggu dirinya. Membuat saluran pernapasannya seperti di sumbat dengan sebongkah batu besar. Dadanya terasa sesak. Menghimpit dan sempit.
            Payung yang di pegangnya erat sejak tadi, perlahan  mengendur dan jatuh. Membuat para koloni air hujan dengan senang hati membasahi kepalanya. Hawa dingin dari derasnya hujan yang menusuk tulang tidak membuatnya hatinya kedinginan. Walaupun tubuhnya sendiri  berbohong, karena teah menggigil lebih dahulu.
            Perasaan rindu, kecewa, menyesal, bersalah dan semua perasaan yang menyiksa hati serta batinnya sekarang bertambah keras. Mengetuk keras setiap sudut hati. Dan seperti ada prajurit kurcaci-kurcaci kecil yang menusuk hatinya dengan tombak.
            Ia merosot terduduk. Air mata penyesalan menyeruak keluar dengan derasnya. Tidak ada isak tangis. Hanya air mata yang mengalir turun terus menerus yang bercampur dengan air hujan. Kepalanya menunduk dalam, menyembunyikan wajah penuh air mata. Wajah yang selama ini selalu penuh dengan ketegasan, kedisiplinan, dan tidak boleh di bantah kini hilang seketika karena perasan rindu yang amat dalam.
            Di tengah kesedihan yang dirasakan olehnya. Telinganya sayup-sayup mendengar suara teriakan dari seorang wanita. Kepalanya tersentak, dengan refleks cepat. Di tegakkan kembali kepalanya yang menunduk dalam tadi. Menyusut air matanya dengan punggung tangan.  
            Suara ini Suara yang sama dengan suara milik bunga hatinya. Suara yang lima tahun lalu selalu menyapa gendang telinganya kala pagi menjelang. Suara lembut yang tercipta dari bibir mungil sang bunga hatinya.          
            Suara lembut yang dapat mendinginkan suasana hatinya bila sedang kesal. Suara dari wanita yang memiliki wajah manis yang sangat pas di tangannya bila ia menangkup wajah wanita ini. Seolah memang sudah takdirnya bersama. Wajah wanita ini memang cocok dengannya.
            Hatinya tertohok ketika melihat pemandangan di depan rumah mungil itu. Wanita yang selalu hadir di setiap mimpinya. Wanita yang lima tahun lalu selalu ia rengkuh dengan sayang. Wanita yang selalu mengusap wajahnya dengan lembut ketika ia sedang kumat bergombal. 
            Kini berdiri di bawah naungan payung yang melindunginya dari air hujan. Dengan berbalut dress hijau tosca yang lembut. Paras manisnya masih sama dengan lima tahun yang lalu. Yang berbeda hanya perut wanita itu. Dulu perut wanita dengan selung pipit di kedua pipinya itu rata. Persis seperti model-model di majalah wanita.
            Kini perut itu membesar. Dengan penuh kelembutan, wanita itu mengelus sebuah tangan yang sedang melingkar dan mengelus perutnya. Senyum simpul terpeta di wajahnya.
            Wanita itu mendengus geli saat sosok lelaki yang sedang memeluknya mencium pipinya dengan lembut. Tangannya menepuk-nepuk tangan lelaki itu.
            “Karel ayo masuk sayang. Sudah main hujannya. Cepat masuk sama ayah.” Serunya. Suara wanita itu merasuk ke dalam indra pendengarannya. Lelaki yang mengintip melalui celah pohon makin mencengkram jas hujannya dengan kuat. 
            Sementara lelaki yang memeluk wanita itu, perlahan berjalan mendekati sang bocah yang kini asik bermain air. Lelaki itu mengangkat tubuh Karel. Menaikkannya tinggi lalu memutarnya. Karel sendiri tetawa senang, karena ‘diterbangkan’ oleh ayahnya.
            “Hei hei sudah. Ayo masuk.” Seru wanita itu lagi. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Menyorongkan sehelai handuk. Mereka bertiga masuk kedalam rumah mungil tersebut dengan derai tawa karena ulah Karel yang mencium perut bundanya dengan sayang. 
            Bima –nama lelaki yang bersembunyi di balik pohon— memejamkan matanya erat-erat. Cengkraman di jas hujannya masih kuat. Berusaha meredakan dentuman-dentuman keras dari dalam hatinya.   
            Seharusnya sekarang ia yang sedang memeluk wanita itu. Seharusnya ia menggendong Karel. Mengelus lembut perut buncit wanita itu. Mengecup sayang pipi sang wanita dan bocah itu. Seharusnya. Tapi lagi-lagi ia harus menelan bulat-bulat pikiran yang melintas di kepalanya.      
Ia tidak berhak untuk melakukan itu. Karena ia sendirilah yang telah membuang dua orang  itu. Melenyapkan kehadiran mereka berdua dari hidupnya saat lima tahun lalu.
