Selasa, 20 September 2011

seuntai 'nasihat'

            Langit masuk rumah tanpa mengucapkan salam. Wajahnya kusut. Gurat-gurat lelah terpeta jelas di wajahnya yang manis itu. Kepalanya menunduk. Masuk kedalam kamarnya dengan membanting pintu. Tidak mendengar teriakan mamanya yang memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu.
            Di hempaskannya begitu saja tubuhnya ke atas kasur. Tanpa memperdulikan seragam sekolahnya yang belum diganti. Saat ini yang di butuhkan hanya ketenangan. Sudah banyak hal menyebalkan yang ia lewatkan sepanjang hari ini di sekolah. 
            Langit menyembunyikan wajahnya di bawah  bantal. Napasnya tersengal menahan tangis. Dadanya sesak karena tidak ingin mengeluarkan air mata. Langit tidak mau menjadi seorang yang cengeng  hanya karena hal itu.
            Tetapi sepertinya air matanya itu tidak mau menuruti perintah otaknya. Dengan perlahan, satu persatu air matanya turun. Membentuk sungai kecil di kedua sudut matanya. Isakan yang cukup keras bergaung di dalam kamarnya yang bernuansa laut itu.
            Suasana tenang di dalam kamarnya itu membuat kepalanya memutar kembali hal paling menyakitkan yang pernah Langit alami selama ia sekolah. Karena hal itu, Langit semakin tersedu-sedu. Hidungnya kembang kempis karena tangisannya yang semakin keras.
            Tidak ingin bila suara tangisnya terdengar oleh orang rumah. Ia membekap mulutnya sendiri. Semakin menyembunyikan wajahnya di dalam bantal. Saat ini hatinya benar-benar sakit. Dan yang di butuhkannya adalah semoga pikiran-pikiran yang bercokol di dalam kepalanya cepat enyah dan tidak menyisakannya barang sedikit pun.

****
            Jupiter melangkah memasuki dapur. Sejak memasuki rumah tadi, hidungnya sudah mencium aroma masakan mamanya. Bibirnya terangkat keatas saat melihat masakan apa yang dibuat oleh mamanya.
            Untung saja ia pulang lebih cepat daripada biasanya. Kalau tidak, mungkin masakan yang ada diatas meja ini sudah habis di lahap adik perempuan satu-satunya itu. Bicara soal adiknya, kenapa sejak tadi ia tidak melihat keberadaan anak itu?
            Biasanya jam-jam seperti ini Langit ada di depan tv. Duduk santai sambil mengemil dan tentunya menonton tv. Atau berkutat di depan notebooknya dengan mimik wajah serius karena sedang membuat sebuah cerita.
             Jupiter melirik jam tangannya. Belum terlalu sore, tetapi kenapa anak itu tidak terlihat batang hidungnya? Dan juga ini hari Rabu, adiknya itu tidak ada jadwal private apapun. Merasa tidak mendapatkan keberadaan adiknya. Jupiter berjalan mendekati kulkas. Menuang satu gelas air putih dan meneguknya habis.
             Sambil membawa gelas minumnya, Jupiter menarik salah satu kursi dan duduk. Memperhatikan mamanya yang menata makanan. Ah iya, kenapa mamanya lebih cepat menyiapkan makanan. Bukan kah ini belum masuk jam makan malam.
            “Langit mana ma?” tanya Jupiter.
            Seraya menata piring diatas meja, beliau menjawab. “Dari pulang sekolah tadi nggak keluar kamar. Kamu lihat gih sana. Dia juga belum makan.”
            Jupiter mengernyit bingung, nggak keluar kamar. Memang apa yang sedang dikerjakan oleh anak itu? Batinnya bertanya-tanya.
            “Oke.” Jawabnya.
            “Ah iya kak. Nanti mama sama papa mau pergi ke acara teman papa. Kamu tolong antarin rantangan ke rumah nenek ya. Mama sudah siapin di dapur,”
            Jupiter mengangguk mengerti, di sampirkan tasnya di pundak kanan. Dan ia melangkah menuju kamar. Ganti baju dulu baru melihat Langit, pikirnya.

****
            Jupiter mengetuk pintu kamar dengan hiasan batuan di setiap ujungnya itu. Pintu kamar yang di hias sendiri oleh Langit. Cukup lama ia mengetuk, tetapi tidak juga di bukakan oleh sang empunya kamar.
            “Langit.” Panggilnya. Hening, tidak ada suara hanya ada desau angin yang membelai indra pendengarannya. Tidak ada jawaban dari dalam. Sekali lagi ia mengetuk dan memanggil. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam.
            Dengan berinisiatif, Jupiter menarik handel pintu. Terkunci.
            Ketukan yang tercipta dari kepalan tangannya perlahan mulai menaikan temponya. Lebih nyaring daripada ketukan sebelumnya.  Tetapi tetap sama saja tidak ada satu pun panggilannya yang di jawab oleh Langit.
            Sebenarnya apa yang sedang  dilakukan anak itu? Apa ia tertidur? Tapi tidak mungkin. Kalau pun ia tertidur, adiknya itu pasti akan segera membuka pintu dan memasang wajah galak karena acara tidurnya terganggu dengan suara ketukan dari Jupiter yang cukup ‘brutal’.
            Merasa tidak mendapatkan hasil apapun. Jupiter berbalik. Berjalan menuju dapur dan mengambil rantangan yang sudah disiapkan oleh mamanya. Lebih baik ia pergi mengantarkan makanan ini ke rumah neneknya lebih dahulu. Mungkin bila nanti ia kembali ke rumah. Langit sudah keluar kamar.
            Hanya  satu yang ada di pikiran Jupiter. Karena belum dimasuki sesuap nasi sejak siang tadi, ia jadi khawatir kalau-kalau penyakit maag adik kesayangannya itu akan kambuh.

****
            Langit mengangkat kepalanya yang terasa berat. Kepalanya seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Perutnya juga mulai berbunyi meminta makan. Matanya terasa menempel. Jejak-jejak bekas air matanya masih ada. Terpeta jelas.
            Di dongakkan kepalanya. Melihat kearah jam dinding. Jam delapan malam. Pantas saja langit di luar sana sudah gelap.
            Dengan menyeret kakinya, Langit turun dari atas tempat tidur. Mengambil handuk dan peralatan mandinya. Ia membuka pintu dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di dapur. Rumahnya sepi. Sepertinya tidak ada orang. Mungkin kakaknya belum pulang kuliah. Begitu pikirnya.
            Selesai mandi, Langit di kejutkan dengan kehadiran kakaknya yang duduk dan menatapnya tajam. Tanpa memperdulikan kakaknya. Langit melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda itu.
            Jupiter menggeram kesal. Apa-apan sih anak satu ini? 
            “Langit duduk!” katanya tegas.
            Langit tertegun mendengar nada tegas di ucapan kakaknya itu. Jarang sekali kakaknya mengeluarkan nada tegas seperti itu. Tidak mau mendapatkan omelan yang lebih kejam daripada ini. Ia menurut. Duduk di salah satu sofa di ruang tengah.
            Jupiter berdiri. Membawa sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauknya dan segelas susu. Menaruhnya didepan Langit.   
            “Makan.” Suruhnya. Dengan bersungut-sungut Langit mengambil susu dan meneguknya. Lalu mulai menyuapkan sesendok nasi. Mengisi perutnya yang  berdemo meminta makan.
            “Kenapa nggak keluar kamar dari pulang sekolah?” Jupiter memulai bertanya. Menelan kunyahan yang masih ada, Langit hanya menggeleng saja.
            “Jawab!” serunya galak.
Langit cemberut. “Ngantuk,” jawabnya pendek.
Jupiter menggerutu kesal. Jawaban macam apa itu. Sementara menunggu adiknya menyelesaikan makan. Ia memperhatikan dengan seksama wajah adiknya. Bekas air mata masih terihat jelas di wajahnya. Apa yang membuat adiknya itu menangis? Atau mungkin, siapa yang membuatnya menangis?
Pertanyaan itu berputar di dalam kepalanya. Menanti jawaban dari Langit.