            Seandainya saat itu ego tidak menguasai dirinya. Ia tidak akan meninggalkan wanita yang amat dicintainya seorang diri.
Seandainya hal yang telah dilakukannya itu tidak menghasilkan sebuah kenyataan menyakitkan ini, ia tidak akan meninggalkan mereka.
Seandainya bukan karena paksaan ayahnya.
Seandainya bukan karena penyakit ibunya.
Seandainya bukan karena pertunangan bodoh itu.
Sekarang ini ia pasti sedang duduk masih menanti hujan reda dengan keluarga kecilnya. Berbagi kehangatan satu sama lain.
            Tetapi sekali lagi. Segala sesuatu yang di awali dengan kata seandainya adahal sesuatu hal yang telah disesali. Dan penyeselan itu tidak pernah ada di awal. Ia hadir di saat seseorang berada dalam tahap benar-benar putus asa. Di saat seseorang memimpikan apa yang ia inginkan. 
            Dengan ego yang menyelubungi dirinya. Bima ‘membuang’ wanita itu dan calon anaknya hanya karena demi pertunangan bodoh yang  dibuat ibunya.
            Wanita yang sangat di cintainnya dan yang baru saja menjalankan  kehidupan pernikahan dengannya.
            Bima mengatur napasnya yang tiba-tiba berhamburan memburu. Menenangkan hatinya yang kalut dan takut. Di helanya napas keras-keras. Sebagai seorang lelaki ia tidak boleh jadi pengecut seperti ini. Lima tahun waktu yang sangat cukup untuknya menyiksa diri. Sekarang waktu yang tepat untuk meminta maaf  pada wanita itu.

****
            Dari dalam rumah mungil yang terasa hangat karena berasal dari api di perapian. Terdengar clotehan yang di selingi dengan suara bersin dari seorang  bocahberumur lima tahun. Ia duduk manis di hadapan ayahnya yang sedang mendongengkan sebuah cerita.
            Suara tepuk tangan tercipta dari tangan mungilnya saat sang ayah seleai bercerita. Lalu dengan penuh antusias ia akan meminta lagi pada ayahnya untuk menceritakan dongeng yang lain.
            Sedangkan sang ayah berpura-pura mengantuk dan tidur diatas pangkuannya. Dan Karel akan mengusap lembut rambut ayahnya. Yang membuat ibunya terkikik geli.
            Karel meletakkan kepala ayahnya diatas bantal. Lalu sambil merangkak ia menghapiri ibunya yang sedang duduk di kursi goyang. Ibunya sedang merajutkan syal untuknya.
            “Halo dedenya Kak Karel. Jangan nakal ya,” ia mengelus perut ibunya, mengajak bicara sang calon adik.
            Katya mengacak rambut putranya dan terkekeh geli. Putranya ini sepertinya akan menjadi seorang kakak yang baik dan sayang dengan sang adik.
            Suasana riuh yang dibuat Karel saat mengajak sang calon  adik mengobrol tiba-tiba henti karena suara ketukan di pintu depan. Siapa yang  hujan-hujan lebat begini bertamu ke rumahnya.
            Dengan semangat Karel berlari ke depan. Setelah sebelumnya menyuruh ibunya untuk duduk saja. Walaupun ia tidak terlalu mengerti, tetapi ketika melihat ibunya yang berdiri dengan susah payah, membuat Karel paham bahwa perut ibunya yang makin membesar itulah yang menyusahkan ibunya.
            Di bukanya pintu depan. Membuat rintikan hujan masuk ke dalam rumahnya. Ia mendongak melihat siapa yang bertamu ke rumahnya. Seketika wajahnya berubah menjadi sangat senang. Wajah orang yang berdiri di depannya ini sering ia lihat di salah satu foto yang menggantung di dinding kamarnya.
            Lantas Karel menjerit dan memeluk kaki orang itu. Tidak menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya lagi. Dan membuat orang  yang di peluk kaget seketika.
            “Papa!”
            Katya yang mendengar jeritan putranya langsung tersentak. Papa,batinnya. Mendadak sesuatu mengalir deras di aliran darahnya. Dengan pelan ia berdiri. Reyhan yang melihat istrinya mencoba berdiri, langsung bangun dan membantu perlahan.
            Katya tersenyum. Lalu dengan di tuntun suaminya, ia menghampiri Karel yang sedang memeluk seseorang.
            Wajah Katya tersentak melihat siapa tamu yang ada di depannya. Sama seperti Katya, wajah Bima pun ikut tersentak. Katya melempar senyum tipis.
            “Papa papa.” Seru Karel girang. Ia berlari ke ibunya dan membantu ayahnya menuntun sang ibu. Reyhan terkekeh.
            “Ayo masuk mas.” Ajak Katya.
            Dengan kikuk Bima masuk dan duduk. Ia masih bingung mengapa Karel memanggilnya papa. Dan bocah itu dengan manjanya bergelung di lengannya.
            “Ayo Karel nggak boleh begitu. Ikut ayah yuk bikin minum,” ajak ayahnya. Karel berlari ke dapur duluan. Meninggalkan ayahnya.
            “Mengobrol lah.” Ucap Reyhan. Ia tahu bila Bima dan Katya perlu berbicara. Pernah menjadi teman dekat bima, Reyhan hanya tahu dari sorot mata Bima.
            Suasana hening menyeliputi dua orang yang pernah saling mencintai itu. Walau sekarang nyatanya hanya sang lelaki lah yang masih mencintai wanita di hadapannya ini. Tetapi tidak untuk sang wanita, karena cintanya untuk lelaki yang merupakan ayah dari putranya ini sudah terkubur sejak Karel lahir.
Katya meremas kencang bantal yang ada di sebelahnya. Bima yang melihat itu hanya tersenyum miris. Sekarang saatnya.
            “Maafkan aku Katya. Maafkan kesalahan ku.” Ucapnnya lirih dan menatap tepat di manik mata Katya.
            Katya terhenyak. Ada ke sungguhan di sorot mata Bima. Seharusnya permintaan maaf ini terlontar lima tahun lalu. Ada bagian dari hati Katya yang sedikit tidak menerima.
            Tetapi cepat-cepat di tepisnya perasaan yang bergelanyut itu. Melihat wajah Bima yang penuh penyesalan dan keteguhan maaf. Katya mengulum senyum tipis.
            “Sudahlah. Itu sudah berlalu. Dan soal Karel, aku yang memberi tahunya bila Mas lah papanya.” Ujar Katya.
            “Semuanya sudah berlalu. Aku sudah tidak memikirkan itu lagi,lima tahun lalu kita sama-sama membuat sebuah kesalahan. Sekarang kita sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Dan Karel berhak tahu siapa papanya. Dan sekarang aku sudah bahagia dengan keuarga ku.” Lanjutnya.
            Bima mengatupkan bibirnya rapat. Ia tidak menyangka bila Katya dengan mudah memaafkannya. Dan secara tidak langsung pula, wanita ini menegaskan bahwa dirinya lah ayah dari Karel. Merasa tidak pantas menerima maaf yang terlalu mudah itu.
            Bima berlutut di depan Katya. Membuang semua harga dirinya untuk wanita yang telah di tinggalkannya ini.
            Dengan cepat Katya menahan Bima untuk tidak berlutut. Walaupun membuat perutnya sakt karena tertekan.”Bangunlah mas. Jangan seperti ini.” Ucap Katya tertahan ia mengigit bibirnya menahan sakit.
            Bima mengangkat wajahnya dan melihat Katya yang meringis kesakitan. “Maaf,” gumamnya.
            Reyhan yang baru keuar dari dapur cepat-cepat menghampiri Katya. “Bangunlah Bim. Jangan berlutut seperti itu.”  Kata Reyhan.
            Bima terhenyak saat melihat tangan mungil melingkar di lengannya dan berniat membantunya bangun. Wajah polos Karel terpampang di depannya. Ia bangun dan mengelus wajah Karel.
            Karel ikut menyentuh wajah papanya dengan takut-takut. “Kata Ibu.kalau ayah lagi sedih, ibu suka pegang pipi ayah seperti ini supaya sedihnya ayah hilang. Kalau papa sedih, Karel yang akan pegang pipi papa.” Seru Karel polos.
            Perasaan haru menyeruak di hati Bima. Di peluknya tubuh kecil Karel. Dihirupnya harum tubuh Karel. Diusapnya lembut rambut Karel. Dan ia menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Karel.
Dengan sayang. Karel mengusap-usap punggung papanya. Katya dan Reyhan tersenyum melihatnya.
“Maafkan papa Karel,” ucapnya lirih.          
Di tengah derasnya hujan. Di dalam rumah mungil itu. Perasaan menyesal, bersalah, kecewa, dan rindu menguar dari hati Bima. Dengan penuh terima kasih Bima ucapkan kepada Katya.  Hati wanita ini terlalu baik
Hujan di luar sana perlahan mereda. Mulai memunculkan awan putih dan langit biru cerah. Menguarkan aroma khas hujan melalui permukaan tanah.
Hujan kali ini bermakna untuk Bima. Penyesalannya selama lima tahun terbayar sudah dengan melihat wajah putranya. Karel membuatnya menerima kata maaf dari Katya dan Reyhan.
Hujan kali ini membuat hatinya yang selama lima tahun penuh dengan perasaan rindu dan dingin. Perlahan menghangat akan sentuhan Karel.
Bima bersyukur dengan hujan kali ini. Karena di balik rinainya yang lebat dan misterius. Tuhan memberikannya kata maaf melalui Katya. Memaafkan semua kesalahan fatal yang telah di buatnya lima tahun lalu.
Dan hatinya menghangat karena kata maaf dibalik rinai hujan dari wanita yang selalu memiliki tempat tersendiri di sudut hatinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...