Sambil menyuapkan nasi, Langit melirik kakaknya yang masih menatanya intens. Tatapan yang menunggunya berbicara. Setelah meneguk habis susunya. Ia memandang kakaknya. Sorot matanya menantang.
Jupiter mendelik kesal. Apa-apaan itu? Kenapa sorot mata Langit menantang seperti itu sih?
“Sejak kapan tidur sambil menangis seperti itu?” kata Jupiter sambil menunjuk mata Langit yang sembab.
Langit tersentak kaget. Apa bekas jejak air matanya masih terlihat? Di usap wajahnya dengan brutal. Berusaha menghilangkan bekas jejak air matanya.
“Nggak usah begitu. Kakak masih lihat bekasnnya. Ada apa?” tanyanya lembut. Iris matanya yang sejak tadi memancarkan sinar galak dan tegas itu perlahan mulai berubah menjadi tenang dan lembut.
Sekali lagi Langit hanya menggeleng. Kembali menyelesaikan makannya yang tertunda dalam diam.
“Kalau nggak sanggup nampung sendiri. Jangan di paksa kan. Kakak siap dengerin kamu cerita.” Pesannya. Ia berdiri, bermaksud kembali ke kamarnya.
Langit tertegun. Apa sebaiknya ia menceritakan masalahnya itu kepada kakaknya. Ia juga tidak yakin bisa menyimpannya sendiri. Selalu ada rasa sesak yang memenuhi hatinya bila ia memendamnya sendiri.
“Kak…” panggilnya. Jupiter berhenti. Memandang adiknya yang sedang menunduk. Sepertinya memang ada yang di sembunyikan oleh adiknya itu.
“Apa semua cerita yang aku buat itu jelek?” tanyanya dengan gumaman lirih.
Jupiter mengerutkan keningnya. Pertanyaan macam apa itu? Ia kembali melangkah dan duduk di dekat adiknya.
“Sebuah cerita yang dibuat dengan kesungguhan hati tidak ada yang jelek. Ada apa?”   
Masih dengan menundukkan kepalanya, Langit kembali bergumam. Terdengar parau dan putus asa.
“Kata mereka semua. Cerita-ceritaku tidak bermutu.”
Kerutan di keningnnya makin bertambah. Ada yang berbeda dengan sosok gadis di sebelahnya ini. Gadis yang dulunya selalu menangis bila tidak ditemani tidur. Sekarang mulai beranjak dewasa. Dengan iris mata yang sama dengannya. Rambut hitam sepanjang pinggang. Pipi chubby yang sering menjadi sasaran cubitannya. Serta sifatnya yang tidak lagi kekanak-kanakan. Walau terkadang sifat itu juga sering kambuh. 
Jupiter menepuk pelan kepala Langit. Tanpa memandang adiknya ia mulai berkata. “Dengan alasan apa mereka berkata seperti itu? Menurut ku semua cerita yang kamu buat itu bagus,”
Langit menghela napas, mengangkat kepala dan menatap wajah kakaknya. “Mereka selalu berkomentar sinis tentang cerita-cerita buatan ku. Membandingkan dengan cerita orang lain.”
“Bukan kah tu bisa menjadi motivasi untuk mu?” tanya Jupiter.
“Tetapi aku lelah kak. Aku lelah mendengar semua celaan mereka. Seperti tidak di hargai. Mereka menghina dan mengejeknya. Hati ku sakit menerimanya.” Ucap Langit lirih. Ia kembali menundukkan kepala.
Jupiter tersenyum. “Dengar, seseorang bisa mendengar, tetapi belum tentu bisa menjadi pendengar yang baik. Mereka bisa memberi saran, tetapi tidak semua dari mereka adalah pemberi saran yang baik,”
“Tapi aku hanya ingin mendengar komentar mereka mengenai cerita-ceritaku. Bukan mendengar hinaan mereka!” kata Langit hampir berteriak. Emosinya bergejolak. Jujur saja ia bukan seorang yang pintar untuk mengendalikan emosinya. Sewaktu-waktu emosinya itu akan meledak ketika seseorang menginjak ’rudal’nya. Dan salah satunya adalah untuk mereka-mereka yang senang menghina hasil tulisannya.
Langit tahu. Tidak semua cerita yang dibuatnya mendapatkan sebuah komentar yang bagus. Terkadang dari mereka juga memberikan komentar-komentar yang bermaksud untuk memberi tahu Langit sesuatu yang salah dalam tulisannya. Tetapi masih dalam konteks yang baik.
Namun hari ini berbeda. Sebuah cerita yang baru selesai di buat oleh Langit dengan mengorbankan waktu istirahatnya. Dengan menulisnya sepenuh hati. Mengikuti kata hatinya. Merangkai kata-kata agar menghasilkan sebuah pharagrap yang apik dan mudah di mengerti malah mendapatkan komentar-komentar pedas yang langsung meruntuhkan semangat menulisnya.
Menghilangkan semua ide-ide yang dimilikinya. Menghapuskannya begitu saja dari dalam kepala. Menghasilkan sebuah sayatan di hatinya. Ia tidak menyangka bila cerita yang akan di ikutkan dalam sebuah lomba menulis itu mendapatkan komentar pedas dari teman-temannya sendiri.
Mereka berkomentar sesuka hati tanpa memberi tahu dimana kesalahannya. Tubuh Langit seperti tersengat listrik. Ternyata anggapannya selama ini salah. Salah bahwa semua komentar dari teman-temannya itu selalu baik. Hanya dalam sekejap mereka meruntuhkan tembok kepercayaan diri Langit. Membuatnya hancur berkeping-keping dan terbang bersamaan dengan belaian angin.
Jupiter menggelengkan kepalanya. Ternyata hal ini yang membuat adiknya mengurung diri di kamar seharian.
“Kamu mau mendengar cerita tentang teman kakak?” tanyanya. Langit merengut, menggembungkan pipinya tanda protes. Kenapa kakaknya malah ingin mendongeng.
Mengacuhkan wajah Langit yang cemberut. Jupiter memulai ceritanya.
“Kakak punya seorang teman. Ia sering memberi kakak sebuah lukisan. Ia bukan seorang pelukis terkenal. Tetapi dari hasil lukisannya itu kakak tahu kalau ia seorang yang berbakat. Ia pernah merasa minder dan menganggap kalau lukisan yang dibuatnya itu jelek. Tidak bagus dan indah.
Berhari-hari ia jatuh dalam sebuah keterpurukan dengan satu alasan konyol itu. Tidak mau melukis lagi dan menyimpan semua peralatan lukisnya. Menekuk wajahnya setiap hari saat turun sekolah. Tidak bersemangat dan menjadi lesu. Lalu beberapa hari kemudian ia menceritakan semuanya kepada kakak. Ia memberi tahu semuanya.” Cerita Jupiter. Langit mendengarkan dengan seksama.
“Lalu?” serbunya.
“Dan kamu tahu apa yang dia katakan?”
Langit menggeleng.
“Ia berkata kalau semua lukisannya yang ia buat selama ini pernah mendapatkan satu komentar yang pedas. Membuatnya langsung merasa tidak percaya diri. Sama halnya seperti tulisan mu. Dan kamu tahu, ia berkata kepada kakak bahwa ia salah. Ia salah menelantarkan alat lukisnya. Ia salah telah menyia-nyiakan kesempatan. Ia salah telah melewatkan berbagai macam pemandangan bagus. Ya ia tahu bahwa ia salah.
Dan sejak saat itu. Ia tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Karena ia percaya, untuk apa menjadi seseorang yang lemah hanya karena satu komentar pedas. Tidak berguna. Begitu katanya. Dan kamu tahu, teman kakak itu selalu percaya dengan hasil lukisannya. Ia percaya bahwa semua lukisan yang dibuat dengan sepenuh hati pasti akan membuahkan sebuah lukisan yang indah.” Jupiter mengakhiri ceritanya.
Langit terdiam. Mencerna semua cerita kakaknya. Ada banyak pesan dari cerita itu. Seakan habis terkena lemparan batu. Hati Langit tertohok. Harus di akui bahwa yang diucapkan kakaknya itu benar adanya.
“Percaya lah de, sebuah tulisan yang dibuat dengan ketulusan hati dan cinta akan membuahkan hasil yang baik. Karena tanpa cinta, tulisan yang kamu buat tidak akan berarti apa-apa. Hanya sebuah kumpulan kata-kata saja.”
Langit diam, tidak berani berkata-kata. Ia sendiri merasa malu. Malu karena dengan mudahnya menjadi seseorang yang pesimis. Padahal selain teman-teman di sekolahnya, ia masih mempunyai banyak teman diluar sana. Teman-teman yang mempunyai satu kesamaan dengannya. Yaitu sama-sama senang menulis.
Teman-teman yang selalu memberinya sebuah kritikan tajam tetapi membangun. Memberi saran yang terkadang dapat menaikkan mood menulisnya. Dan mereka tidak meremehkan hasil karya tulisnya, karena mereka juga berada di dunia yang sama dengan Langit. Dunia menulis yang membuatnya mengenal berbagai macam karya tulis oranh lain. Membuatnya bisa lebih mengenal dan dekat dengan penulis yang di kaguminya. 
Merasa belum cukup mengoceh, mulut Jupiter kembali bekerja. “Jujur saja ya, kakak selalu iri dengan apa yang ada didalam kepala mu itu,”
Langit mendongakkan kepalanya dengan satu hentakan dan menatap kakaknya dengan mata yang membulat. Mulutnya menganga.
“Kenapa?”
“Karena di dalam kepala mu itu banyak sekali ide-ide kreatif. Kamu tidak pernah kehabisan ide untuk membuat tulisan baru. Kamu selalu menceritakan semuanya ke dalam tulisan-tulisan mu. Merangkainya menjadi sebuah cerita.” Aku Jupiter.
Langit terharu. Ia memeluk kakaknya sayang. Jupiter hanya menepuk kepala Langit melihat tingkahnya itu.
“Percaya lah. Jangan pernah berhenti untuk menulis dan membuat cerita hanya karena komentar-komentar pedas teman-teman mu. Karena bila kamu sekali saja melepasnya, maka sebuah cita-cita yang sudah terancang di kepalamu itu akan  menghilang tanpa jejak.”  Seru  Jupiter.
Langit mengangguk mengerti. Tidak salah kalau ia menceritakan hal ini kepada kakaknya. 
Jupiter berdiri. Menegakkan badannya, menaikkan kedua tangannya keatas. Merenggangkan otot-ototnya.
Memegang kedua pipi Langit lalu menyubitnya. Langit meringis sakit. Sementara  Jupiter menyengir lebar. “Jangan terlalu dipikirkan. Yang menilai hasil tulisan mu bukan hanya mereka. Jangan terpaku hanya karena satu hal yang mengganjal jalan mu. Tetapi masih banyak orang diluar sana dan Tuhan yang menilai tulisan mu. Keep doing something good eventhougth other people appreciate it as an unspesial thing.”
Selesai berkata seperti itu, Jupiter kembali ke kamarnya. Meninggalkan Langit yang terdiam mencerna ucapannya. Mengerti maksud kakaknya. Langit tersenyum lebar. Sekarang hatinya tidak lagi sakit.
“Makasih banyak ya kak!” teriak Langit. Ia berdiri dan melangkah ke dapur. Mencuci piring dan  gelas bekas makannya tadi.
Jupiter tersenyum. Tidak menyangka kalau ternyata ia bisa memberi sedikit nasihat untuk adiknya itu.
Benar. Jangan pernah terpaku hanya karena sebuah hal yang dapat mengganjal jalan menuju cita-cita. Tetap percaya dengan apa yang sedang di kerjakan karena dengan sebuah ketulusan hati dan cinta. Baik sebuah lukisan atau karya tulis, hasil yang di dapat akan baik.
Keep doing something good eventhougth other people appreciate it as an unspesial thing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membingungkan

Kacau. Membingungkan. Semuanya membingungkan. Iya. Aku menghadapinya jadi bingung sendiri. Nggak serta merta merasa senang diber...